Sabtu, 29 Agustus 2009

Sihir Dalam Pandangan Al-Qur'an Dan As-Sunnah 5/6

Oleh
Wahid bin Abdissalam Baali
Bagian Lima dari Enam Tulisan [5/6]



[2]. Dari Ibnu ‘Abbas Radiallahu’anhu, dia berkata, Rasulullah Shallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

“ Artinya : Barang siapa mempelajari sebagian dari ilmu nujum, berarti dia telah mempelajari sebagian dari ilmu sihir; semakin bertambah (ilmu yang dia pelajari), semakin bertambah pula (dosanya).” [1]

Kandungan Hadits.
Kandungan dari hadits tersebut adalah, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjelaskan salah satu jalan yang mengantarkan kepada mempelajari ilmu sihir, dan agar kaum muslimin menghindarinya. Hal itu menunjukan bahwa sihir merupakan ilmu hakiki yang dapat dipelajari. Yang menunjukan hal tersebut adalah firman Allah Ta’ala.

“Artinya : Maka mereka mempelajari dari kedua Malaikat itu, apa yang dengan sihir itu mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan istrinya….” [ Al- Baqarah: 102]

Dengan demikian, tampak jelas bahwa sihir merupakan satu ilmu yang sama dengan ilmu-ilmu lainnya, yang mempunyai dasar-dasar yang menjadi pijakannya. Ayat dan hadits diatas mengecam sekaligus mencela usaha mempelajari sihir.

[3]. Dari ‘Imran bin Hushain Radhiyallahu anhu, dia berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

“ Artinya : Bukan dari golongan kami orang-orang yang bertathayyur (meramal kesialan) atau minta dilakukan tathayyur terhadapnya, atau orang yang melakukan praktek perdukunan atau mendatangi dukun (menanyakan hal yang akan datang), atau melakukan sihir atau mantra disihirkan. Barang siapa mendatangi dukun lalu ia mempercayai apa yang dikatakannya, berarti dia telah kufur terhadap apa yang telah diturunkan kepada Muahmmad Shallallahu 'alaihi wa sallam" [2]


Tathayyur berarti meramal kesialan. Pada zaman Jahiliyyah dulu, masyarakat Arab jika hendak melakukan perjalanan jauh, mereka melepaskan seekor burung, jika burung itu terbang kearah kanan, maka mereka tetap akan melakukan perjalanannya, dan jika terbang kearah kiri, mereka pesimis dan pulang kembali.

Kandungan Hadits.
Kandungan hadits ini menyebutkan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang sihir dan pergi ketukang sihir. Dan Nabi Shallalahu 'alaihi wa sallam tidak melarang sesuatu melainkan karena sesuatu itu memang ada dan mempunyai hakikat.

[4]. Dari Abu Musa al-Asy’ari Radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

“ Artinya : Tidak akan masuk surga pecandu khamr, orang yang percaya pada sihir, Dan pemutus tali silaturahmi.” [3]

Makna Hadits.
Ada tiga golongan yang tidak akan masuk Surga kecuali setelah mereka diazab di Neraka akibat dosa dan kemaksiatan mereka:
[a]. Pecandu khamr ( mudminul khamr), yaitu orang yang sudah menjadikan minuman khamr ( minuman keras) sebagai kebiasaan.

[b]. Orang yang percaya pada sihir (mu’minun bi sihrin), yaitu orang yang meyakini bahwa sihir itu sendiri yang memberikan pengaruh, bukan dengan takdir dan kehendak Allah.

[c]. Orang yang memutuskan tali silaturahmi (qaatu’u rahim), yaitu orang yang menjauhi kerabatnya, tidak bersilaturahmi kepada mereka dan tidak juga mengunjungi mereka.

Kandungan Hadits.
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang meyakini bahwa sihir sematalah yang memberikan pengaruh, tetapi seorang mukmin harus meyakini bahwa sihir atau yang lainnya tidak akan bisa memberi pengaruh kecuali atas kehendak Allah. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

“ Artinya : Dan mereka itu ( ahli sihir) tidak memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorang pun, kecuali dengan izin Allah….” [Al- Baqarah: 102]

[5]. Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu mengatakan, “ Barang siapa mendatangi peramal atau tukang sihir atau dukun, lalu dia bertanya dan mempercayai apa yang dikatakannya, maka dia telah kufur terhadap apa yang telah diturunkan kepada Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam.”[4]


[Disalin dari kitab Ash-Shaarimul Battaar Fit Tashaddi Lis Saharatil Asyraar edisi Indonesia Sihir & Guna-Guna Serta Tata Cara Mengobatinya Menurut Al-Qur'an Dan Sunnah, Penulis Wahid bin Abdissalam Baali, Terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi'i]
_________
Foote Note.

[1]. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no.3905) dan ibnu Majah (no. 3726 ) serta dinilai hasan oleh al- Albani di dalam kitab as-Shahiihah (no. 793 ) dan di dalam Shahih Ibnu Majah ( II/305 no.3002 ).
[2]. Dalam kitab, Majma’uz Zawaa’id ( V / 20 ), al-Hautsami mengungkapkan, Hadits ini diriwayatkan oleh al-Bazzar dan para rijalnya shahih kecuali Ishaq bin ar-Rabi’, yang mana dia adalah seorang yang tsiqah. “ sedangkan al- Mundziri didalam kitab, at-targhib (VI /32 ) mengatakan, “ Diriwayatkan oleh al-Bazzar dengan sanad yang jayyid, dan diriwayatkan oleh at-Thabrani …. Dengan sanad yang hasan. “ Al-Albani berkata dalam kitab Takhriij Ahaadiitsil Halaal wal Haraam ( no.289 ) :” Hadits ini mencapai derajat hasan lighairihi.”
[3] Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban. Di dalam kitab: Takhriijul Halal wal Haram, (no 291 ), al-Albani mengatakan, “ Hadits ini mempunyai syahid dari hadits Abu Sa’id, yang karenanya hadits tersebut naik ke derajat hasan.”
[4]. Didalam kitab at-Targhib ( IV / 53 ), al-Hapidz al- Mundziri rahimahullah mengatakan: “ Diriwayatkan oleh al-Bazzar dan Abu Ya’la dengan sanad yang jayyid secara maukuf.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar