tag:blogger.com,1999:blog-69007560581905180832023-06-20T21:07:43.278-07:00MUSLIM KAFFAHMUSLIM KAFFAHhttp://www.blogger.com/profile/12527866730164618004noreply@blogger.comBlogger29125tag:blogger.com,1999:blog-6900756058190518083.post-22980459993920520762009-08-29T12:43:00.000-07:002009-08-29T12:44:20.985-07:00Sihir Dalam Pandangan Al-Qur'an Dan As-Sunnah 6/6<p align="justify">Oleh<br />Wahid bin Abdissalam Baali<br />Bagian Terakhir dari Enam Tulisan [6/6]<br /><br /><br /><br /><br />Ketiga : Pendapat Para Ulama<br /><br />[1]. Al-Khaththabi rahimahullah berkata: “ Sekelompok orang dari kalangan ahli ilmu tabi’at sihir, telah mengingkari adanya sihir dan menafikan hakikatnya. Hal itu dapat dijawab, bahwa sihir itu sudah jelas ada dan hakikatnya pun nyata. Mayoritas umat dari bangsa Arab, Persia, India dan sebagian bangsa Romawi telah menyepakati keberadaan sihir. Mereka itu adalah penduduk bumi yang paling utama dan paling banyak ilmu, serta hikmah. Allah Ta’ala berfirman:<br /><br />“Artinya : Mereka mengajarkan sihir kepada manusia.” [Al-Baqarah : 102]<br /><br />Dan Allah pun memerintahkan agar berlindung darinya, dimana Dia berfirman:<br /><br />“Artinya : Dan dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul.” [Al-Falaq : 4]<br /><br />Mengenai hal tersebut, telah diriwayatkan beberapa hadits dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wassalam yang tidak mungkin diingkari kecuali oleh orang yang mengingkari hal yang jelas dan pasti.<br /><br />Para fuqoha’ telah memberikan beberapa alternatif mengenai hukuman bagi tukang sihir. Dan sesuatu yang tidak mempunyai dasar yang pasti maka tidak akan sampai pada tingkat kemasyhuran ini dan tidak sampai menarik perhatian. Oleh karena itu, menafikan menolak adanya sihir merupakan suatu tindakan yang bodoh,dan memberikan tanggapan kepada orang yang menapikan sihir merupakan tindakan sia-sia.”[1]<br /><br />[2]. Al-Qurtubi rahimahullah mengungkapkan:” Ahlus Sunnah telah berpendapat bahwa sihir itu telah pasti ada dan memiliki hakikat. Sedangkan penganut Mu’tazilah secara umum dan Abu Ishaq al-Istirabadi, salah seorang penganut madzhab Syafi’i berpendapat, bahwa sihir itu tidak memiliki hakikat, tetapi sihir hanya merupakan tindakan pengelabuan, pemunculan bayangan dan penipuan terhadap sesuatu, tidak seperti yang (tampak) sebenarnya. Sihir kini tidak ada bedanya dengan hipnotis dan sulap. Sebagaimana yang difirmankan Allah Ta’ala:<br /><br />“Artinya : Terbayang oleh Musa seakan-akan ia merayap cepat, lantaran sihir mereka.” [Thaahaa : 66]<br /><br />Dan Allah tidak mengunakan kata tas’aa untuk pengertian yang sebenarnya, tetapi Dia mengatakan:” Terbayangkan oleh Musa.” Selain itu, Dia juga berfirman:<br /><br />“Artinya : Mereka menyihir mata umat manusia…” [Al-A’raf : 116]<br /><br />Lebih lanjut, Al- Qurtubi mengemukakan:” Yang demikian itu tidak mengandung hujjah sama sekali, karena tidak memungkiri pengelabuan dan juga selainnya,yang merupakan bagian dari sihir. Tetapi, telah ditetapkan di balik itu berbagai hal yang diterima oleh akal dan pendengaran. Diantara hal itu adalah apa yang disebutkan dalam ayat diatas yang menyebutkan sihir dan mempelajarinya. Seandainya sihir itu tidak memiliki hakikat, maka tidak mungkin untuk dipelajari dan juga Allah Ta’ala tidak akan memberitahukan bahwa mereka mengajarkan sihir itu kepada umat manusia. Yang mana hal itu menunjukan bahwa sihir itu memang mempunyai hakikat.<br /><br />Begitupun firman Allah Ta’ala yang menceritakan tentang kisah para tukang sihir Fir’aun:<br /><br />“Mereka mendatangkan sihir yang besar” [Al- A’raf : 116] dan surat al-Falaq, dimana para ahli tafsir telah bersepakat bahwa sebab turunnya ayat ini adalah berkenaan dengan sihir Labid bin al-A’sham, hal tersebut juga diriwayatkan oleh Imam al-Bukhori dan Imam Muslim serta perawi lainnya, dari ‘Aisyah Radhiyallahu anha, dia berkata:” Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah disihir oleh seorang Yahudi dari suku Bani Zuraiq,yang bernama Labid Al A’sham…”. Didalam hadits tersebut disebutkan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pada saat mengobati sihir berkata:” Sesungguhnya Allah telah menyembuhkanku.” Kata Asy-syifa adalah terjadi dengan menghilangkan sebab dan menghilangkan penyakit, sehingga hal itu menunjukan bahwa sihir itu memang ada dan hakiki. Keberadaan dan kejadian sihir itu dipastikan ada melalui pemberitahuan Allah Ta’ala dan Rasul-Nya. Ulama telah mengeluarkan Ijma’( kesepakatan) mengenai hal tersebut. Dengan adanya kesepakatan mereka ini, maka tidak perlu dipedulikan lagi kebodohan kaum Mu’tazilah dan penentangan mereka terhadap pemegang kebenaran.”<br /><br />Selanjutnya, Al-Qurtubi mengemukakan:” Pada zaman-zaman dulu, sihir ini telah tersebar luas dan banyak di perbincangkan oleh umat manusia, dan tidak tampak adanya penolakan (tentang adanya sihir) dari para Sahabat dan Tabi’in.”[2]<br /><br />[3]. Al-Mazari rahimahullah mengatakan:” Sihir merupakan suatu hal yang tetap dan mempunyai hakikat seperti berbagai wujud lainnya, dan dia mempunyai pengaruh terhadap diri orang yang disihir. Pendapat ini bertentangan dengan orang yang mengklaim bahwa sihir itu tidak mempunyai hakikat, dan hal-hal yang sesuai dengan sihir itu tidak mempunyai hakikat, dan hal-hal yang sesuai dengan sihir itu tidak lain hanyalah hayalan semata, yang tidak mempunyai hakikat sama sekali.”<br /><br />Apa yang mereka klaim itu justru bathil dan tidak benar, karena Allah Ta’ala telah menyebutkan didalam kitab-Nya, al-Quran, bahwa sihir itu dapat dipelajari dan bahkan dapat menyebabkan seseorang menjadi kafir,serta bisa juga memisahkan pasangan suami isteri. Juga dalam hadits yang menceritakan tentang penyihiran terhadap Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, disebutkan bahwasannya sihir itu berupa sesuatu yang ditimbun. Semuanya itu merupakan suatu hal yang tidak mungkin berlaku pada sesuatu yang tidak mempunyai hakikat, dan bagaimana mungkin sesuatu yang tidak mempunyai hakikat itu di pelajari?<br /><br />Lebih lanjut, Al-Mazari mengungkapkan:” Bukan suatu hal yang tidak rasional ketika Allah memunculkan kejadian yang luar biasa pada kalimat yang bercampur baur atau susunan berbagai benda atau percampuran antara berbagai kekuatan berdasarkan susunan yang tidak diketahui kecuali oleh tukang sihir. Diantara alat perantaranya ada yang mematikan, seperti racun, ada juga yang membuat sakit, misalnya obat-obatan yang panas dan ada juga yang membuat sehat, seperti obat-obatan yang membuat sehat, seperti obat-obatan yang membasmi penyakit. Bukan suatu yang tidak rasional jika seorang tukang sihir memiliki ilmu yang sangat kuat dan mematikan atau ucapan yang membinasakan atau mengakibatkan keretakan/ perpecahan.”[3]<br /><br />[4]. Imam al-Nawawi rahimahullah mengatakan:” Yang benar adalah bahwa sihir itu mempunyai hakikat. Hal yang sama juga dipastikan oleh jumhur ulama secara keseluruhan. Hal tersebut didasarkanh pada Al-Quran dan As-Sunnah yang shahih lagi masyhur.”[4]<br /><br />[5]. Ibnu Qudamah rahimahullah mengungkapkan:” sihir itu memiliki hakikat, ada diantaranya yang mematikan, ada juga yang menghalangi pasangan suami isteri, dimana suami tidak dapat mencampuri isterinya dan ada juga sihir yang memisahkan antara suami dan isteri.”<br /><br />Lebih lanjut, Ibnu Qudamah rahimhullah mengatakan:” sudah merupakan suatu hal yang popular dikalangan masyarakat umum, dimana ada pasangan suami isteri yang telah melakukan akad nikah, tetapi sang suami tidak kuasa mencampuri isterinya, dan jika akad pernikahannya telah putus, mantan suami itu baru bisa melakukan hubungan badan, yakni setelah dia tidak mungkin mencampurinya. Berita ini mencapai derajat mutawatir yang tidak mungkin diingkari.”<br /><br />Ibnu Qudamah juga mengemukakan:” Berita tentang para tukang sihir itu disampaikan dan di sebarluaskan secara merata sehingga tidak mungkin untuk didusatakan.”[5]<br /><br />Didalam kitab Al-Kaafi, Abu Muhammad al-Maqdisi rahimahullah mengatakan:” Sihir adalah jampi-jampi, mantra-mantra dan ikatan-ikatan yang memberikan pengaruh pada hati dan badan, sehingga ia bisa menimbulkan sakit, membunuh, atau memisahkan pasangan suami isteri. Allah Ta’ala berfirman:<br /><br />“ Artinya : Maka, mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan isterinya.”[Al-Baqarah : 102]<br /><br />Dia juga berfirman:<br /><br />“Artinya : Dan dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul.” [Al-Falaq : 4]<br /><br />Yakni, wanita-wanita tukang sihir yang membuat buhul-buhul dalam sihir mereka dan meniup kedalam buhul-buhul itu. Seandainya sihir itu tidak mempunyai hakikat, niscaya Allah tidak akan memerintahkan umat manusia untuk meminta perlindungan darinya.”[6]<br /><br />[6]. Dalam kitab Badaa-i’ul Fawaa-id, al-‘Allamah Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan: “Firman Allah Ta’ala:<br /><br />“Artinya : Dan dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul.” [Al-Falaq : 4] dan juga hadits ‘Aisyah ra telah menunjukan adanya pengaruh dari sihir, dan bahwasannya sihir itu mempunyai hakikat.”[7]<br /><br />[7]. Ibnu Abil ‘Izza al-Hanafi rahimahullah mengemukakan:” Para ulama telah berbeda pendapat mengenai hakikat sihir dan macam-macamnya. Mayoritas dari mereka mengatakan bahwa sihir itu bisa memberikan pengaruh terhadap kematian dan sakitnya seseorang, tanpa adanya sesuatu yang datang kepadanya secara nyata.”[8]<br /><br /><br />[Disalin dari kitab Ash-Shaarimul Battaar Fit Tashaddi Lis Saharatil Asyraar edisi Indonesia Sihir & Guna-Guna Serta Tata Cara Mengobatinya Menurut Al-Qur'an Dan Sunnah, Penulis Wahid bin Abdissalam Baali, Terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi'i]<br />_________<br />Foote Note.<br />[1]. Syarhus Sunnah (XII / 188)<br />[2]. Tafsir al-Qurtubi (II / 46)<br />[3]. Zaadul Muslim (IV / 225 )<br />[4]. Dinukil dari kitab Fat-hul Baari (X / 222).<br />[5]. Al-mughni (X /106).<br />[6]. Dinukil dari kitab Fat-hul Majiid (314).<br />[7]. Dinukil dari catatan kaki kitab Fat-hul Majiid (315), dengan komentar al- Arna-uth. Badaa-i’ul Fawaa-id (XI / 227).<br />[8]. Syarh al-‘ Aqiidah ath-Thahaawiyah (505)</p>MUSLIM KAFFAHhttp://www.blogger.com/profile/12527866730164618004noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6900756058190518083.post-77993154650850197262009-08-29T12:42:00.000-07:002009-08-29T12:43:00.716-07:00Sihir Dalam Pandangan Al-Qur'an Dan As-Sunnah 5/6<p align="justify">Oleh<br />Wahid bin Abdissalam Baali<br />Bagian Lima dari Enam Tulisan [5/6]<br /><br /><br /><br />[2]. Dari Ibnu ‘Abbas Radiallahu’anhu, dia berkata, Rasulullah Shallahu 'alaihi wa sallam bersabda:<br /><br />“ Artinya : Barang siapa mempelajari sebagian dari ilmu nujum, berarti dia telah mempelajari sebagian dari ilmu sihir; semakin bertambah (ilmu yang dia pelajari), semakin bertambah pula (dosanya).” [1]<br /><br />Kandungan Hadits.<br />Kandungan dari hadits tersebut adalah, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjelaskan salah satu jalan yang mengantarkan kepada mempelajari ilmu sihir, dan agar kaum muslimin menghindarinya. Hal itu menunjukan bahwa sihir merupakan ilmu hakiki yang dapat dipelajari. Yang menunjukan hal tersebut adalah firman Allah Ta’ala.<br /><br />“Artinya : Maka mereka mempelajari dari kedua Malaikat itu, apa yang dengan sihir itu mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan istrinya….” [ Al- Baqarah: 102]<br /><br />Dengan demikian, tampak jelas bahwa sihir merupakan satu ilmu yang sama dengan ilmu-ilmu lainnya, yang mempunyai dasar-dasar yang menjadi pijakannya. Ayat dan hadits diatas mengecam sekaligus mencela usaha mempelajari sihir.<br /><br />[3]. Dari ‘Imran bin Hushain Radhiyallahu anhu, dia berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.<br /><br />“ Artinya : Bukan dari golongan kami orang-orang yang bertathayyur (meramal kesialan) atau minta dilakukan tathayyur terhadapnya, atau orang yang melakukan praktek perdukunan atau mendatangi dukun (menanyakan hal yang akan datang), atau melakukan sihir atau mantra disihirkan. Barang siapa mendatangi dukun lalu ia mempercayai apa yang dikatakannya, berarti dia telah kufur terhadap apa yang telah diturunkan kepada Muahmmad Shallallahu 'alaihi wa sallam" [2]<br /><br /><br />Tathayyur berarti meramal kesialan. Pada zaman Jahiliyyah dulu, masyarakat Arab jika hendak melakukan perjalanan jauh, mereka melepaskan seekor burung, jika burung itu terbang kearah kanan, maka mereka tetap akan melakukan perjalanannya, dan jika terbang kearah kiri, mereka pesimis dan pulang kembali.<br /><br />Kandungan Hadits.<br />Kandungan hadits ini menyebutkan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang sihir dan pergi ketukang sihir. Dan Nabi Shallalahu 'alaihi wa sallam tidak melarang sesuatu melainkan karena sesuatu itu memang ada dan mempunyai hakikat.<br /><br />[4]. Dari Abu Musa al-Asy’ari Radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.<br /><br />“ Artinya : Tidak akan masuk surga pecandu khamr, orang yang percaya pada sihir, Dan pemutus tali silaturahmi.” [3]<br /> <br />Makna Hadits.<br />Ada tiga golongan yang tidak akan masuk Surga kecuali setelah mereka diazab di Neraka akibat dosa dan kemaksiatan mereka:<br />[a]. Pecandu khamr ( mudminul khamr), yaitu orang yang sudah menjadikan minuman khamr ( minuman keras) sebagai kebiasaan.<br /><br />[b]. Orang yang percaya pada sihir (mu’minun bi sihrin), yaitu orang yang meyakini bahwa sihir itu sendiri yang memberikan pengaruh, bukan dengan takdir dan kehendak Allah.<br /><br />[c]. Orang yang memutuskan tali silaturahmi (qaatu’u rahim), yaitu orang yang menjauhi kerabatnya, tidak bersilaturahmi kepada mereka dan tidak juga mengunjungi mereka.<br /><br />Kandungan Hadits.<br />Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang meyakini bahwa sihir sematalah yang memberikan pengaruh, tetapi seorang mukmin harus meyakini bahwa sihir atau yang lainnya tidak akan bisa memberi pengaruh kecuali atas kehendak Allah. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.<br /><br />“ Artinya : Dan mereka itu ( ahli sihir) tidak memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorang pun, kecuali dengan izin Allah….” [Al- Baqarah: 102]<br /><br />[5]. Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu mengatakan, “ Barang siapa mendatangi peramal atau tukang sihir atau dukun, lalu dia bertanya dan mempercayai apa yang dikatakannya, maka dia telah kufur terhadap apa yang telah diturunkan kepada Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam.”[4]<br /><br /><br />[Disalin dari kitab Ash-Shaarimul Battaar Fit Tashaddi Lis Saharatil Asyraar edisi Indonesia Sihir & Guna-Guna Serta Tata Cara Mengobatinya Menurut Al-Qur'an Dan Sunnah, Penulis Wahid bin Abdissalam Baali, Terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi'i]<br />_________<br />Foote Note.<br /><br />[1]. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no.3905) dan ibnu Majah (no. 3726 ) serta dinilai hasan oleh al- Albani di dalam kitab as-Shahiihah (no. 793 ) dan di dalam Shahih Ibnu Majah ( II/305 no.3002 ).<br />[2]. Dalam kitab, Majma’uz Zawaa’id ( V / 20 ), al-Hautsami mengungkapkan, Hadits ini diriwayatkan oleh al-Bazzar dan para rijalnya shahih kecuali Ishaq bin ar-Rabi’, yang mana dia adalah seorang yang tsiqah. “ sedangkan al- Mundziri didalam kitab, at-targhib (VI /32 ) mengatakan, “ Diriwayatkan oleh al-Bazzar dengan sanad yang jayyid, dan diriwayatkan oleh at-Thabrani …. Dengan sanad yang hasan. “ Al-Albani berkata dalam kitab Takhriij Ahaadiitsil Halaal wal Haraam ( no.289 ) :” Hadits ini mencapai derajat hasan lighairihi.”<br />[3] Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban. Di dalam kitab: Takhriijul Halal wal Haram, (no 291 ), al-Albani mengatakan, “ Hadits ini mempunyai syahid dari hadits Abu Sa’id, yang karenanya hadits tersebut naik ke derajat hasan.”<br />[4]. Didalam kitab at-Targhib ( IV / 53 ), al-Hapidz al- Mundziri rahimahullah mengatakan: “ Diriwayatkan oleh al-Bazzar dan Abu Ya’la dengan sanad yang jayyid secara maukuf.” </p>MUSLIM KAFFAHhttp://www.blogger.com/profile/12527866730164618004noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6900756058190518083.post-48406952068677349692009-08-29T12:41:00.000-07:002009-08-29T12:42:01.746-07:00Sihir Dalam Pandangan Al-Qur'an Dan As-Sunnah 4/6<p align="justify">Oleh<br />Wahid bin Abdissalam Baali<br />Bagian Empat dari Enam Tulisan [4/6]<br /><br /><br />Kedua: Dalil-dalil dari as-Sunnah<br /><br />[1]. Dari ‘Aisyah Radhiyallahu 'anha, dia berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, pernah disihir oleh seseorang dari bani Zuraiq yang bernama Labid bin al-Asham, sampai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salllam dibuat membayangkan seolah-olah beliau melakukan sesuatu padahal beliau tidak berbuat apa-apa. Sampai pada suatu hari atau pada suatu malam ketika beliau berada disisiku, akan tetapi beliau terus berdo’a dan berdo’a, kemudian beliau bersabda, Wahai ‘Aisyah, apakah kamu tahu bahwa Allah telah memberikan jawaban kepadaku tentang apa yang aku tanyakan kepada-Nya tentangya(sihir, -ed)? Ada dua orang yang mendatangiku, satu diantaranya duduk didekat kepalaku dan yang satunya lagi berada didekat kakiku. Lalu salah seorang diantara keduanya berkata kepada temannya,”Sakit apa orang ini?” ‘Disihir,’ sahut temannya. ‘Siapa yang telah menyihirnya?’ Tanya temannya lagi. Temannya menjawab, ‘Labid bin al-Asham.’ Dalam bentuk apa sihir itu?’ Dia menjawab, ‘Pada sisir dan rontokan rambut ketika disisir, dan kulit mayang kurma jantan.’ Lalu, dimana semuanya itu berada?’ Tanya temannya. Dia menjawab, ‘ disumur Dzarwan.” Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mendatangi sumur itu bersama beberapa orang sahabat beliau. Lalu, beliau datang dan berkata, “Wahai ‘Aisyah, seakan-akan airnya berwarna merah seperti perasan daun pacar, dan seakan-akan kulit mayang kurmanya seperti kepala syaitan,” Lalu kutanyakan, “wWahai Rasulullah, tidakkah engkau meminta dikeluarkan?” beliau menjawab, “Allah telah menyembuhkanku, sehingga aku tidak ingin memberi pengaruh buruk kepada umat manusia dalam hal itu.”Kemudian beliau memerintahkan untuk menimbunnya, maka semuanya pun ditimbun dengan segera. [1]<br /><br />Makna Hadits.<br /><br />Orang-orang yahudi, semoga Allah melaknat mereka, telah bersepakat dengan Labid bin al-A’sham, tukang sihir Yahudi terhebat, untuk menyihir Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan imbalan tiga dinar. Secara spontan, Labid, si manusia sengsara itu, segera melancarkan sihir pada beberapa helai rambut Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Ada yang mengatakan bahwa Labid mendapatkan beberapa helai rambut itu dari seorang anak kecil yang pernah pergi kerumah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Pada beberapa helai rambut itu, Labid melancarkan sihirnya dan kemudian meletakannya disumur Dzarwan.<br /><br />Secara lahiriah, melalui penggabungan beberapa hadits, bahwa sihir ini termasuk jenis sihir yang dimaksudkan untuk memisahkan suami dari isterinya. Dalam bayangan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau dapat mencampuri salah seorang istrinya, tetapi setelah mendekatinya, beliau tidak dapat melakukannya. Tetapi sihir yang dilancarkannya itu tidak berhasil mengenai akal, tingkah laku dan tindakan beliau, dan sihir itu tidak berhasil memberikan pengaruh kecuali seperti yang disebutkan diatas.<br /><br />Para ulama telah berbeda pendapat mengenai masa sihir itu berlangsung. Ada yang mengatakan, empat puluh hari, dan ada juga yang mengatakan lain, wallahu a’lam. Kemudian, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memanjatkan do’a kepada Rabbnya dan bersungguh-sunggguh dalam memanjatkannya, sehingga Allah mengabulkan do’anya dan menurunkan dua malaikat, yang salah satunya duduk didekat kepada beliau dan satu lagi didekat kakinya. Salah seorang dari keduanya bertanya, ‘Sakit apa dia?’ ‘disihir,’ sahut temannya. ‘Siapa yang telah menyihirnya?’ Tanya temannya lagi. Dia menjawab, ‘Labid bin al-A’sham, si Yahudi. Selanjutnya, salah satu Malaikat itu menjelaskan bahwa sihirnya ada pada sisir dan rontokan rambut Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, yang diletakan di kulit mayang kurma jantan, yang demikian itu adalah berpengaruh lebih kuat dan dahsyat, lalu ditimbun dibawah bongkahan batu di sumur Dzarwan.<br /><br />Setelah kedua Malaikat itu selesai mendeteksi keadaan Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam, maka Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam memerintah untuk mengeluarkan sihir itu dan menimbunnya, dan dalam beberapa riwayat beliau membakarnya. Dari penggabungan jalan periwayatan hadits, tampak jelas bahwa orang-orang Yahudi telah melancarkan satu macam sihir yang paling dahsyat kepada Nabi Shalallahu 'alaihi was allam, tujuan mereka adalah membunuh beliau. Diantara sihir itu memang ada yang mengakibatkan kematian, sebagaimana yang sudah diketahui, tetapi Allah Ta’ala melindungi beliau dari tipu daya mereka., sehingga sihir itu diringankan menjadi sihir yang paling ringan, yaitu sihir ar-rabth (ikatan).<br /><br />Keraguan Dan Jawabanya:<br /><br />Al-Mazari Rahimallahu mengatakan: “ Hadits tersebut telah ditolak oleh para pelaku bid’ah, dengan alasan karena hal itu telah menjatuhkan posisi kenabian dan menimbulkan keraguan terhadapnya. Masih menurut para pelaku bid’ah, membenarkan hadits tersebut secara otomatis menghilangkan kepercayuaan terhadap syari’at. Mereka berkata, ‘ Bisa jadi pada saat itu muncul bayangan bahwa Jibril Alaihissalam mendatangi beliau, padahal Jibril tidak datang, dan seakan-akan jibril menyampaikan wahyu kepada beliau padahal tidak demikian”.<br /><br />Lebih lanjut, al-Mazari mengemukakan: “ Apa yang mereka katakan itu sudah pasti tidak benar sama seakali, karena dalil risalah, yaitu mukjizat, menunjukan kebenaran apa yang beliau sampaikan dari Allah Ta’ala dan Kema’suman beliau dalam hal itu, dan membolehkan apa yang menjadi kebalikannya merupakan suatu hal yang bathil”. [2]<br /><br />Abul Jakni al- Yusufi Rahimallahu mengatakan: “ Terjadinya penyakit pada diri Nabi SAW yang disebabkan oleh sihir tidak akan berpengaruh pada martabat kenabian, karena penyakit yang tidak mengurangi martabat kenabian di dunia akan terjadi pada para Nabi Aalaihimushshaalatu Wassalam, dan meninggikan derajat mereka di akhirat. Pada saat itu, jika karena penyakit yang disebabkan oleh sihir itu terbayang oleh beliau Shallallaghu 'alaihi wa sallam bahwa beliau melakukan suatu urusan dunia padahal beliau tidak melakukannya, lalu setelah itu semua penyakit itu sembuh total karena Allah telah memberitahukan letak sihir itu dan cara mengeluarkannya dari tempatnya, serta menimbunnya, maka tidak ada aib dan kekurangan yang akan menodai risalah sama sekali, karena penyakit itu tidak berbeda dengan penyakit yang lainnya.<br /><br />Sihir itu tidak berhasil mengacaukan akalnya, tetapi hanya berhasil mengenai fisik beliau saja, seperti pandangannya, dimana terkadang terbayangkan oleh beliau, bahwa beliau mencampuri istrinya, padahal beliau tidak melakukannya. Hal ini terjadi pada saat sakit, dan hal ini tidak berbahaya.<br /><br />Selanjutnya, Abul Jakni al- Yusufi mengungkapkan:” Memang sangat aneh orang yang menganggap penyakit yang menimpa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang disebabkan sihir ini bisa menodai risalah beliau, padahal secara jelas didalam Al-Quran telah disebutkan kisah Musa bersama para tukang sihir Fir’au, dimana sihir telah membuat pandangan mereka melihat seakan-akan tongkat mereka sebagai ular, sehingga Allah tetap meneguhkan pendirian Musa, sebagai mana yang ditunjukan oleh firman-Nya:<br /><br />”Artinya : Kami berkata, ‘ Janganlah kamu takut, sesungguhnya kamulah yang paling unggul (menang). Dan lemparkanlah apa yang ada ditangan kananmu, niscaya ia akan tipu daya tukang sihir( belaka). Dan tidak akan menang tukang sihir itu, dari mana saja ia datang. ‘ Lalu tukang sihir-sihir itu tersungkur dengan bersujud, seraya berkata, ‘ Kami telah percaya kepada Rabb Harun dan Musa.” [Thaahaa: 68-70].<br /><br />Dalam hal ini, tidak seorang pun dari ulama dan juga orang-orang cerdas yang mengatakan bahwa apa yang diperlihatkan pada Musa 'Alaihis salam berupa ular-ular, yang sebenarnya hanyalah tongkat para tukang sihir, adalah menodai risalahnya, bahkan terjadinya hal tersebut pada diri para nabi as menambah kekuatan iman mereka, karena dengan demikian Allah telah menolong mereka atas musuh-musuhnya, serta mengalahkan berbagai hal luar biasa dengan mukjizat yang sangat hebat, menghinakan para tukang sihir dan orang-orang kafir dan menjadikan akibat yang baik hanya bagi-orang-orang yang bertaqwa, sebagaimana yang dijelaskan dalam ayat-ayat al-Quran yang benar-benar menjelaskan.” [3]<br /><br />[2]. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam beliau bersabda:<br /><br />“ Artinya : Jauhilah oleh kalian tujuh dosa besar yang membinasakan.” Para Sahabat bertanya, “ Wahai Rasulullah, apakah ketujuh dosa besar itu?” Beliau menjawab:” Syirik kepada Allah, sihir, dan membunuh jiwa yang diharamkan allah kecuali dengan alasan yang dibenarkan, memakan riba, memakan harta anak yatim, melarikan diri pada saat terjadi peperangan dan menuduh berzina wanita-wanita mukminah yang telah bersuami dan menjaga diri, yang tengah lengah.” [4]<br /> <br />Kandungan Hadits:<br /><br />Kandungan dari hadits ini adalah, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memerintahkan kita untuk menjauhi sihir, seraya menjelaskan bahwa sihir termasuk perbuatan dosa besar yang dapat membinasakan. Dan hal itu menunjukan bahwa sihir itu suatu hal yang benar-benar ada dan bukan khurafat (ceritta bohong).<br /><br /><br />[Disalin dari kitab Ash-Shaarimul Battaar Fit Tashaddi Lis Saharatil Asyraar edisi Indonesia Sihir & Guna-Guna Serta Tata Cara Mengobatinya Menurut Al-Qur'an Dan Sunnah, Penulis Wahid bin Abdissalam Baali, Terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi'i]<br />_________<br />Foote Note<br />[1]. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (X/222-Fat-h) dan Muslim dalam kitab as- Salaam bab as-Sihr (XIV/174-Nawawi) <br />[2]. Zaadul Muslim (IV / 221).<br />[3]. Zaadul Muslim (IV / 22).<br />[4]. Diriwayatkan oleh al-Bukhari (V/393-Fat-h) dan Muslim (II/83-Nawawi<br /></p>MUSLIM KAFFAHhttp://www.blogger.com/profile/12527866730164618004noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6900756058190518083.post-57986088432715428112009-08-29T12:40:00.000-07:002009-08-29T12:41:21.030-07:00Sihir Dalam Pandangan Al-Qur'an Dan As-Sunnah 3/6<p align="justify">Oleh<br />Wahid bin Abdissalam Baali<br />Bagian Tiga dari Enam Tulisan [3/6]<br /><br /><br /><br />B. Dalil yang Menunjukkan adanya Sihir.<br /><br />Pertama : Dalil-dalil dari Al-Qur-an:<br /><br />[1]. Allah Ta’ala berfirman:<br /> <br />“Artinya : Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), akan tetapi syaitan-syaitan itulah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang Malaikat di negri Babil, yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorang pun sebelum mengatakan, ‘Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir.’ Maka, mereka mempelajari dari kedua Malaikat itu apa yang dengan sihir itu mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan istrinya. Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorang pun, kecuali dengan izin Allah. Dan mereka mempelajari sesuatu yang memberi mudharat kepada mereka dan tidak memberi manfaat. Sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barang siapa yang menukarnya (Kitabullah) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan diakhirat, dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya sendiri dengan sihir, kalau mereka mengetahui.” [Al-Baqarah: 102]<br /><br />[2]. Firman-Nya<br /><br />“Artinya : Musa berkata, Apakah kamu mengatakan terhadap kebenaran waktu ia datang kepadamu, sihirkah ini padahal ahli-ahli sihir itu tidaklah mendapat kemenangan.” [Yunus: 77]<br /><br />[3]. Firman-Nya<br /><br />“Artinya : Maka setelah mereka melemparkan, Musa berkata kepada mereka, Apa yang kamu lakukan itu, itulah sihir, sesungguhnya Allah akan menampakkan ketidakbenarannya. Sesungguhnya Allah tidak akan membiarkan terus berlangsungnya pekerjaan orang-orang yang membuat kerusakan. Dan Allah akan mengokohkan yang benar dengan ketetapan-Nya, walaupun orang-orang yang berbuat dosa tidak menyukai(nya).” [Yunus: 81-82]<br /><br />[4]. Firman-Nya<br /><br />“Artinya : Maka musa merasa takut dalam hatinya. Kami berkata, Janganlah kamu takut, sesungguhnya kamulah yang paling unggul (menang). Dan lemparkanlah apa yang ada ditangan kananmu, niscaya ia akan menelan apa yang mereka perbuat. Sesungguhnya apa yang mereka perbuat itu adalah tipu daya tukang sihir (belaka) Dan tidak akan menang tukang sihir itu, dari mana saja ia datang.” [ Thaahaa: 67-69]<br /><br />[5]. Firman-Nya<br /><br />“Artinya : Dan Kami wahyukan kepada Musa, Lemparkanlah tongkatmu.’ Maka sekonyong-konyong tongkat itu menelan apa yang mereka sulapkan. Karena itu nyatalah yang benar dan batallah yang selalu mereka kerjakan. Maka mereka kalah ditempat itu dan jadilah mereka orang-orang yang hina. Dan ahli-ahli sihir itu serta merta meniarapkan diri dengan bersujud, Mereka berkata, Kami beriman kepada Rabb semesta alam (yaitu) Rabb Musa dan Harun.” [Al-a’raf: 117-122]<br /><br />[6]. Juga firman-Nya<br /><br />“Artinya : Katakanlah, Aku berlindung kepada Rabb Yang menguasai Shubuh, dari kejahatan mahluk-Nya, dan dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita, dan dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembus buhul-buhul dan dari kejahatan orang-orang yang dengki apabila ia dengki.” [Al-Falaq: 1-5]<br /><br />Al-Qurthubi mengemukakan: “Dan dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul, yakni tukang-tukang sihir wanita yang menghembuskan pada buhul-buhul pada saat membaca mantra.” [1]<br /><br />Al-Hafizh Ibnu Katsir, mengatakan, Dan dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul’:<br /><br />Mujahid, ‘Ikrimah, al-Hasan, dan adh-Dhahhak mengemukakan, yakni, para tukang sihir.”[2]<br /><br />Ibnu Jarir ath-Thabari mengungkapkan,”Yakni, dari kejahatan para tukang sihir wanita yang menghembuskan buhul-buhul pada saat membaca mantra,”Al-Qasimi mengatakan, “Pendapat itu pula yang dikemukakan oleh para ahli tafsir.”[3]<br /><br />Ayat-ayat al-Qur’an yang membahas masalah sihir dan para penyihir cukup banyak dan sangat populer, meski bagi orang yang memiliki pengetahuan paling minim sekalipun tentang agama Islam.<br /><br /><br />[Disalin dari kitab Ash-Shaarimul Battaar Fit Tashaddi Lis Saharatil Asyraar edisi Indonesia Sihir & Guna-Guna Serta Tata Cara Mengobatinya Menurut Al-Qur'an Dan Sunnah, Penulis Wahid bin Abdissalam Baali, Terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi'i]<br />_________<br />Foote Note<br />[1] Tafsir al-Qurthubi (XX/257).<br />[2] Tafsir Ibnu Katsiir (IV/573). <br />[3] Tafsir al-Qaasimi (X/302).</p>MUSLIM KAFFAHhttp://www.blogger.com/profile/12527866730164618004noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6900756058190518083.post-84609906191549798152009-08-29T12:39:00.000-07:002009-08-29T12:40:38.150-07:00<p align="justify">Oleh<br />Wahid bin Abdissalam Baali<br />Bagian Kedua dari Enam Tulisan [2/6]<br /><br /><br /><br />Kedua: Dalil-Dalil Dari As-Sunnah<br /><br />[1]. Dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, kami pernah bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu malam. Kemudian kami kehilangan beliau, sehingga kami pun mencari beliau di lembah-lembah dan perbukitan, lalu kami katakan, “Beliau telah dibawa terbang atau dibunuh. Sehingga kami bermalam dengan malam yang tidak menyenangkan ditempat itu bersama suatu kaum. Pada pagi harinya kami bangun dan ternyata beliau datang dari arah gua Hira’, maka kami katakan, “Wahai Rasulullah, kami telah kehilangan engkau, lalu kami mencarimu tetapi kami tidak mendapatkan dirimu, sehingga kami bermalam dengan malam yang tidak menyenangkan bersama suatu kaum disana.” Maka beliau bersabda:<br /><br />“Artinya : Aku telah didatangi utusan dari jin, lalu aku pergi bersamanya dan selanjutnya aku bacakan al-Qur’an kepada mereka.”<br /> <br />Lebih lanjut, Ibnu Mas’ud berkata, kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berangkat bersama kami, lalu beliau memperlihatkan kepada kami bekas-bekas mereka dan bekas api mereka. Dan mereka (pun jin,) bertanya kepada beliau tentang perbekalan(makanan), maka beliau bersabda,”Bagi kalian setiap tulang yang disebutkan padanya nama Allah (pada saat menyembelihnya atau memasaknya,). Tulang-tulang itu jatuh ketangan kalian lebih baik dari daging. Dan setiap kotoran hewan adalah makanan bagi binatang kalian.” Kemudian Rasulullah bersabda:<br /><br />“Artinya : Maka janganlah kalian beristinja’ dengan kedua benda tersebut (tulang dan kotoran), karena keduanya adalah makanan saudara-saudara kalian.”[1]<br /><br /><br />[2]. Dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda kepadaku, “Aku lihat kamu menyukai kambing dan padang pasir. Jika kamu berada ditengah-tengah sekelompok kambing dan padang pasir lalu kamu mengumandangkan adzan untuk shalat, maka keraskanlah suaramu itu, karena sesungguhnya tidaklah jin, manusia dan segala sesuatu yang mendengarnya’ melainkan akan menjadi saksinya pada hari kiamat kelak.”[2]<br /><br /><br />[3]. Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pergi bersama beberapa orang sahabatnya menuju pasar Ukazh, sedang antara berita langit dan syaitan-syaitan telah diberikan penghalang, sementara mereka juga dilempari bintang-bintang, sehingga syaitan-syaitan itu kembali kepada kaum mereka, maka kaum mereka bertanya, “Apa yang terjadi pada kalian?” Mereka menjawab, ”Kami telah dihalangi dari berita langit, serta dilempari dengan bintang-bintang.” Kaum mereka berkata, “Kalian tidak dihalangi dari berita langit melainkan karena sesuatu yang telah terjadi. Oleh karena itu, menyebarlah kalian keseluruh penjuru bumi bagian timur maupun barat, lalu perhatikan, apa yang telah menghalangi kalian dari berita langit.” Kemudian mereka yang berangkat ke Tihamah menuju kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang ketika itui beliau tengah berada di Nakhlah menuju pasar ‘Ukazh, beliau tengah mengerjakan shalat subuh bersama para sahabat. Ketika mereka mendengarkan al-Qur’an, mereka pun mendengarkannya secara seksama dan kemudian berkata, “ Demi Allah, inilah yang menghalangi kalian dari berita langit.” Dari sanalah kemudian mereka kembali kepada kaumnya seraya berkata, “Wahai kaum kami, sesungguhnya kami telah mendengar al-Qur’an yang sangat menakjubkan, yang memberi petunjuk kepada jalan yang benar, lalu kami beriman kepadanya dan kami tidak akan pernah menyekutukan Rabb kami dengan seorangpun.” Maka, Allah menurunkan firman kepada nabi-Nya:<br /><br />“ Artinya : Katakanlah (hai Muhammad), Telah diwahyukan kepadaku, bahwasanya sekumpulan jin telah mendengarkan (al-Qur’an),”<br /><br />Dan ucapan jin itu diwahyukan kepada beliau [3] <br /><br /> <br />[4]. Dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha, dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:<br /><br />“ Artinya : Para Malaikat itu diciptakan dari cahaya dan jin diciptakan dari nyala api, sedangkan Adam diciptakan dari apa yang telah dijelaskan kepada kalian.”[4]<br /><br />[5]. Dari Shafiyah binti Huyay Radhiyallahu ‘anha, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:<br /><br />“Artinya : Sesungguhnya syaitan itu berjalan pada diri anak Adam dalam aliran darah.”[5]<br /><br /><br />[6]. Dari ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:<br /><br />“Artinya : Jika salah seorang diantara kalian makan, maka hendaklah dia makan dengan tangan kanannya, dan jika minum maka hendaklah dia minum dengan tangan kanannya, karena sesungguhnya syaitan itu makan dengan tangan kirinya dan minum dengan tangan kirinya.”[6]<br /><br /><br />[7]. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:<br /><br />“ Artinya : Tidaklah seorang anak dilahirkan melainkan ditusuk oleh syaitan, sehingga dia menjerit dengan suara keras karena tusukan syaitan itu, kecuali putra maryam dan ibunya.”[7]<br /><br /><br />[8]. Dari ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, pernah diceritakan di hadapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang seorang laki-lakiyang tidur malam hari sampai pagi, maka beliau pun bersabda:<br /><br />“Artinya : Itulah orang-orang yang telah dikencingi syaitan pada kedua telinganya atau salah satu telinganya.”[8]<br /><br /><br />[9]. Dari Abu Qatadah Radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:<br /><br />“Artinya : Mimpi yang baik itu dari Allah, sedangkan mimpi yang tidak baik itu dari syaitan. Oleh karena itu, barang siapa mimpi sesuatu yang tidak dia sukai, maka hendaklah dia meludah tipis ke sebelah kirinya sebanyak tiga kali dan memohon perlindungan (kepada Allah) dari syaitan, maka mimpi itu tidak akan membahayakannya.”[9]<br /><br /><br />[10].Dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu ‘anhu , bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:<br /><br />“Artinya : Jika salah seorang diantara kalian menguap, maka hendaklah dia menahan mulutnya dengan tangannya, karena syaitan akan masuk.”[10]<br /><br />Hadits-hadist yang membahas masalah ini cukup banyak dan hal itu sudah sangat memadai bagi pencari kebenaran. Dari sini tampak jelas oleh kita bahwa jin dan syaitan itu memang ada, tidak dapat digoyahkan oleh keraguan, serta tidak dapat ditentang kecuali oleh orang-orang yang sombong lagi angkuh yang hanya mengikuti hawa nafsunya tanpa mendatkan petunjuk dari Allah.[11]<br /><br /><br />[Disalin dari kitab Ash-Shaarimul Battaar Fit Tashaddi Lis Saharatil Asyraar edisi Indonesia Sihir & Guna-Guna Serta Tata Cara Mengobatinya Menurut Al-Qur'an Dan Sunnah, Penulis Wahid bin Abdissalam Baali, Terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi'i]<br />_________<br />Foote Note<br />[1].Diriwayatkan oleh Muslim (IV / 170-Nawawi).<br />[2].Diriwayatkan oleh Malik (I /68),al-Bukhari (VI/434-Fat-h), an-Nasa-i (II/12) dan Ibnu Majah (II/12)<br />[3].Diriwayatkan oleh al-Bukhari (II/253-Fat-h) dan Muslim (IV/168-Nawawi) Lafazh hadits ini dari al-Bukhari.<br />[4].Diriwayatkan oleh Ahmad (VI/153 dan 168) dan Muslim (XVIII/123-Nawawi)<br />[5].Diriwayatkan oleh al-Bukhari (IV/282-Fat-h) dan Muslim (XIV/155-Nawawi)[6].Diriwayatkan oleh Muslim (XIII / 191-Nawawi).<br />[7].Diriwayatkan oleh al-Bukhari (VII/212-Fat-h) dan Muslim (XV/120-Nawawi)[8].Diriwayatkan oleh al-Bukhari (III/28-Fat-h) dan Muslim (VI/64-Nawawi)<br />[9].Diriwayatkan oleh al-Bukhari (XII/283-Fat-h) dan Muslim (XV/16-Nawawi) <br />[10].Diriwayatkan oleh Muslim (XVIII / 122-Nawawi). Dan juga ad-Darimi<br />[11].Bagi yang berminat untuk memperluas ini, maka hendaklah dia merujuk kembali kitab: Wiqaayatul Insaan minal Jinni wasy Syaithaan, karya penulis</p>MUSLIM KAFFAHhttp://www.blogger.com/profile/12527866730164618004noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6900756058190518083.post-83165896056646907952009-08-29T12:37:00.000-07:002009-08-29T12:39:01.679-07:00SIHIR DALAM PANDANGAN AL-QURAN DAN AS-SUNNAH<span><span style="font-family:verdana;">Oleh<br />Wahid bin Abdissalam Baali<br />Bagian Pertama dari Enam Tulisan [1/6]<br /><br /><br />A. Dalil-Dalil yang Menunjukkan adanya Jin dan Syaitan. [1]<br /><br />Ada hubungan yang kuat antara jin dan sihir, bahkan jin dan syaitan merupakan factor utama dalam dunia sihir. Sebagian orang ada yang mengingkari keberadaan jin. Bertolak dari hal tersebut, mereka mengingkari terjadinya sihir. Oleh karena itu, saya hendak mengutarakan beberapa dalil yang menunjukan adanya jin dan syaitan secara ringkas.<br /><br /><br />Pertama : Dalil-dalil dari al-Qur-an:<br /><br />1. Allah Ta’ala berfirman:<br /><br />“ Artinya : Dan (ingatlah) ketika kami hadapkan serombongan jin kepadamu yang mendengarkan al-Qur-an.” [Al-Ahqaaf: 29]<br /><br />2. Dia juga berfirman :<br /><br />“Artinya : Hai golongan jin dan manusia, apakah belum datang kepadamu Rasul-Rasul dari golonganmu sendiri, yang menyampaikan kepadamu ayat-ayat-Ku dan memberi peringatan kepadamu terhadap pertemuanmu dengan hari ini.” [Al-An’aam:130]<br /><br />3. Selain itu, Dia juga berfirman:<br /><br />“Artinya : Hai jama’ah jin dan manusia, jika kamu sanggup (melintasi) penjuru langit dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya kecuali dengan kekuatan.” [Ar-Rahmaan: 33]<br /><br />4. Firman-Nya:<br /><br />“ Artinya : Katakanlah(hai Muhammad), Telah diwahyukan kepadaku bahwasanya sekumpulan jin telah mendengarkan (al-Qur’an),’ lalu mereka berkata, ”Sesungguhnya kami telah mendengarkan al-Qur’an yang menakjubkan,” [Al-Jinn: 1]<br /><br />5. Juga firman-Nya:<br /><br />“Artinya : Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki diantara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki diantara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan.” [Al-Jinn: 6]<br /><br />6. Serta firman-Nya:<br /><br />“ Artinya : Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian diantara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi dan menghalangimu dari mengingat Allah dan shalat; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).” [Al-Maidah: 91]<br /><br />7. Dan firman-Nya:<br /><br />“Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan. Barang siapa yang mengikuti langkah-langkah syaitan, maka sesungguhnya syaitan itu menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan yang mungkar…” [An-Nuur: 21]<br /><br />Dalil-dalil dari al-Qur’an cukup banyak dan sangat popular, serta cukup bagi Anda untuk mengetahui bahwa di dalam al-Qur’an terdapat satu surat penuh yang berbicara tentang jin. Bahkan cukup juga bagi Anda untuk mengetahui bahwa kata (al-jiin) disebutkan didalam al-Qur’an sebanyak 22 kali, dan kata (al-jaann) sebanyak 7 kali, kata (asy-syaithaan) sebanyak 68 kali, kata (asy-syayaathiin) sebanyak 17 kali. Dan yang menjadi penguat, bahwa ayat-ayat al-Qur’an yang berbicara tentang jin dan syaythiin (jamak dari kata syaithaan) ini cukup banyak.<br /><br /><br />[Disalin dari kitab Ash-Shaarimul Battaar Fit Tashaddi Lis Saharatil Asyraar edisi Indonesia Sihir & Guna-Guna Serta Tata Cara Mengobatinya Menurut Al-Qur'an Dan Sunnah, Penulis Wahid bin Abdissalam Baali, Terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi'i]<br />_________<br />Foote Note<br />[1] Lihat Kitab : Wiqaayatul Insaan, (hal 15)</span></span>MUSLIM KAFFAHhttp://www.blogger.com/profile/12527866730164618004noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6900756058190518083.post-52421688407310687232009-08-29T12:36:00.000-07:002009-08-29T12:37:23.475-07:00PEMBAGIAN SIHIR MENURUT AR-RAZI<span><span style="font-family:verdana;">Oleh<br />Wahid bin Abdissalam Baali<br /><br /><br /><br /><br /><br />Abu ‘Abdillah Ar-Razi mengungkapkan bahwa macam-macam sihir itu ada delapan, yaitu:<br /><br />[1]. Sihir Orang-Orang Kildan Dan Kisydan Yang Mereka Adalah Penyembah Tujuh Bintang.<br /><br />Mereka meyakini bahwa ketujuh bintang itulah yang mengatur dan mengendalikan alam ini. Menurut mereka, bintang-bintang itu yang membawa kebaikan dan keburukan. Itulah orang-orang yang kepada mereka diutus Nabi Ibrahim Alaihis Salam<br /><br />[2]. Sihir Orang-Orang Yang Suka Berilusi Dan Mempunyai Jiwa Yang Kuat.<br /><br />Mereka berpendapat bahwa wahm (ilusi) itu mempunyai pengaruh, yaitu bahwa manusia dapat berjalan diatas pelepah yang diletakkan diatas permukaan tanah, tetapi dia tidak bisa berjalan diatasnya jika dibentangkan diatas sungai atau semisalnya.<br /><br />Lebih lanjut, Abu ‘Abdillah Ar-Razi mengemukakan bahwa sebagaimana para dokter telah sepakat untuk melarang orang yang suka mimisan (mengeluarkan darah dari hidung) melihat objek yang berwarna merah dan orang yang kesurupan untuk melihat berbagai benda yang mempunyai kilatan sangat kuat untuk yang berputar-putar. Yang demikian itu tidak lain karena jiwa itu diciptakan untuk selalu taat kepada ilusi-ilusi.<br /><br />[3]. Meminta Bantuan Kepada Para Arwah Yang Bersemayam Di Bumi, Yaitu Bangsa Jin. Mereka Ini Terbagi Menjadi Dua Bagian : Jin Mukmin Dan Jin Kafir, Yang Tidak Lain Mereka (Jin Kafir Tersebut) Adalah Syaitan.<br /><br />Selanjutnya, orang-orang yang memproduksi sesuatu dan orang-orang yang suka melakukan eksperimen telah menyaksikan bahwa berhubungan dengan ruh-ruh bumi ini berlangsung melalui amalan-amalan yang cukup mudah dan dengan mantra yang tidak banyak [1], serta kepulan asap. Jenis ini disebut dengan jimat dan usaha melakukan penundukan.<br /><br />[4]. Ilusi, Hipnotis Dan Sulap<br /><br />Dasar pijakan praktek ini adalah bahwa manusia sering kali melakukan kesalahan dan hanya terfokus pada suatu hal saja dan tidak pada yang lainnya. Tidakkah anda memperhatikan pesulap ulung yang memperlihatkan sesuatu yang bisa membuat para penontonnya tercengang serta menarik perhatian mata mereka kepadanya, sehingga apabila pandangan mereka sudah sibuk dan terfokus pada sesuatu itu, maka si pesulap tersebut akan melakukan hal lain dengan cepat, dan pada saat itu akan telihat oleh mereka sesuatu yang blain selain apa yang mereka tunggu-tunggu, sehingga mereka benar-benar sangat heran. Jika si pesulap itu diam dan tidak berbicara untuk mengalihkan pikiran kepada kebalikan dari apa yang ingin ia kerjakan, sedang jiwa dan ilusi terfokus kepada apa yang hendak dikeluarkannya, niscaya para penonton akan mengerti setiap apa yang dikerjakanya.<br /><br />[5]. Berbagai Tindakan Menakjubkan Yang Muncul Dari Hasil Penyusunan Alat-Alat Secara Seimbang Dan Sesuai Dengan Ilmu Rancang Bangun, Misalnya, Seorang (Patung) Penunggang Kuda Yang Memegang Terompet, Setiap Berlalu Satu Jam, Maka Terompet Itu Akan Berbunyi Tanpa Ada Yang Menyentuhnya.<br /><br />Abu ‘Abdillah Ar-Razi mengungkapkan bahwa diantara penyusunan alat-alat ini adalah penyusunan otak jam. Pada hakikatnya, hal tersebut tidak bisa dikategorikan sebagai sihir, karena ia memiliki sebab musabab yang pasti dan meyakinkan, orang yang benar-benar memperhatikan pasti akan mampu melakukannya juga.<br /><br />Berkenaan dengan hal tersebut, perlu saya (penulis) katakan,” Sekarang ini, hal-hal tersebut sudah sangat biasa, apalagi setelah terjadi kemajuan ilmu pengetahuan yang menjadi sebab ditemukannya berbagai hal yang menakjubkan.”<br /><br />[6]. Memakai Bantuan Dengan Obat-Obatan Khusus, Yakni Apa Yang Terdapat Pada Makanan Dan Minyak.<br /><br />Abu ‘Abdillah Ar-Razi mengungkapkan:” Ketahuilah, tidak ada alasan untuk mengingkari berbagai hal khusus tersebut karena pengaruh magnet itu sudah sangat jelas.”<br /><br />[7]. Ketergantungan Hati.<br /><br />Dalam hal ini, tukang sihir mengaku bahwa dia mengetahui nama yang Maha Agung dan bahwasannya jin mentaati dan tunduk patuh kepada-Nya dalam banyak hal, dan seterusnya. Jika orang yang mendengar itu mempunyai kemampuan akal yang lemah dan mempunyai insting pembeda yang minim, maka dia akan meyakini bahwa yang demikian itu benar, lalu hatinya bergantung kepadanya sehingga muncul dalam dirinya kecemasan dan rasa takut. Dan jika muncul rasa takut, maka akan melemah pula berbagai kekuatan inderawinya. Pada saat itu, akan sangat mungkin bagi tukang sihir untuk mengerjakan apa yang dikehendakinya.<br /><br />[8]. Usaha Melakukan Pergunjingan Dan Pendekatan Diri [2] Dengan Cara Terselubung Dan Nyaris Tidak Terlihat. Dan Hal Itu Sudah Tersebar Luas Di Kalangan Masyarakat. [3]<br /><br />Dan Ibnu Katsir mengatakan: “ Ar-Razi telah memasukan banyak macam dari berbagai hal yang telah disebutkan berkenaan dengan seni sihir karena terlalu halus untuk dilihat oleh padangan mata, sebab menurut bahasa, sihir berarti sesuatu yang halus dan sebabnya sangat tersembunyi" [4]<br /><br /><br />[Disalin dari kitab Ash-Shaarimul Battaar Fit Tashaddi Lis Saharatil Asyraar edisi Indonesia Sihir & Guna-Guna Serta Tata Cara Mengobatinya Menurut Al-Qur'an Dan Sunnah, Penulis Wahid bin Abdissalam Baali, Terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi'i]<br />_________<br />Foote Note.<br />[1]. Tetapi, praktek ini mengandung kekufuran, kemusrikan dan kerugian yang benar-benar nyata<br />[2]. Tafsiir ar-Raazi. (II/231).<br />[3]. Tafsiir Ibnu Katsir (I/147).<br />[4]. Ibid.</span></span>MUSLIM KAFFAHhttp://www.blogger.com/profile/12527866730164618004noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6900756058190518083.post-51667496357385578652009-08-29T12:35:00.000-07:002009-08-29T12:36:23.133-07:00PEMBAGIAN SIHIR MENURUT AR-RAGHIB<p align="justify">Oleh<br />Wahid bin Abdissalam Baali<br /><br /><br /><br /><br /><br />Ar-Raghib mengemukakan bahwa sihir itu dipergunakan untuk beberapa pengertian, diantaranya:<br /><br />[1]. Sesuatu Yang Lembut Dan Halus.<br /><br />Dari kata itu, muncul kalimat:”Sahartush shabiyya” yang berarti aku telah mengelabui dan mengecoh anak kecil itu. Dan setiap orang yang tertarik pada sesuatu, berarti dia telah tersihir olehnya. Dari kata itu pula, para penya’ir mengungkapkan:” Penyihiran terhadap mata, karena tertariknya jiwa.” Dari kata itu pula, muncul ungkapan para dokter:” Tabi’at (karakter) yang menyihir.” Dan juga firman Allah Ta’ala:<br /><br />“Artinya : Bahkan kami adalah kaum yang tersihir.” [Al-Hijr : 15]<br /><br />Maksudnya, kami dipalingkan dari ilmu pengetahuan. Dan hadits berikut ini juga memuat kata tersebut:<br /><br />"Sesungguhnya diantara al-bayan [1] itu adalah sihir" [2]<br /><br />[2]. Sihir yang terjadi melalui tipuan dan ilusi yang tidak mempunyai hakikat sama sekali, seperti apa yang dilakukan para pesulap yang memalingkan pandangan dari apa yang sedang dilakukannya dengan kecepatan tangan.<br /><br />[3]. Sihir yang berlangsung dengan bantuan syaitan dengan cara melakukan pendekatan kepada mereka. Hal itu telah diisyaratkan oleh firman Allah Ta’ala:<br /><br />"Artinya : Hanya saja syitan-syaitan itu sajalah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia." [Al-Baqarah : 102]<br /><br />[4]. Sihir yang berlangsung melalui pembicaraan dengan bintang-bintang dan permintaan akan turunnya spiritualitasnya, seperti yang mereka akui.[3]<br /><br /><br />TAHQIQ DAN PENJELASAN TENTANG BEBERAPA MACAM SIHIR<br /><br /><br />Dari kajian pembagian sihir yang dilakukan oleh ar-Razi, ar-Raghib dan ulama lainnya,kita dapatkan bahwa mereka telah memasukan beberapa hal kedalam kategori sihir, yang sebenarnya bukan termasuk sihir. Yang menjadi sebab dalam hal ini adalah bahwa mereka bersandar pada pengertian etimologis (menurut tinjauan bahasa) dari makna sihir, yaitu sesuatu yang halus dan mempuyai sebab yang tidak terlihat.<br /><br />Bertolak dari hal tersebut, mereka memasukan kedalam sihir ini berbagai penemuan yang menakjubkan dan yang dihasilkan dari kecepatan tangan, serta usaha penggunjingan diantara umat manusia serta berbagai hal lain yang sebabnya tidak terlihat dan pintu masuknya sangat samar.<br /><br />Semuanya itu tidak kita perlukan dalam pembahasan ini, tetapi fokus pembahasan ini ditujukan seputar sihir yang sebenarnya, yang dalam prakteknya seorang tukang sihir bersandar pada jin dan syaitan.<br /><br />Ada hakikat lain yang harus dijelaskan, yaitu masalah yang telah disebutkan ar-razi juga ar-Raghib, yaitu yang disebut dengan spiritualitas bintang-bintang. Yang benar dan yang menjadi keyakinan kita bahwa bintang-bintang itu adalah salah satu makhluk ciptaan Allah yang dikendalikan dengan perintah-Nya dan ia tidak mempunyai spiritualitas serta tidak mempunyai pengaruh sama sekali untuk selamanya.<br /><br />Jika ada orang yang menyatakan bahwa kami pernah menyaksikan beberapa tukang sihir berbicara dengan menyebut nama-nama yang mereka akui sebagai nama-nama bintang atau yang menjadi symbol-simbolnya seraya memanggilnya, dan setelah itu sihir mereka akan berlangsung dan terlihat nyata dihadapan para penonton.<br /><br />Menjawab pertanyaan tersebut, dapat dikatakan bahwa jika hal itu memang benar-benar terjadi, maka sebenarnya hal itu bukanlah karena pengaruh bintang, tetapi karena pengaruh syaitan untuk menyesatkan para tukang sihir dan menjarumuskan mereka kedalam fitnah. Sebagaimana yang diriwayatkan bahwa ketika orang-orang kafir berbicara kepada berhala-berhala yang terbuat dari batu dan sama sekali tuli, maka pada saat itu syaitan yang menjawab mereka dengan suara yang terdengar dari dalam berhala, sehingga orang-orang kafir itu mengira bahwa berhala-berhala itu adalah tuhan, padahal yang sebenarnya tidak demikian. Dan cara yang menyesatkan itu cukup banyak dan cabang-cabang. Oleh karena itu, mudah-mudahan Allah melindungi kami dan kalian semua dari kejahatan syaitan, jin dan manusia.<br /><br /><br />[Disalin dari kitab Ash-Shaarimul Battaar Fit Tashaddi Lis Saharatil Asyraar edisi Indonesia Sihir & Guna-Guna Serta Tata Cara Mengobatinya Menurut Al-Qur'an Dan Sunnah, Penulis Wahid bin Abdissalam Baali, Terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi'i]<br />_________<br />Foote Note.<br />[1]. Al-bayan : Kefasihan dan kemampuan yang tinggi dalam berbicara.<br />[2]. HR. AL-Bukhari (5/1976, 2176),at-Tirmidzi (4/376), Abu Dawud (4/303), Ibnu Abi Syaibah dalam mushannafnya (7/479), Ahmad (1/327,397) dan Abu Ya’ la dalam musnadnya (4/220,454,10/12,13). Dan lafazh ini milik al-Bukhari.<br />[3]. Dinukil dari kitab Fat-hul Baari (X/222).</p>MUSLIM KAFFAHhttp://www.blogger.com/profile/12527866730164618004noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6900756058190518083.post-12147504039287339912009-08-29T12:33:00.000-07:002009-08-29T12:34:54.368-07:00Metode Sunnah dalam Menangkal dan Menanggulangi Sihir<p class="MsoNormal" style="text-align: center; text-indent: 36pt; line-height: 12.7pt;" align="center"><span style="font-size: 11pt; font-family: Verdana;"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">Ayat dan do’a pada edisi ini bisa di download pada versi PDF di link indeks risalah, dengan judul yang <span class="GramE">sama</span><o:p></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 12.7pt;"><span style="font-size: 8.5pt; font-family: Verdana;"><o:p><span style="font-family:verdana;font-size:85%;"> </span></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 150%;"><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Verdana;"><o:p><span style="font-family:verdana;font-size:85%;"> </span></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 150%;"><span class="GramE"><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Verdana;"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">Allah telah mensyari’atkan kepada hamba-hamba-Nya supaya mereka menjauhkan diri dari kejahatan sihir sebelum terkena pada diri mereka.</span></span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Verdana;"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;"> Allah juga menjelaskan tentang bagaimana <span class="GramE">cara</span> pengobatan sihir bila telah terjadi. <span class="GramE">Ini merupakan rahmat dan kasih sayang Allah, kebaikan dan kesempurnaan nikmat-Nya kepada mereka.</span><o:p></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 150%;"><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Verdana;"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">Berikut ini beberapa penjelasan tentang usaha menjaga diri dari bahaya sihir sebelum terjadi, begitu pula usaha dan <span class="GramE">cara</span> pengobatannya bila terkena sihir, yang dibolehkan menurut hukum syara’.<o:p></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt; line-height: 150%;"><span class="GramE"><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Verdana;"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">Pertama :</span></span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Verdana;"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;"> Tindakan Preventif, usaha menjauhkan diri dari bahaya sihir sebelum terjadi. Cara yang paling penting dan bermanfaat adalah menjaga diri dengan melakukan dzikir yang disyari’atkan, membaca do’a dan permohonan perlindungan sesuai dengan tuntunan Rasulullah </span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "AGA Arabesque";"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">r</span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Verdana;"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">, <span class="GramE">seperti :</span><o:p></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Verdana;"><o:p><span style="font-family:verdana;font-size:85%;"> </span></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Verdana;"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">1. Membaca ayat Kursi setiap selesai shalat </span></span><st1:city><st1:place><span class="GramE"><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Verdana;"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">lima</span></span></span></st1:place></st1:city><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Verdana;"> <span style="font-family:verdana;font-size:85%;">waktu, sesudah membaca wirid atau ketika akan tidur. <span class="GramE">Karena ayat Kursi termasuk ayat yang paling besar nilainya di dalam Al-Qur’an.</span> Rasulullah </span></span><span class="GramE"><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "AGA Arabesque";"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">r</span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Verdana;"><span style=""><span style="font-family:verdana;font-size:85%;"> </span></span><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">bersabda</span></span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Verdana;"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;"> dalam salah satu hadits shahihnya:<o:p></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span class="GramE"><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Verdana;"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">“<i>Barangsiapa membaca ayat Kursi pada malam hari, Allah senantiasa menjaganya dan syetan tidak akan mendekatinya sampai shubuh</i>”.</span></span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Verdana;"><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Verdana;"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">Ayat Kursi terdapat dalam </span></span><st1:city><st1:place><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Verdana;"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">surat</span></span></st1:place></st1:city><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Verdana;"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;"> Al Baqoroh ayat <span class="GramE">255 :</span><o:p></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">Çááøóåõ</span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;"> </span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">áóÇ</span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;"> </span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">Åöáóåó</span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;"> </span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">ÅöáøóÇ</span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;"> </span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">åõæó</span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"> </span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">ÇáúÍóíøõ</span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;"> </span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">ÇáúÞóíøõæãõ</span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"> </span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">áóÇ</span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;"> </span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">ÊóÃúÎõÐõåõ</span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"> </span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">ÓöäóÉñ</span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;"> </span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">æóáóÇ</span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"> </span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">äóæúãñ</span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;"> </span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">áóåõ</span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"> </span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">ãóÇ</span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;"> </span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">Ýöí</span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;"> </span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">ÇáÓøóãóæóÇÊö</span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;"> </span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">æóãóÇ</span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"> </span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">Ýöí</span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;"> </span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">ÇáúÃóÑúÖö</span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"> </span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">ãóäú</span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;"> </span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">ÐóÇ</span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;"> </span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">ÇáøóÐöí</span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;"> </span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">íóÔúÝóÚõ</span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"> </span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">ÚöäúÏóåõ</span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;"> </span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">ÅöáøóÇ</span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"> </span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">ÈöÅöÐúäöåö</span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;"> </span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">íóÚúáóãõ</span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"> </span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">ãóÇ</span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;"> </span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">Èóíúäó</span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"> </span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">ÃóíúÏöíåöãú</span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;"> </span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">æóãóÇ</span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"> </span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">ÎóáúÝóåõãú</span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;"> </span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">æóáóÇ</span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"> </span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">íõÍöíØõæäó</span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;"> </span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">ÈöÔóíúÁò</span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"> </span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">ãöäú</span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;"> </span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">Úöáúãöåö</span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"> </span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">ÅöáøóÇ</span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;"> </span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">ÈöãóÇ</span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"> </span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">ÔóÇÁó</span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;"> </span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">æóÓöÚó</span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"> </span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">ßõÑúÓöíøõåõ</span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;"> </span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">ÇáÓøóãóæóÇÊö</span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"> </span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">æóÇáúÃóÑúÖó</span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;"> </span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">æóáóÇ</span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"> </span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">íóÆõæÏõåõ</span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;"> </span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">ÍöÝúÙõåõãóÇ</span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"> </span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">æóåõæó</span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;"> </span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">ÇáúÚóáöíøõ</span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"> </span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">ÇáúÚóÙöíãõ</span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Verdana;"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">Artinya : “<i>Allah tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Dia, Yang Hidup Kekal lagi terus menerus mengurus (mahluk-Nya), tidak mengantuk dan tidak tidur, Kepunyaan-Nya apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. <span class="GramE">Siapakah yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izin-Nya?</span> Allah mengetahui <span class="GramE">apa</span> yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. <span class="GramE">Kursi Allah meliputi langit dan bumi.</span> <span class="GramE">Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar<span style="font-style: normal;">”.</span></span></i><o:p></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Verdana;"><span style=""><span style="font-family:verdana;font-size:85%;"> </span></span><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">2. Membaca surat Al-Ikhlas, surat Al-falaq, dan surat An-naas pada setiap selesai shalat lima waktu, dan membaca ketiga surat tersebut sebanyak tiga kali pada pagi hari sesudah shalat shubuh, dan menjelang malam sesudah shalat maghrib, sesuai dengan hadits riwayat Abu Dawud, At-Tirmidzi dan An-Nasa’i.<o:p></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Verdana;"><span style=""><span style="font-family:verdana;font-size:85%;"> </span></span><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">3. Membaca dua ayat terakhir dari </span></span><st1:city><st1:place><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Verdana;"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">surat</span></span></st1:place></st1:city><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Verdana;"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;"> Al-Baqoroh yaitu ayat 285 - 286 diawal malam, sebagaimana sabda Rasulullah </span></span><span class="GramE"><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "AGA Arabesque";"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">r</span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Verdana;"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;"> :</span></span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Verdana;"><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;"><i><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Verdana;">“Barangsiapa membaca dua ayat terakhir dari <span class="GramE">surat</span> Al-Baqoroh pada malam hari, maka cukuplah baginya”.</span></i><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Verdana;"><o:p></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Verdana;"><span style=""><span style="font-family:verdana;font-size:85%;"> </span></span><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">4. Membaca</span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: right; line-height: 150%;" align="right"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;"><b><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;">Ãó</span></b><b><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"> </span></b><b><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;">ÚõæúÐõ</span></b><b><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"> </span></b><b><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;">ÈößóáöãóÇ</span></b><b><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"> </span></b><b><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;">Êö</span></b><b><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"> </span></b><b><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;">Çááåö</span></b><b><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"> </span></b><b><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;">ÇáÊøóÇ</span></b><b><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"> </span></b><b><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;">ãøóÇ</span></b><b><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"> </span></b><b><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;">Êö</span></b><b><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"> </span></b><b><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;">ãöäú</span></b><b><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"> </span></b><b><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;">ÔóÑøö</span></b><b><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"> </span></b><b><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;">ãóÇ</span></b><b><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"> </span></b><b><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;">ÎóáóÞó</span></b><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;"><o:p></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Verdana;"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">Hendaklah dibaca pada malam hari dan siang hari ketika berada di suatu tempat, ketika masuk ke dalam suatu bangunan, ketika berada di tengah </span></span><st1:city><st1:place><span class="GramE"><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Verdana;"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">padang</span></span></span></st1:place></st1:city><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Verdana;"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;"> pasir, di udara atau di laut. Sabda Rasulullah </span></span><span class="GramE"><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "AGA Arabesque";"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">r</span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Verdana;"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;"> :</span></span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Verdana;"><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: right; line-height: 150%;" align="right"><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">: </span></span><span class="GramE"><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">ãóäú</span></span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;"> </span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">äóÒóáó</span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"> </span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">ãóäúÒö</span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;"> </span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">áÇð</span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;"> </span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">ÝóÞóÇáó</span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;"> </span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;"><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: right; line-height: 150%;" align="right"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;"><b><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;">Ãó</span></b><b><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"> </span></b><b><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;">ÚõæúÐõ</span></b><b><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"> </span></b><b><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;">ÈößóáöãóÇ</span></b><b><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"> </span></b><b><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;">Êö</span></b><b><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"> </span></b><b><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;">Çááåö</span></b><b><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"> </span></b><b><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;">ÇáÊøóÇ</span></b><b><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"> </span></b><b><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;">ãøóÇ</span></b><b><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"> </span></b><b><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;">Êö</span></b><b><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"> </span></b><b><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;">ãöäú</span></b><b><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"> </span></b><b><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;">ÔóÑøö</span></b><b><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"> </span></b><b><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;">ãóÇ</span></b><b><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"> </span></b><b><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;">ÎóáóÞó</span></b><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Verdana;"><o:p></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Verdana;"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">“<i>Barangsiapa singgah di suatu tempat dan dia mengucapkan</i> kalimat diatas yang <span class="GramE">artinya :</span> (<i>Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari kejahatan makhluk ciptaan-Nya), maka tidak ada sesuatupun yang membahayakannya sampai ia pergi dari tempat itu</i>”. (<b>HR Muslim</b>).<o:p></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Verdana;"><span style=""><span style="font-family:verdana;font-size:85%;"> </span></span><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">5. Membaca do’a di bawah ini masing-masing tiga kali pada pagi hari dan menjelang malam <o:p></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: right; line-height: 150%;" align="right"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;"><b><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"><span style=""> </span><span style=""> </span></span></b><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;"><span style=""> </span></span><span class="GramE"><b><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;">öÈÓúãö</span></b></span><b><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"> </span></b><b><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;">Çááåö</span></b><b><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"> </span></b><b><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;">ÇóáóøóÐöíú</span></b><b><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"> </span></b><b><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;">áÇó</span></b><b><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"> </span></b><b><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;">íóÖõÑõ</span></b><b><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"> </span></b><b><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;">ãóÚó</span></b><b><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"> </span></b><b><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;">ÇÓãöåö</span></b><b><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"> </span></b><b><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;">ÔíúÆñ</span></b><b><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"> </span></b><b><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;">Ýöì</span></b><b><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"> </span></b><b><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;">ÇáÃóÑÖö</span></b><b><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"> </span></b><b><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;">æóáÇó</span></b><b><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"> </span></b><b><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;">Ýöì</span></b><b><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"> </span></b><b><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;">ÇáÓøóãóÂÁö</span></b><b><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"> </span></b><b><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;">æó</span></b><b><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"> </span></b><b><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;">åõæó</span></b><b><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"> </span></b><b><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;">ÇáÓøóãöíÚõ</span></b><b><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"> </span></b><b><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;">ÇáúÚóáöíúãõ</span></b><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;"> <o:p></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;"><i><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Verdana;">Dengan Nama Allah, yang bersama namaNya, tidak ada sesuatupun yang membahayakan, baik di bumi maupun di langit dan Dia Maha Mendengar dan Maha Mengetahui</span></i><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Verdana;">. (<b>HR. Abu Daud dan At-Tirmidzi</b>).<o:p></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Verdana;"><span style=""><span style="font-family:verdana;font-size:85%;"> </span></span><span class="GramE"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">Bacaan dzikir dan ta’awwudz ini merupakan sebab-sebab yang besar untuk memperoleh keselamatan dan untuk menjauhkan diri dari kejahatan sihir dan kejahatan lainnya.</span></span><span style="font-family:verdana;font-size:85%;"> Yaitu bagi mereka yang selalu mengamalkannya secara benar disertai keyakinan yang penuh kepada Allah, bertumpu dan pasrah kepada-Nya dengan lapang dada dan hati yang khusyu’ <o:p></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Verdana;"><span style=""><span style="font-family:verdana;font-size:85%;"> </span></span><span class="GramE"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">Bacaan-bacaan seperti ini juga merupakan senjata ampuh untuk menghilangkan sihir yang sedang menimpa seseorang, dibaca dengan hati yang khusyu’, tunduk dan merendahkan diri, seraya memohon kepada Allah agar dihilangkan bahaya dan malapetaka yang sedang dihadapi.</span></span><span style="font-family:verdana;font-size:85%;"> <o:p></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Verdana;"><span style=""><span style="font-family:verdana;font-size:85%;"> </span></span><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">Berikut ini do’a-do’a berdasarkan riwayat yang shohih dari Rasulullah </span></span><span class="GramE"><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "AGA Arabesque";"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">r</span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Verdana;"><span style=""><span style="font-family:verdana;font-size:85%;"> </span></span><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">untuk</span></span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Verdana;"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;"> menyembuhkan penyakit yang disebabkan oleh sihir dan lain sebagainya adalah :<o:p></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Verdana;"><span style=""><span style="font-family:verdana;font-size:85%;"> </span></span><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">1. Rasulullah </span></span><span class="GramE"><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "AGA Arabesque";"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">r</span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Verdana;"><span style=""><span style="font-family:verdana;font-size:85%;"> </span></span><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">meruqyah</span></span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Verdana;"> <span style="font-family:verdana;font-size:85%;">(mengobati dengan membaca ayat-ayat Al-Qur’an atau do’a-do’a syar’i) sahabat-sahabatnya dengan bacaan :</span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;"> <o:p></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;"><span style=""><span style="font-family:verdana;font-size:85%;"> </span></span><span style=""><span style="font-family:verdana;font-size:85%;"> </span></span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">Çóááøåõãøó</span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;"> </span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">ÑóÈøó</span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"> </span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">ÇáäøóÇ</span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;"> </span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">Óö</span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;"> </span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">Ãó</span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;"> </span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">ÐúåöÈö</span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;"> </span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">ÇáúÈóÃúÓó</span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"> </span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">æÇÔúÝö</span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;"> </span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">ÃóäúÊó</span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"> </span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">ÇáÔøóÇ</span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;"> </span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">Ýöì</span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;"> </span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">áÇó</span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;"> </span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">ÔöÝóÂÁó</span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;"> </span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">ÅáÇøó</span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"> </span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">ÔöÝóÂÄõ</span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;"> </span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">ßó</span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;"> </span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">ÔöÝóÂÁð</span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;"> </span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">áÇøó</span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"> </span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">íõÛóÇ</span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;"> </span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">ÏöÑõÓóÞóãóÇ</span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;"><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;"><i><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Verdana;">“Ya Allah, Tuhan segenap manusia..! Hilangkanlah sakit dan sembuhkanlah, Engkau Maha Penyembuh, tidak ada penyembuhan melainkan penyembuhan dari-Mu, penyembuhan yang tidak meninggalkan penyakit”</span></i><span class="GramE"><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Verdana;">.(</span></span><b><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Verdana;">HR. Muslim</span></b><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Verdana;">).<o:p></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Verdana;"><span style=""><span style="font-family:verdana;font-size:85%;"> </span></span><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">2. Do’a yang dibaca Jibril ‘Alaihi Sallam, ketika me-ruqyah Rasulullah </span></span><span class="GramE"><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "AGA Arabesque";"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">r</span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Verdana;"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;"> .</span></span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Verdana;"><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: right; line-height: 150%;" align="right"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;"><b><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"><span style=""> </span></span></b><b><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;">ÈöÓãö</span></b><b><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"> </span></b><b><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;">Çááåö</span></b><b><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"> </span></b><b><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;">ÃóÑú</span></b><b><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"> </span></b><b><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;">Þöíßó</span></b><b><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"> </span></b><b><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;">ãöäú</span></b><b><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"> </span></b><b><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;">ßõáøö</span></b><b><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"> </span></b><b><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;">ÔóíÆ</span></b><b><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"> </span></b><b><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;">íõÄúÐöíúßó</span></b><b><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"> </span></b><b><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;">æó</span></b><b><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"> </span></b><b><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;">ãöäú</span></b><b><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"> </span></b><b><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;">ÔóÑóøö</span></b><b><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"> </span></b><b><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;">ßõáøö</span></b><b><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"> </span></b><b><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;">äóÝúÓö</span></b><b><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"> </span></b><b><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;">Ãóæú</span></b><b><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"> </span></b><b><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;">Úóíúäö</span></b><b><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"> </span></b><b><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;">ÍóÇ</span></b><b><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"> </span></b><b><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;">ÓöÏò¡Çááåõ</span></b><b><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"> </span></b><b><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;">íóÔúÝöíúßó</span></b><b><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"> </span></b><b><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;">ÈöÓãö</span></b><b><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"> </span></b><b><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;">Çááåö</span></b><b><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"> </span></b><b><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;">ÃóÑúÞöíúßó</span></b><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;"><o:p></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;"><i><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Verdana;">Dengan Nama Allah, Aku meruqyahmu dari segala yang meyakitkanmu, dan dari kejahatan setiap diri atau dari pandangan mata yang penuh kedengkian, semoga Allah menyembuhkanmu, dengan Nama Allah aku Meruqyahmu”. </span></i><span class="GramE"><b><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Verdana;">Bacaan ini hendaknya diulang tiga kali.</span></b></span><b><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Verdana;"><o:p></o:p></span></b></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Verdana;"><o:p><span style="font-family:verdana;font-size:85%;"> </span></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Verdana;"><span style=""><span style="font-family:verdana;font-size:85%;"> </span></span><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">3. Pengobatan sihir <span class="GramE">cara</span> lainnya, terutama bagi laki-laki yang tidak dapat berjima’ (hubungan seks) dengan istrinya karena terkena sihir. Dengan cara mengambil tujuh lembar daun bidara yang masih hijau, ditumbuk atau digerus dengan batu atau alat tumbuk lainnya, sesudah itu dimasukkan ke dalam bejana secukupnya untuk mandi; bacakan ayat Kursi pada bejana tersebut; bacakan pula <b>surat Al-Kafirun</b>, <b>Al-Ikhlas, Al-Falaq, An-Naas</b>, dan ayat-ayat sihir dalam <b>surat Al-A’raf ayat 117-119, surat Yunus ayat 79-82</b> dan <b>surat Thaha ayat 65-69.</b><o:p></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Verdana;"><span style=""><span style="font-family:verdana;font-size:85%;"> </span></span><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">4. Cara pengobatan yang paling bermanfaat adalah berupaya mengerahkan tenaga dan daya untuk mengetahui di mana tempat buhul sihir itu disimpan, di atas gunung atau di tempat manapun ia berada, dan bila sudah diketahui tempatnya, diambil dan dimusnahkan sehingga lenyaplah sihir tersebut. <o:p></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Verdana;"><span style=""><span style="font-family:verdana;font-size:85%;"> </span></span><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">Inilah beberapa penjelasan tentang perkara-perkara yang dapat menjaga diri dari sihir dan <span class="GramE">usaha<span style=""> </span>atau</span> cara penyembuhannya. <span class="GramE">Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan.</span><o:p></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Verdana;"><span style=""><span style="font-family:verdana;font-size:85%;"> </span></span><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">Adapun pengobatan dengan cara-cara yang dilakukan tukang-tukang sihir, yaitu dengan mendekatkan diri kepada <span class="GramE">jin</span> disertai dengan penyembelihan hewan, atau cara-cara mendekatkan diri lainnya, semua ini tidak dibenarkan karena termasuk perbuatan syirik paling besar yang wajib dihindari.<o:p></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Verdana;"><span style=""><span style="font-family:verdana;font-size:85%;"> </span></span><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">Demikian pula pengobatan dengan <span class="GramE">cara</span> bertanya kepada dukun, ‘arraf (tukang ramal) dan menggunakan petunjuk sesuai dengan apa yang mereka katakan. Semua ini tidak dibenarkan di dalam islam, Karena dukun-dukun tersebut tidak beriman kepada <span class="GramE">Allah(</span>walaupun mereka mengaku diri beriman);mereka adalah pendusta dan pembohong yang mengaku mengetahui hal-hal ghaib, dan kemudian menipu manusia.<o:p></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Verdana;"><span style=""><span style="font-family:verdana;font-size:85%;"> </span></span><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">Rasulullah </span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "AGA Arabesque";"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">r </span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Verdana;"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">telah memperingatkan orang-orang <span class="GramE">yang<span style=""> </span>mendatangi</span> dukun atau tukang ramal, menanyakan dan membenarkan apa yang mereka katakan. Dengan sabda-Nya:<i><o:p></o:p></i></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: right; line-height: 150%;" align="right"><span class="GramE"><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">ãóäú</span></span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;"> </span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">ÃóÊóì</span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"> </span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">ÚóÑóÇÝðÇ</span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;"> </span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">Ãóæú</span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"> </span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">ßóÇåöäðÇ</span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;"> </span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">ÝóÕóÏøóÞóåõ</span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"> </span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">ÈöãóÇ</span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;"> </span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">íóÞõæú</span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"> </span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">áõ</span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;"> </span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">ÝóÞóÏú</span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"> </span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">ßóÝóÑó</span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;"> </span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">ÈöãóÇ</span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"> </span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">ÃõäúÒöáó</span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;"> </span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">Úóáóì</span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "Arabic Transparent";"> </span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">ãõÍóãøóÏò</span></span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%;"><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;"><i><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Verdana;">Artinya:”Barangsiapa yang mendatangi tukang ramal atau Dukun dan membenarkan <span class="GramE">apa</span> yang ia katakan, sungguh ia telah kafir terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad </span></i><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: "AGA Arabesque";">r</span><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Verdana;">. (<b>Dikeluarkan oleh empat Ahlus Sunan dan dishahihkan oleh Al-Hakim</b>)<o:p></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Verdana;"><span style=""><span style="font-family:verdana;font-size:85%;"> </span></span><span style="font-family:verdana;font-size:85%;">Kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala kita memohon, agar seluruh kaum muslimin dilimpahkan kesejahteraan dan keselamatan dari segala kejahatan, Semoga Allah melindungi mereka, agama mereka, dan menganugerahkan kepada mereka pemahaman<span style=""> </span>agama-Nya, serta memelihara mereka dari segala sesuatu yang menyalahi syari’at-Nya.<o:p></o:p></span></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Verdana;"><o:p><span style="font-family:verdana;font-size:85%;"> </span></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;"><b><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Verdana;">Maraji’’: Hukum Sihir Dan Perdukunan, Syaikh Abdul Aziz bin Abdul Aziz bin Baaz, Ditjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Depag RI<o:p></o:p></span></b></span></p> <span class="GramE"><span style="font-family:verdana;font-size:85%;"><b><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Verdana;">bekerjasama</span></b></span></span><span style="font-family:verdana;font-size:85%;"><b><span style="font-size: 11pt; line-height: 150%; font-family: Verdana;"> dengan Al-Haramain Islamic Foundation</span></b></span>MUSLIM KAFFAHhttp://www.blogger.com/profile/12527866730164618004noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6900756058190518083.post-38224644627727009892009-08-29T12:32:00.000-07:002009-08-29T12:33:25.785-07:00KESEPAKATAN ANTARA PENYIHIR DAN SYAITHAN<span><span style="font-family:verdana;">Oleh<br />Wahid bin Abdissalam Baali<br /><br /><br /><br /><br /><br /><br />Seringkali terjadi kesepakatan antara tukang sihir dengan syaitan, bahwa pihak pertama, yaitu tukang sihir, akan mengerjakan beberapa kesyirikan, atau kekufuran yang nyata –baik secara terselubung maupun terang-terangan sedangkan pihak syaitan akan melayani tukang sihir atau menundukkan orang yang akan melayani si tukang sihir.<br /><br />Karena kesepakatan itu seringkali terjadi antara tukang sihir dan syaitan dari para pemuka kabilah jin dan syaitan, sehingga sang pemuka ini akan mengeluarkan perintah kepada anggota kabilah yang paling bodoh untuk melayani si tukang sihir ini serta mentaatinya dalam menjalankan semua perintahnya, yaitu memberitahukan berbagai hal yang telah terjadi atau melakukan upaya memisahkan dua belah pihak atau menyatukan cinta dua orang, atau menghalangi seorang suami agar tidak dapat mencampuri istrinya dan sebagainya. Perkara-perkara ini akan kita bahas dengan rinci, (pada pembahasan berikutnya), insya Allah Ta’ala.<br /><br />Selanjutnya si tukang sihir mengerahkan jin ini untuk mengerjakan perbuatan jahat yang dia inginkan. Jika si jin tidak mentaatinya, maka dia akan mendekati pemuka kabilah jin itu dengan menggunakan berbagai macam jimat yang isinya berupa pengagungan pemuka kabilah ini seraya meminta pertolongan kepadanya dengan menyisihkan Allah Ta’ala. Maka, si pemuka jin inipun segera memberikan hukuman kepada jin tersebut dan menyuruhnya agar mentaati si tukang sihir atau dia akan menggantikan dengan jin yang lain untuk melayani tukang sihir yang musyrik itu.<br /><br />Oleh karena itu kita bisa mendapatkan hubungan antara tukang sihir dengan jin yang ditugaskan untuk melayaninya sebagai hubungan kebencian dan permusuhan. Dan dari sini kita akan dapatkan bahwa jin tersebut seringkali menyakiti istri dan anak-anak tukang sihir itu atau mengganggu harta bendanya atau yang lainnya. Bahkan, terkadang jin itu menyakiti tukang sihir itu sendiri tanpa disadarinya, misalnya pusing yang terus-menerus, gangguan yang sering muncul pada saat tidur, atau kecemasan pada malam hari dan lain sebagainya. Bahkan seringkali tukang sihir yang hina tersebut tidak punya anak, karena jin yang melayaninya telah membunuh janin yang masih ada di dalam rahim sebelum penciptaannya sempurna. Yang demikian itu sudah sangat populer di kalangan para tukang sihir, bahkan sebagian mereka ada yang meninggalkan profesi tukang sihir ini agar mereka bisa mendapatkan keturunan.<br /><br />Perlu saya ceritakan, saya pernah mengobati seorang wanita yang sedang sakit karena tersihir. Pada saat saya bacakan al-Qur’an di dekatnya, maka jin yang di tugaskan tukang sihir itu berbicara melalui lidah wanita tersebut., “Aku tidak bisa keluar dari tubuh wanita ini.” “Mengapa?” tanyaku. Dia pun menjawab, “Karena aku takut akan dibunuh oleh si tukang sihir.” Selanjutnya, aku tanyakan, “Pergilah dari tempat ini ke tempat lain yang tidak diketahui oleh si tukang sihir yang menyuruhmu.” “Dia pasti akan mengirim jin lain untuk mencariku,” sahut jin tersebut.<br /><br />Kemudian kukatakan kepadanya, “Jika kamu mau masuk Islam dan mengumumkan taubatmu dengan penuh kejujuran dan tulus ikhlas, maka kami dengan pertolongan Allah akan mengajarimu beberapa ayat al-Qur’an yang dapat menjaga dan melindungimu dari kejahatan jin-jin kafir. Maka dia pun menjawab, “Tidak, aku tidak akan pernah masuk Islam, dan aku akan tetap menjadi pemeluk Nasrani” “Tidak ada paksaan dalam memeluk agama, tetapi yang paling penting kamu harus keluar dari tubuh wanita ini,” pintaku kepadanya. “Aku tidak akan keluar dari tubuhnya” jawabnya pasti. Kemudian aku katakan, “Kalau begitu, dengan pertolongan Allah, sekarang kami bisa membacakan al-Qur’an kepadamu sehingga kamu akan terbakar.” Lalu aku memukulnya dengan keras sehingga jin itu menangis. Maka jin itu berkata, “Aku akan keluar, aku akan keluar.” Selanjutnya, segala puji bagi Allah, Rabb seru sekalian alam, dan segala karunia itu hanya milik-Nya semata, jin itu pun keluar dari tubuhnya.<br /><br />Sebagaimana diketahui bersama, jika tukang sihir itu semakin kufur dan bertambah jahat, maka jin akan lebih mentaatinya dan akan segera malaksanakan tugas yang diperintahkan kepadanya. Begitu juga sebaliknya.<br /><br /><br />[Disalin dari kitab Ash-Shaarimul Battaar Fit Tashaddi Lis Saharatil Asyraar edisi Indonesia Sihir & Guna-Guna Serta Tata Cara Mengobatinya Menurut Al-Qur'an Dan Sunnah, Penulis Wahid bin Abdissalam Baali, Terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi'i]</span></span>MUSLIM KAFFAHhttp://www.blogger.com/profile/12527866730164618004noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6900756058190518083.post-7742472333064920502009-08-29T12:31:00.000-07:002009-08-29T12:32:29.387-07:00Hukum Pergi Kepada Dukun dan Sejenisnya Untuk Memperoleh Kesembuhan dan Mempercayai Mereka<p align="justify">Pembaca berinisial F.A.A. dari Riyadh mengirimkan surat kepada kami. Dalam surat itu dia mengatakan, "Ayahku sakit jiwa dan penyakit tersebut sudah berlangsung lama. Selama itu pula berkali-kali datang ke rumah sakit. Tetapi sebagian kerabat meng-isyaratkan kepada kami agar pergi kepada seorang wanita. Kata mereka, wanita ini mengetahui penyembuhan untuk penyakit-penyakit demikian. Kata mereka, "Berikan nama saja kepadanya, dan ia akan memberitahukan kepada kalian tentang apa yang dideritanya dan memberikan obat untuknya." Apakah kami boleh pergi kepada wanita ini? Berilah fatwa kepada kami, terima kasih.<br /><br /><b>Jawaban:</b><br /><br />Tidak boleh bertanya kepada wanita ini dan sejenisnya, karena ia termasuk golongan peramal dan dukun yang meng-klaim mengetahui perkara ghaib serta meminta bantuan kepada jin dalam pengobatan mereka dan berita-berita yang mereka sampaikan.<br /><br />Telah shahih dari Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam bahwa beliau bersabda,<br />"Barangsiapa mendatangi peramal lalu bertanya kepadanya tentang sesuatu, maka tidak diterima shalatnya selama 40 hari." (HR. Muslim dalam Shahihnya).<br /><br />Dan telah shahih dari beliau Shalallaahu alaihi wasalam,<br />"Barangsiapa mendatangi peramal atau dukun lalu mempercayai apa yang dikatakannya, maka ia telah kafir kepada apa yang diturunkan kepada Muhammad."<br />Hadits-hadits yang semakna dengan ini cukup banyak.<br /><br />Kewajiban kita ialah mencegah mereka dan siapa yang datang kepada mereka, tidak bertanya kepada mereka dan mempercayai mereka, serta melaporkan mereka kepada pejabat yang berwenang sehingga mereka dihukum dengan hukuman yang setimpal. Karena membiarkan mereka dan tidak melaporkan mereka akan membahayakan semua orang, serta membantu keterpedayaan orang-orang bodoh kepada mereka, bertanya kepada mereka, dan mempercayai mereka.<br /><br />Nabi Shalallaahu alaihi wasalam bersabda, </p> <p dir="rtl" align="justify"><span style="font-size:130%;">مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَراً فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذلِكَ أَضْعَفُ اْلإِيْمَانِ<br /> </span></p> <p align="justify">"Barangsiapa di antara kalian yang melihat kemungkaran, maka rubahlah ia dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka dengan lisannya. Dan jika tidak mampu, maka dengan hatinya, dan itu adalah selemah-lemah iman." (HR. Muslim, dalam Shahihnya).<br /><br />Tidak diragukan lagi bahwa melaporkan mereka kepada penguasa, seperti Amir Negeri, Lembaga Amar Ma'ruf Nahi Mungkar dan Pengadilan, termasuk dalam kategori mengingkari mereka dengan lisan dan termasuk tolong menolong atas dasar kebajikan dan takwa. Semoga Allah menunjukkan umat muslim pada kemaslahatan mereka dan mereka selamat dari segala ke-burukan.<br /><br /><i>Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Fatawa al-`Ilaj bi al-Qur'an wa as-Sunnah - ar-Ruqa wama yata`allaqu biha, hal. 36-37.</i> </p>MUSLIM KAFFAHhttp://www.blogger.com/profile/12527866730164618004noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6900756058190518083.post-41360069279180080132009-08-29T12:30:00.000-07:002009-08-29T12:31:09.340-07:00Hukum Perdukunan dan Mendatangi Dukun<p align="justify">Tentang perdukunan dan hukum mendatangi dukun?<br /><br /><b>Jawaban:</b><br /><br />Kahanah (perdukunan) wazan fa'alah diambil dari kata takahhun, yaitu menerka-nerka dan mencari hakikat dengan perkara-perkara yang tidak ada dasarnya. Perdukunan di masa jahiliyah dinisbatkan kepada suatu kaum yang dihubungi oleh para setan yang mencuri pembicaraan dari langit dan menceritakan apa yang didengarnya kepada mereka. Kemudian mereka mengambil ucapan yang disampaikan kepada mereka dari langit lewat perantaraan para setan dan menambahkan pernyataan di dalamnya. Kemudian mereka menceritakan hal itu kepada manusia. Jika sesuatu terjadi yang sesuai dengan apa yang mereka katakan, maka orang-orang tertipu dengan mereka dan menja-dikan mereka sebagai rujukan dalam memutuskan perkara di antara mereka serta menyimpulkan apa yang akan terjadi di masa depan. Kerena itu, kita katakan, "Dukun adalah orang yang menceritakan tentang perkara-perkara ghaib di masa yang akan datang." Sedangkan orang yang mendatangi dukun itu terbagi menjadi tiga macam:<br /><br />Pertama, orang yang datang kepada dukun lalu bertanya kepadanya dengan tanpa mempercayainya. Ini diharamkan. Hukuman bagi pelakunya ialah tidak diterima shalatnya selama 40 malam, sebagaimana termaktub dalam Shahih Muslim bahwa Nabi Shalallaahu alaihi wasalam bersabda,<br />"Barangsiapa yang datang kepada peramal lalu bertanya kepada-nya tentang suatu perkara, maka tidak diterima shalatnya selama 40 hari atau 40 malam."<br /><br />Kedua, orang yang datang kepada dukun lalu bertanya kepadanya dan mempercayai apa yang diberitakannya, maka ini merupakan kekafiran kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala . Karena ia mempercayainya tentang pengakuannya mengetahui perkara ghaib, sedangkan mempercayai seseorang tentang pengakuannya mengetahui per-kara ghaib adalah mendustakan firman Allah Subhannahu wa Ta'ala ,<br />"Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah." (An-Naml: 65).<br />Karenanya, disinyalir dalam hadits shahih,<br />"Barangsiapa mendatangi dukun lalu mempercayai apa yang diucapkannya, maka ia telah kafir kepada apa yang diturunkan kepada Muhammad."<br /><br />Ketiga, orang yang datang kepada dukun lalu bertanya kepadanya untuk menjelaskan ihwalnya kepada manusia, dan bahwasanya itu adalah perdukunan, pengelabuan dan penyesatan. Ini tidak mengapa. Dalil mengenai hal itu, bahwa Nabi Shalallaahu alaihi wasalam kedatangan Ibnu Shayyad, lalu Nabi Shalallaahu alaihi wasalam menyembunyikan sesuatu untuknya dalam dirinya, lalu beliau bertanya kepadanya, apakah yang beliau sembunyikan untuknya? Ia menjawab, "Asap." Nabi Shalallaahu alaihi wasalam bersabda, </p> <p dir="rtl" align="justify"><span style="font-size:130%;">اِخْسَأْ فَلَنْ تَعْدُوَ قَدْرَكَ<br /> </span></p> <p align="justify">"Pergilah dengan hina, kamu tidak akan melampui kemampuanmu."<br />Inilah keadaan orang yang datang kepada dukun,<br /><br />Pertama, ia datang kepada dukun lalu bertanya kepadanya dengan tanpa mempercayainya dan tanpa tujuan menjelaskan ke-adaannya (kepada manusia). Ini diharamkan, dan hukuman bagi pelakunya ialah tidak diterima shalatnya selama 40 malam.<br /><br />Kedua, ia bertanya kepadanya dan mempercayainya. Ini kekafiran kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala, yang wajib atas manusia bertaubat darinya dan kembali kepada Allah. Jika tidak bertaubat, maka ia mati di atas kekafiran.<br /><br />Ketiga, ia datang kepada dukun dan bertanya kepadanya untuk mengujinya dan menjelaskan keadaannya kepada manusia. Ini tidak mengapa.<br /><br /><i>Al-Majmu' ats-Tsamin min Fatawa asy-Syaikh Ibn Utsaimin, jilid 2, hal. 136-137</i> </p>MUSLIM KAFFAHhttp://www.blogger.com/profile/12527866730164618004noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6900756058190518083.post-46723715893569146482009-08-29T12:29:00.000-07:002009-08-29T12:30:29.425-07:00Hukum Meminta Bantuan Kepada Jin Untuk Mengetahui Perkara-perkara Ghaib<p align="justify">Apa hukum Islam mengenai orang yang meminta bantuan kepada jin untuk mengetahui perkara-perkara ghaib? Apa hukum Islam tentang menghipnotis, yang dengannya kekuasaan peng-hipnotis untuk mempengaruhi orang yang dihipnotis menjadi kuat. Selanjutnya dia menguasainya dan membuatnya meninggalkan yang haram, menyembuhkan dari penyakit kejiwaan, atau melakukan pekerjaan yang diminta oleh penghipnotis? Apa pula hukum Islam tentang ucapan si polan: Bihaqqi fulan (dengan hak si fulan); apakah ini sumpah atau tidak? Berilah penjelasan kepada kami.<br /><br /><b>Jawaban:</b><br /><br />Pertama, ilmu tentang perkara-perkara ghaib hanya dimiliki oleh Allah secara khusus. Tidak ada seorang pun dari makhluknya yang mengetahuinya, baik jin maupun selainnya, kecuali apa yang Allah wahyukan kepada siapa yang dikehendakiNya dari para malaikat atau rasul-rasulNya. Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman,<br /><br />"Katakanlah, 'Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah', dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan." (An-Naml: 65).<br /><br />Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman mengenai NabiNya, Sulaiman Alaihissalam, dan jin yang ditundukkanNya untuknya,<br /><br />"Maka tatkala Kami telah menetapkan kematian Sulaiman, tidak ada yang menunjukkan kepada mereka kematiannya itu kecuali rayap yang memakan tongkatnya. Maka tatkala ia telah tersung-kur, tahulah jin itu bahwa kalau sekiranya mereka mengetahui yang ghaib tentulah mereka tidak tetap dalam siksa yang meng-hinakan." (Saba': 14).<br /><br />Dia berfirman,<br /><br />"(Dia adalah Rabb) Yang Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu. Kecuali kepada rasul yang diridhaiNya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya." (Al-Jin: 26-27).<br /><br />Diriwayatkan secara sah dari an-Nawwas bin Sam`an Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam bersabda,<br />"Jika Allah hendak mewahyukan suatu perkara Dia berfirman dengan wahyu, maka langit menjadi takut atau sangat gemetar karena takut kepada Allah r. Jika ahli langit mendengar hal itu, maka jatuh dan bersungkur dalam keadaan bersujud kepada Allah. Mula-mula yang mengangkat kepalanya adalah Jibril, lalu Allah berbicara kepadanya dari wahyuNya tentang apa yang dikehen-dakiNya. Kemudian Jibril melintasi para malaikat. Setiap kali melewati suatu langit, maka para malaikat langit tersebut ber-tanya, 'Apa yang difirmankan oleh Tuhan kami, wahai Jibril?' Jibril menjawab, 'Dia berfirman tentang kebenaran, dan Dia Mahatinggi lagi Mahabesar.' Lalu mereka semua mengucapkan seperti yang dikatakan Jibril. Lalu Jibril menyampaikan wahyu ke tempat yang diperintahkan Allah kepadanya.'"<br /><br />Dalam ash-Shahih dari Abu Hurairah Radhiallaahu anhu dari Nabi Shalallaahu alaihi wasalam, beliau bersabda,<br />"Jika Allah memutuskan suatu perkara di langit, maka para malaikat meletakkan sayap-sayapnya karena tunduk kepada firmanNya, seolah-olah rantai di atas batu besar. Ketika telah dihilangkan ketakutan dari hati mereka, maka mereka bertanya, 'Apakah yang difirman oleh Tuhan kalian.' Mereka menjawab kepada yang bertanya, 'Dia berfirman tentang kebenaran dan Dia Mahatinggi lagi Mahabesar.' Lalu pencuri pembicaraan (setan) mendengarkannya. Pencuri pembicaraan demikian, sebagian di atas sebagian yang lain -Sufyan menyifatinya dengan telapak tangannya lalu membalikkannya dan memisahkan di antara jari-jarinya-. Ia mendengar pembicaraan lalu menyampaikannya kepada siapa yang di bawahnya, kemudian yang lainnya menyampai-kannya kepada siapa yang di bawahnya, hingga ia menyampaikannya pada lisan tukang sihir atau dukun. Kadangkala ia mendapat lemparan bola api sebelum menyampaikannya. Kadangkala ia menyampaikannya sebelum mengetahuinya, lalu ia berdusta bersamanya dengan seratus kedustaan. Lalu dikatakan, 'Bukankah ia telah berkata kepada kami demikian dan demimkian, demikian dan demikian.' Lalu ia mempercayai kata-kata yang didengarnya dari langit."<br /><br />Atas dasar ini maka tidak boleh meminta bantuan kepada jin dan makhluk-makhluk selainnya untuk mengetahui perkara-perkara ghaib, baik berdoa kepada mereka, mendekatkan diri kepada mereka, membuat kemenyan, maupun selainnya. Bahkan, itu adalah kesyirikan, karena ini sejenis ibadah. Padahal Allah telah memberi tahu kepada para hambaNya agar mengkhususkan peribadatan kepadaNya seraya mengikrarkan,<br /><br />"Hanya kepadaMu kami menyembah dan hanya kepadaMu kami memohon pertolongan." (Al-Fatihah: 5).<br /><br />Telah sah dari Nabi Shalallaahu alaihi wasalam bahwa beliau bersabda kepada Ibnu Abbas, </p> <p dir="rtl" align="justify"><span style="font-size:130%;">إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلِ اللهَ وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللهِ<br /> </span></p> <p align="justify">"Jika kamu meminta, maka memintalah kepada Allah dan jika kamu meminta pertolongan, maka memintalah pertolongan kepada Allah."<br /><br />Kedua, hipnotis adalah salah satu jenis perdukunan dengan mempergunakan jin sehingga penghipnotis memberi kuasa kepa-danya atas orang yang dihipnotisnya. Ia berbicara lewat lisannya dan mendapatkan kekuatan darinya untuk melakukan suatu pekerjaan lewat penguasaan terhadapnya, jika jin tersebut jujur bersama penghipnotis itu. Ia mentaatinya sebagai imbalan "pengabdian" penghipnotis kepadanya. Lalu jin itu menjadikan orang yang dihipnotis tersebut mentaati kemauan penghipnotis terhadap segala yang diperintahkannya berupa pekerjaan-pekerjaan atau informasi-informasi lewat bantuan jinnya, jika jin itu jujur ber-sama si penghipnotis. Atas dasar itu maka menggunakan hipnotis sebagai sarana untuk menunjukkan tempat pencuri, barang yang hilang, menyembuhkan penyakit, atau melakukan aktifitas lainnya lewat jalan penghipnotis adalah tidak boleh bahkan kesyirikan, berdasarkan alasan yang telah disebutkan. Dan, karena itu berarti kembali kepada selain Allah, dalam perkara yang diluar sebab-sebab biasa yang disediakan Allah Subhannahu wa Ta'ala untuk para makhluk dan diperbolehkan untuk mereka.<br /><br />Ketiga, ucapan seseorang: Bihaqqi fulan (demi/ dengan hak polan), mengandung makna sumpah. Maksudnya, aku bersum-pah kepadamu demi polan. Ba' di sini adalah Ba' al-Qasam (kata yang mengandung arti sumpah). Bisa juga mengandung makna tawassul dan meminta bantuan kepada diri fulan atau kedu-dukannya. Jadi, Ba' ini untuk Isti`anah (meminta bantuan). Pada kedua hal ini, ucapan ini tidak boleh.<br /><br />Adapun yang pertama, bersumpah kepada makhluk oleh makhluk adalah tidak boleh. Bersumpah kepada makhluk sangat dilarang oleh Allah, bahkan Nabi Shalallaahu alaihi wasalam menetapkan bahwa bersumpah kepada selain Allah adalah syirik. Beliau bersabda, </p> <p dir="rtl" align="justify"><span style="font-size:130%;">مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللهِ فَقَدْ أَشْرَكَ<br /> </span></p> "Barangsiapa bersumpah kepada selain Allah, maka ia telah syirik." (HR. Ahmad, Abu Daud, at-Tirmidzi, dan al-Hakim; ia menilainya sebagai hadits shahih).<br /><br />Adapun yang kedua, karena para sahabat tidak ber-tawassul kepada diri Nabi a dan tidak pula kepada kedu-dukannya semasa hidupnya dan sesudah kematiannya. Padahal mereka itu manusia yang paling tahu tentang maqam dan kedudukan beliau di sisi Allah serta lebih tahu tentang syariat. Berbagai penderitaan telah mereka alami semasa hidup Nabi Shalallaahu alaihi wasalam dan setelah kematiannya, namun mereka kembali kepada Allah dan berdoa kepadaNya. Seandainya bertawassul dengan diri atau kedudukan beliau Shalallaahu alaihi wasalam itu disyariatkan, niscaya beliau telah mengajarkan hal itu kepada mereka; karena beliau tidak meninggalkan suatu perkara untuk mendekatkan diri kepada Allah melainkan beliau memerintahkannya dan memberi petunjuk kepadanya. Dan, niscaya mereka mengamalkannya karena me-reka sangat antusias mengamalkan apa yang disyariatkan kepada mereka, terutama pada saat mengalami kesulitan. Tiadanya kete-tapan izin dari beliau Shalallaahu alaihi wasalam mengenainya dan petunjuk kepadanya serta mereka tidak mengamalkannya adalah bukti bahwa itu tidak diperbolehkan.<br /><br />Yang sah dari para sahabat , bahwa mereka bertawassul kepada Allah dengan doa Nabi Shalallaahu alaihi wasalam kepada Tuhannya agar permohonan mereka dikabulkan semasa hidupnya, seperti dalam Istisqa' (meminta hujan) dan selainnya. Tatkala beliau telah wafat, Umar Radhiallaahu anhu ketika keluar untuk Istisqa' mengatakan,<br /><br />"Ya Allah, dahulu kami bertawassul kepadaMu dengan Nabi kami lalu Engkau memberi hujan kepada kami. Dan sesungguhnya kami sekarang bertawassul kepadamu dengan paman Nabi kami, maka berilah kami hujan."<br /><br />Maka, mereka diberi hujan.<br />Maksudnya doa al-Abbas kepada Tuhannya serta permo-honannya kepadaNya, dan yang dimakud bukan bertawassul kepada kedudukan al-Abbas; karena kedudukan Nabi Shalallaahu alaihi wasalam lebih besar dan lebih tinggi darinya. Kedudukan ini tetap berlaku untuknya sepeninggalnya sebagaimana semasa hidupnya. Sean-dainya tawassul tersebut yang dimaksudkan, niscaya mereka telah bertawassul dengan kedudukan Nabi a daripada bertawas-sul kepada al-Abbas. Tetapi, nyatanya, mereka tidak melakukannya. Kemudian, bertawassul kepada kedudukan para nabi dan semua orang shalih adalah salah satu sarana kesyirikan yang terdekat, sebagaimana yang ditunjukkan oleh fakta dan pengalaman. Oleh karenanya perbuatan ini dilarang untuk menutup jalan tersebut dan melindungi tauhid. Semoga shalawat dan salam senantiasa Allah limpahkan atas Nabi kita, Muhammad, keluarganya dan para sahabatnya.<br /><br /><i>Majalah al-Buhuts al-Islamiyah, vol. 30, hal. 78-81, al-Lajnah ad-Da'imah.</i>MUSLIM KAFFAHhttp://www.blogger.com/profile/12527866730164618004noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6900756058190518083.post-45872646427062221852009-08-29T12:27:00.002-07:002009-08-29T12:29:24.385-07:00Hukum Bertanya Kepada Penyihir dan PenyulapDidapati di suatu tempat di Yaman orang-orang yang disebut orang pintar. Mereka ini bisa mendatangkan berbagai hal yang menafikan agama, seperti sulap dan selainnya. Mereka me-ngaku mampu menyembuhkan manusia dari berbagai penyakit kronis dan mereka membuktikan hal itu dengan menikam diri mereka dengan pisau atau memotong lisan mereka kemudian mengembalikan lagi tanpa rasa sakit yang menimpa mereka. Di antara mereka ada yang mengerjakan shalat dan ada yang tidak mengerjakan shalat. Demikian juga mereka menghalalkan bagi diri mereka menikah dengan selain famili mereka, dan mereka tidak menghalalkan bagi seorang pun menikah dengan famili dekat mereka. Ketika mereka berdoa untuk orang yang sakit, mereka mengatakan, "Ya Allah, ya fulan -salah seorang nenek moyang mereka-."<br /><br />Di masa dahulu, orang-orang memuliakan mereka dan menganggap mereka sebagai manusia luar biasa dan bahwa mereka itu dekat kepada Allah, bahkan orang-orang menyebut mereka sebagai Rijalullah (para wali Allah). Sekarang, manusia telah terbagi-bagi mengenai mereka. Di antara mereka ada yang menentang mereka, yaitu kawula muda dan kaum terpelajar. Se-bagian lainnya masih setia kepada mereka, yaitu para orang tua dan bukan kaum terpelajar. Kami berharap kepada Anda yang mulia untuk menjelaskan masalah ini.<br /><br /><b>Jawaban:</b><br /><br />Mereka dan sejenisnya berasal dari golongan mutashawwifah (pengikut Tasawwuf) yang mempunyai amalan-amalan yang mungkar dan perangai-perangai yang batil. Mereka juga berasal dari golongan para peramal yang disinyalir oleh Nabi Shalallaahu alaihi wasalam ,<br />"Barangsiapa mendatangi peramal lalu bertanya kepadanya tentang sesuatu, maka tidak diterima shalatnya selama 40 hari."<br /><br />Hal itu karena pengakuan mereka bahwa mereka mengetahui perkara ghaib, pengabdian mereka kepada jin, dan pengelabuan mereka terhadap manusia, dengan apa yang mereka lakukan berupa berbagai jenis sihir yang telah disinyalir oleh Allah dalam kisah Musa dan Fir'aun. Dia berfirman,<br />"Musa menjawab, 'Lemparkanlah (lebih dahulu)!' Maka tatkala mereka melemparkan, mereka menyulap mata orang dan menja-dikan orang banyak itu takut, serta mereka mendatangkan sihir yang besar (menakjubkan)." (Al-A'raf: 116).<br /><br />Tidak boleh mendatangi mereka dan tidak boleh bertanya kepada mereka, berdasarkan hadits tersebut dan berdasarkan sabda beliau Shalallaahu alaihi wasalam ,<br />"Barangsiapa mendatangi dukun lalu mempercayai apa yang diucapkannya, maka ia telah kafir kepada apa yang diturunkan kepada Muhammad."<br /><br />Dalam redaksi yang lain,<br />"Barangsiapa mendatangi peramal atau dukun lalu mempercayai apa yang diucapkannya, maka ia telah kafir kepada apa yang ditu-runkan kepada Muhammad."<br /><br />Adapun mereka berdoa kepada selain Allah dan meminta bantuan kepada selainNya, atau mereka menyangka bahwa bapak-bapak mereka atau pendahulu-pendahulu mereka meng-atur alam ini, menyembuhkan penyakit atau mengabulkan doa, meskipun mereka telah mati atau telah tiada, maka ini semua termasuk kekafiran kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala dan termasuk syirik besar. Oleh karenanya, wajib mengingkari mereka, tidak mendatangi mereka, tidak bertanya kepada mereka, dan tidak mempercayai mereka. Karena mereka menghimpun dalam amalan-amalan ini antara amalan para dukun dan peramal dengan amalan kaum musyrik. Yaitu orang-orang yang menyembah selain Allah, me-minta bantuan kepada selain Allah, dan meminta pertolongan kepada selain Allah. Yaitu para jin, orang-orang yang sudah mati, dan selainnya dari kalangan yang mana mereka menisbatkan diri kepadanya dan mereka sangka sebagai bapak-bapak dan pen-dahulu-pendahulu mereka, atau manusia lainnya yang mereka duga memiliki kekuasaan atau memiliki kekeramatan. Bahkan semua ini termasuk amalan para pesulap, dukun dan peramal yang diingkari dalam syariat yang suci ini.<br /><br />Adapun perbuatan-perbuatan mereka yang mungkar, semisal mereka menikam diri mereka dengan pisau atau memo-tong lisan mereka, maka semua ini adalah pengelabuan terhadap manusia dan semuanya termasuk jenis syirik yang diharamkan, berdasarkan nash-nash dari al-Qur'an dan as-Sunnah yang meng-haramkannya dan memperingatkan supaya waspada terhadapnya sebagaimana telah dijelaskan. Oleh karena itu, tidak sepatutnya bagi orang yang berakal tertipu dengannya, dan ini adalah sejenis apa yang difirmankan oleh Allah Subhannahu wa Ta'ala mengenai para penyihir Fir'aun,<br />"Maka tiba-tiba tali-tali dan tongkat-tongkat mereka, terbayang kepada Musa seakan-akan ia merayap cepat." (Thaha: 66).<br /><br />Mereka menghimpun antara sihir dengan sulap, perdukunan dan ramalan; antara syirik besar, meminta pertolongan kepada selain Allah dan istighatsah kepada selain Allah dengan pengklaiman mengetahui perkara ghaib dan mengatur alam semesta ini. Ini adalah berbagai macam kesyirikan besar dan keka-firan yang nyata, amalan-amalan sihir yang diharamkan oleh Allah Subhannahu wa Ta'ala, dan mengklaim mengetahui perkara ghaib yang hanya diketahui oleh Allah, sebagaimana firmanNya,<br />"Katakanlah, 'Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah'." (An-Naml: 65).<br /><br />Kewajiban atas semua muslim yang mengetahui ihwal mereka ialah mencegah mereka, menjelaskan perangai-perangai mereka yang buruk, dan bahwa itu perbuatan mungkar. Perkara mereka harus dilaporkan kepada penguasa atau pejabat yang berwenang, jika mereka berada di negeri Islam, sehingga mereka mendapatkan sanksi secara syar'i yang setimpal dengan kejahatan mereka serta melindungi umat Islam dari kebatilan dan pengelabuan mereka. Wallahu waliyyut taufiq.<br /><br /><i>Majmu` Fatawa wa Maqalat Mutanawwi`ah, Syakh Ibn Baz, jilid v, hal. 276-278</i>MUSLIM KAFFAHhttp://www.blogger.com/profile/12527866730164618004noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6900756058190518083.post-13809700750175485482009-08-29T12:27:00.001-07:002009-08-29T12:27:50.274-07:00DEFINISI SIHIR<span><span style="font-family:verdana;">Oleh<br />Wahid bin Abdissalam Baali<br /><br /><br />A. Sihir Menurut Bahasa.<br /><br />Al-Laits mengatakan, “Sihir adalah suatu perbuatan yang dapat mendekatkan diri kepada syaitan dengan bantuannya.” Al-Azhari mengemukakan, “Dasar pokok sihir adalah memalingkan sesuatu dari hakikat yang sebenarnya kepada yang lainnya [1].” Ibnu Manzur berkata : “ Seakan-akan tukang sihir memperlihatkan kebathilan dalam wujud kebenaran dan menggambarkan sesuatu tidak seperti hakikat yang sebenarnya. Dengan demikian, dia telah menyihir sesuatu dari hakikat yang sebenarnya atau memalingkannya.”[2]<br /><br />Syamir meriwayatkan dari Ibnu ‘Aisyah, dia mengatakan : “Orang Arab menyebut sihir itu dengan kata as-Sihr karena ia menghilangkan kesehatan menjadi sakit.” [3]<br /><br />Ibnu Faris[4] mengemukakan, “Sihir berarti menampakkan kebathilan dalam wujud kebenaran.” [5] Di dalam kitab Al Mu’jamul Wasiith disebutkan : “ Sihir adalah sesuatu yang dilakukan secara lembut dan sangat terselubung.”[6] Sedangkan didalam kitab Muhiithul Muhiith disebutkan, “Sihir adalah tindakan memperlihatkan sesuatu dengan penampilan yang paling bagus, sehingga bisa menipu manusia.”[7]<br /><br /><br />B. Sihir dalam Istilah Syari’at.<br /><br />Fakhruddin ar-Razi mengemukakan, “Menurut istilah Syari’at, sihir hanya khusus berkenaan dengan segala sesuatu yang sebabnya tidak terlihat dan digambarkan tidak seperti hakikat yang sebenarnya, serta berlangsung melalui tipu daya.”[8]<br /><br />Ibnu Qudamah al-Maqdisi mengatakan, “Sihir adalah ikatan-ikatan, jampi-jampi, perkataan yang dilontarkan secara lisan maupun tulisan, atau melakukan sesuatu yang mempengaruhi badan, hati atau akal orang yang terkena sihir tanpa berinteraksi langsung dengannya. Sihir ini mempunyai hakikat, diantaranya ada yang bisa mematikan, membuat sakit, membuat seorang suami tidak dapat mencampuri istrinya atau memisahkan pasangan suami istri, atau membuat salah satu pihak membenci lainnya atau membuat kedua belah pihak saling mencintainya.”[9]<br /><br />Ibnul Qayyim mengungkapkan, “Sihir adalah gabungan dari berbagai pengaruh ruh-ruh jahat, serta interaksi berbagai kekuatan alam dengannya.”[10]<br /><br />Kesimpulan :<br /><br />Sihir adalah kesepakatan antara tukang sihir dan syaitan dengan ketentuan bahwa tukang sihir akan melakukan berbagai keharaman atau kesyirikan dengan imbalan pemberian pertolongan syaitan kepadanya dan ketaatan untuk melakukan apa saja yang dimintanya.<br /><br /><br />C. Beberapa Sarana Tukang Sihir Untuk Mendekati Syaitan.<br /><br />Diantara tukang sihir itu ada yang menempelkan mushhaf dikedua kakinya, kemudian ia memasuki WC. Ada yang menulis ayat-ayat al-Qur’an dengan kotoran. Ada juga yang menulis ayat-ayat al-Qur’an dengan menggunakan darah haidl. Juga ada yang menulis ayat-ayat al-Qur’an di kedua telapak kakinya. Ada juga yang menulis Surat al-Faatihah terbalik. Juga ada yang mengerjakan sholat tanpa berwudhu’. Ada yang tetap dalam keadaan junub terus-menerus. Serta ada yang menyembelih binatang untuk dipersembahkan kepada syaitan dengan dengan tidak menyebut nama Allah pada saat menyembelih, lalu membuang sembelihan itu ke suatu tempat yang telah ditentukan syaitan.[11] Dan ada juga yang berbicara dengan binatang-binatang dan bersujud kepadanya. Serta ada juga yang menulis mantra dengan lafazh-lafazh yang mengandung berbagai makna kekufuran.<br /> <br />Dari sini, tampak jelas oleh kita bahwa jin itu tidak akan membantu dan tidak juga mengabdi kepada seorang penyihir kecuali dengan memberikan imbalan. Setiap kali seorang penyihir meningkatkan kekufuran, maka syaitan akan lebih taat kepadanya dan lebih cepat melaksanakan perintahnya. Dan jika tukan sihir tidak sungguh-sungguh melaksanakan berbagai hal yang bersifat kufur yang diperintahkan syaitan, maka syaitan akan menolak mengabdi kepadanya serta menentang perintahnya. Dengan demikian, tukang sihir dan syaitan merupakan teman setia yang bertemu dalam rangka perbuatan kemaksitan kepada Allah.<br /><br />Jika anda perhatikan wajah tukang sihir, maka dengan jelas anda akan melihat kebenaran apa yang telah saya sampaikan, dimana anda akan mendapatkan gelapnya kekufuran yang memenuhi wajahnya, seakan-akan ia merupakan awan hitam yang pekat.<br /><br />Jika anda mengenali tukang sihir dari dekat, maka anda akan mendapatkannya hidup dalam kesengsaraan jiwa bersama istri dan anak-anaknya, bahkan dengan dirinya sendri sekalipun. Dia tidak bisa tidur nyenyak dan terus merasa gelisah, bahkan dia akan senantiasa merasa cemas dalam tidur. Selain itu seringkali syaitan-syaitan itu akan menyakiti anak-anaknya atau istrinya serta menimbulkan perpecahan dan perselisihan di antara mereka. Mahabesar Allah Yang Mahaagung yang telah berfirman:<br /><br />“Artinya : Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatanKu, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit” [Thaahaa : 124]<br /><br />[Disalin dari kitab Ash-Shaarimul Battaar Fit Tashaddi Lis Saharatil Asyraar edisi Indonesia Sihir & Guna-Guna Serta Tata Cara Mengobatinya Menurut Al-Qur'an Dan Sunnah, Penulis Wahid bin Abdissalam Baali, Terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi'i]<br />_________<br />Foote Note<br />[1] Tahziibul Lughah (IV/290)<br />[2] Lisaanul ‘Arab (IV/290).<br />[3] Ibid<br />[4] Beliau berkata dalam Maaqayisul Lughah (507), suatu kaum berkata:”Sihir adalah mengeluarkan kebathilan dalam bentuk yang haq, dan dikatakan, sihir adalah tipuan. Mereka berdalil dengan perkataan seseorang: ‘Sesungguhnya jika anda menanyakan keberadaan kami, maka kami bagaikan burung dari golongan manusia yang tersihir. “Seolah-olah yang dimaksud adalah orang yang tertipu.<br />[5] Al-Mishbaahul Muniir (267), penerbit al-Maktabah al-Ilmiyyah, Beirut.<br />[6] Al-Mu’jamul Wasiith (I/419), Darul Fikr.<br />[7] Muhiithul Muhiith (399), Beirut <br />[8] Al-Mishbaahul Muniir (268), Beirut<br />[9] Al-Mughni, (X/104).<br />[10] Zaadul Ma’aad, (IV/126)<br />[11] Baca kembali kitab : Wiqaayatul Insaan, (hal. 45).</span></span>MUSLIM KAFFAHhttp://www.blogger.com/profile/12527866730164618004noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6900756058190518083.post-23891584402292318802009-08-29T12:25:00.000-07:002009-08-29T12:27:07.408-07:00BAGAIMANA TUKANG SIHIR ITU MENGHADIRKAN JIN ?Oleh<br />Wahid bin Abdissalam Baali<br />Bagian Pertama dari Tiga Tulisan 1/3<br /><br /><br /><br />Ada cukup banyak cara dan sangat bervariatif, yang semuanya mengandung kesyirikan atau kekufuran nyata. Dan insya Allah, saya akan menyebutkan sebagian diantaranya, yakni delapan cara yang disertai dengan jenis kesyirikan atau kekufuran yang terkandung pada setiap cara tersebut secara ringkas. [1] Hal itu sengaja saya kemukakan, karena sebagian kaum muslimin banyak yang tidak bisa membedakan antara penyembuhan secara Qur-ani dengan penyembuhan secara sihir (juga). Yang pertama adalah cara imani (keimanan) dan yang kedua cara syaithani (atas petunjuk syaitan). Dan masalahnya akan semakin kabur bagi orang-orang tidak berilmu, di mana tukang sihir itu membacakan mantra dengan pelan sementara dia akan membaca ayat al-Qur’an dengan kencang dan terdengar oleh pasien sehingga pasien mengira orang tersebut mengobatinya dengan menggunakan ayat-ayat al-Qur’an, padahal kenyataannya tidak demikian. Sehingga si pasien itu akan menerima perintah tukang sihir sepenuhnya.<br /><br />Dan tujuan dari penyampaian dan penjelasan cara ini adalah untuk memperingatkan kaum muslimin agar mereka berhati-hati terhadap berbagai jalan kejahatan dan kesesatan, dan agar tampak jelas jalan orang-orang yang berbuat kejahatan.<br /><br />PERTAMA : CARA IQSAM [BERSUMPAH ATAS NAMA JIN DAN SYAITHAN].<br />Menurut cara ini, tukang sihir akan masuk ruangan yang gelap, lalu meyalakan api dan kemudian di atas api itu diletakan semacam dupa sesuai dengan objek yang diminta. Jika dia ingin melakukan pemisahan atau permusuhan dan kebencian atau yang semisalnya, maka dia akan meletakkan di atas api itu dupa yang mempunyai bau yang tidak sedap. Dan jika dia hendak mempertemukan cinta atau melepaskan ikatan yang menghalangi suami mencampuri istrinya atau untuk menghilangkan sihir, maka dia akan meletakkan dupa yang mempunyai bau yang wangi. Selanjutnya, tukang sihir akan mulai membaca mantra yang berbau kesyirikan, yaitu bacaan-bacaan tertentu yang mengandung sumpah kepada jin dengan mengatasnamakan pemuka mereka dan meminta mereka dengan menyebut pemuka mereka, sebagaimana hal itu mengandung berbagai macam kesyirikan lainnya, misalnya mengagungkan para pembesar jin dan meminta bantuan kepada mereka dan lain sebagainya.<br /><br />Dengan syarat, tukang sihir tersebut -mudah-mudahan Allah melaknatnya tidak boleh dalam keadaan suci, baik dalam kondisi junub maupun memakai pakaian bernajis dan lain sebagainya.<br /><br />Setelah selesai membaca mantra maka akan muncul di hadapannya bayangan berbentuk anjing atau ular atau bentuk lainnya, lalu si penyihir itu akan menyuruhnya melakukan apa saja yang dia inginkan. Tetapi terkadang tidak muncul apa-apa di hadapannya, tetapi dia hanya mendengar suara. Dan terkadang dia tidak mendengar suara apa-apa tetapi dia mengikat benda bekas dipakai dari seseorang yang hendak disihir, seperti, rambut, atau potongan baju yang pernah dipakainya yang masih berbau keringat dan lain sebagainya. Dan setelah itu, si penyihir akan memerintahkan jin untuk melakukan apa yang dia mau.<br /><br />Komentar mengenai cara ini:<br /><br />Dari pengkajian terhadap cara ini, maka tampak jelas hal-hal berikut:<br />[1]. Jin itu lebih mengutamakan ruangan yang gelap.<br />[2]. Jin menikmati (menyantap) bau sesajen yang dihidangkan, yang tidak disebut nama Allah padanya.<br />[3]. Merupakan bentuk kesyirikan yang jelas dan nyata dalam cara ini adalah bersumpah atas nama jin dan meminta pertolongan kepada mereka.<br />[4]. Jin itu mengutamakan najis dan syaitan mendekati najis.<br /><br />KEDUA : CARA ADZ-DZABH [MEMOTONG SEMBELIHAN]<br />Menurut cara ini, si tukang sihir akan membawa burung, ayam, merpati, atau yang lainnya dengan ciri-ciri tertentu sesuai dengan permintaan jin, hewan itu adalah yang berwarna hitam pekat, karena jin lebih menyenangi warna hitam. [2]. Kemudian, dia menyembelihnya dengan tidak meyebut nama Allah atasnya. Terkadang si penderita akan diolesi darah binatang itu dan terkadang juga tidak. Selanjutnya, dia melemparnya ke puing-puing bangunan, sumur, atau tempat-tempat kosong yang seringkali menjadi tempat jin. Dan pada saat melempar, dia tidak menyebut nama Allah. Setelah itu dia kembali pulang ke rumah, lalu membaca mantra yang berbau syirik, dan selanjutnya menyuruh jin untuk melakukan apa saja yang dia inginkan.<br />Komentar mengenai cara ini:<br /><br />Kesyirikan yang terkandung pada cara kedua ini terfokus pada dua hal, yaitu:<br /><br />[1]. Menurut kesepakatan para ulama, baik salaf maupun khalaf, menyembelih binatang untuk dipersembahkan kepada jin adalah sesuatu yang haram, bahkan ia merupakan perbuatan syirik mutlak, Karena binatang yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah sama sekali tidak boleh dimakan oleh orang muslim, apalagi melakukannya. Akan tetapi bersamaan dengan itu, orang-orang bodoh disetiap zaman dan tempat akan terus melakukan perbuatan keji tersebut.<br /><br />Yahya bin Yahya pernah berkata, Wahab pernah berkata kepada saya, beberapa orang penguasa mengambil kesimpulan adanya mata air dan bermaksud mengalirkannya. Untuk hal itu mereka menyembelih binatang untuk dipersembahkan kepada jin agar jin-jin itu tidak menyumbat aliran air tersebut. Lalu dia memberikan makan kepada beberapa orang dengan sembelihan itu.<br /><br />Selanjutnya berita tersebut terdengar oleh Ibnu Syihab az-Zuhri, maka dia berkata: “Sesungguhnya mereka telah menyembelih apa yang tidak dihalalkan dan memberi makan orang-orang dengan apa yang tidak dihalalkan bagi mereka. Rasulullah SAW sendiri telah melarang makan sembelihan yang disembelih untuk dipersembahakan kepada jin.[3]<br /><br />Dalam kitab Shahih Muslim juga disebutkan sebuah hadits dari ‘Ali bin Abi Thalib ra, dia berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:<br /><br />"Artinya : Allah melaknat orang yang menyembelih binatang untuk selain Allah".<br /><br />[2]. Jimat atau mantra yang berbau syirik. Yaitu tulisan-tulisan yang dibacakan pada saat menghadirkan jin. Mantra-mantra itu mengandung kesyirikan yang jelas, sebagaimana yang diungkapkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah di beberapa bukunya. [4]<br /><br /><br />[Disalin dari kitab Ash-Shaarimul Battaar Fit Tashaddi Lis Saharatil Asyraar edisi Indonesia Sihir & Guna-Guna Serta Tata Cara Mengobatinya Menurut Al-Qur'an Dan Sunnah, Penulis Wahid bin Abdissalam Baali, Terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi'i]<br />_________<br />Foote Note<br />[1]. Saya tidak akan menyebutkan cara tersebut secara sempurna agar tidak ada seorang pun yang dapat memperaktekkannya, bahkan saya akan menghapus unsur terpenting yang ada pada cara itu.<br />[2]. Di dalam kitab Shahih Muslim telah ditegaskan sebuah hadits yang berstatus marfu’: ” Ada sebagian jin yang mengakui hal tersebut kepada saya. Lihat kitab: Wiqaayatul Insaan, (hal.104).<br />[3]. Lihat kembali kitab:Aakaamul Marjaan, (hal.78).<br />[4]. ilakan di baca beberapa kitabnya, seperti risalah al-Ibaanah fii ‘Umuumir Risaalah.MUSLIM KAFFAHhttp://www.blogger.com/profile/12527866730164618004noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6900756058190518083.post-9566338157570965222009-08-29T12:21:00.000-07:002009-08-29T12:23:26.282-07:00Waspada terhadap Sempalan Islam<span class="content">Islam itu sesungguhnya hanya satu, sebagai agama yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya dengan kesempurnaan yang mutlak."Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu menjadi agama bagimu."(Al-Maidah:3)<br /><br />Islam telah menjawab segala problematika hidup dari segenap seginya. Tetapi di masa kini sedikit sekali orang yang mengetahui dan meyakini kesempurnaannya.Ini sesungguhnya adalah sebagai akibat pengkaburan Islam dari warna aslinya oleh debu dan polusi bid'ah, sehingga mayoritas umat Islam amat rancu permasalahannya terhadap agamanya.<br /><br />Allah Ta'ala berfirman : "Barangsiapa yang menyimpang dari rasul setelah terang padanya petunjuk itu, dan mengikuti jalannya selain mukminin, Kami akan gabungkan dia dengan orang-orang sesat dan Kami masukkan dia ke neraka Jahannam."(An-Nissa:115). Islam itu sendiri adalah Jama'ah (satu kesatuan) dan yang menyimpang dari padanya adalah firqah (perpecahan).<br /><br />Allah berfiman : "Dan berpegang teguhlah kalian semua dengan agama Islam ini dan jangan kalian berpecah belah dari agama ini…"(Ali Imran:102) Sedangkan firqah itu tidak lain disebabkan oleh adanya orang-orang yang mengikut perkara syubhat (rancu) dalam agama ini dan mengekor kepada hawa nafsu.<br /><br />"Dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (syubhat dan hawa nafsu), niscaya bila kamu ikut jalan-jalan itu akan menyimpangkan kalian dari jalan Allah."(Al-An'am:153). Menyeleweng dari jalan Islam itu berarti menyimpang pula dari Al-Jama'ah, dan sekarang ini orang mengistilahkan dengan Islam sempalan, dalam pengertian sebagai aliran pemahaman Islam yang sesat.<br /><br />Menginventarisasir Islam Sempalan<br />Untuk melakukan pekerjaan ini, haruslah merujuk kepada ulama Ahlus Sunnah wal Jama'ah Salafus Sholih. Karena mereka mempunyai penilaian yang tegas dengan referensi yang lengkap dan jelas. Juga di dalam masalah ini menyangkut pula identifikasi pemahaman Islam sempalan tersebut.<br /><br />Upaya yang demikian ini sangat penting di dalam memberi peringatan kepada umat Islam akan bahayanya penyimpangan dari pemahaman Islam yang benar dari pemahaman yang sesat. Juga upaya ini demikian pentingnya bila dikaitkan dengan kenyataan terlalu banyaknya firqah-firqah yang menyebabkan berbagai pikiran sesat di umat ini.<br /><br />Banyaknya firqah-firqah demikian ini karena bid'ah itu akan melahirkan sekian banyak kesesatan. Rasulullah salallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Sungguh-sungguh akan datang atas umatku sebagaimana yang telah datang pada Bani Israil, sebagaimana sepasang sandal yang sama ukurannya, sehingga kalau dulunya pernah ada di kalangan Bani Israil yang menzinai ibunya terang-terangan niscaya akan ada di umatku ini yang melakukan demikian. Dan sesungguhnya Bani Israil telah berpecah menjadi 72 golongan dan umatku akan terpecah menjadi 73 golongan. Semua mereka bakal masuk neraka kecuali satu golongan yang selamat.<br /><br />Para shahabat bertanya:"Siapakah mereka yang selamat itu ya Rasulullah?" Rasulullah menjawab: "Yaitu golongan yang mengikuti jalan hidupku dan jalan hidup para shahabatku."(HR Tirmidzi, di hasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam shahih Al-Jami':5343)<br /><br />Jadi ditegaskan di hadits ini bahwa umat Islam akan tercerai berai menjadi 73 golongan dan yang selamat hanya satu golongan. Dan yang dikatakan selamat disini ialah selamat di dunia dan selamat di akhirat dari api neraka. Satu golongan yang tetap istiqomah ini berpegang dengan Al-Jama'ah sedangkan yang lainnya menyempal dari Al-Jama'ah sehingga sesat dan celaka. Mereka ini sesungguhnya yang dinamakan Islam sempalan.<br /><br />Para ulama Ahlus Sunnah telah banyak menulis buku-buku yang menguraikan berbagai golongan Islam sempalan ini dengan merinci satu persatu masing-masing pemahaman syahwatnya, agar umat Islam waspada dari bahaya kesesatan itu. Diantara ulama Ahlus Sunnah yang menulis buku-buku tentang Islam sempalan ini ialah Al-Imam Ibnul Jauzy Al-Baghdadi dengan bukunya yang masyhur berjudul Talbis Iblis dalam satu jilid tebal.<br /><br />Beliau menerangkan: "Sesungguhnya kita ahlus sunnah telah tahu adanya Islam sempalan dan pokok-pokok berbagai golongannya, dan sungguh setiap golongan dari mereka terpecah menjadi beberapa golongan. Walaupun kita tidak mampu mengidentifikasi seluruh nama-nama golongan dan madzhab-madzhabnya, akan tetapi kita dapat melihat dengan jelas bahwa induk-induk golongan ini ialah :<br />1. Al-Haruriyyah<br />2. Al-Qodariyyah<br />3. Al-Jahmiyyah<br />4. Al-Murji'ah<br />5. Ar-Rafidhah<br />6. Al-Jabriyyah<br /><br />Sungguh para ulama telah menyatakan bahwa pokok berbagai sempalan yang sesat adalah enam aliran sempalan ini. Setiap aliran daripadanya terpecah menjadi dua belas aliran sehingga seluruhnya menjadi tujuh puluh dua aliran."<br />Demikian Ibnul Jauzy menerangkan dalam Talbis Iblis karya beliau halaman 18-19 cet. Tahun 1347 H/1928 M Darut Thiba'ah Al-Muniriyyah.<br /><br />Keterangan Tentang Keenam Pokok Aliran Sempalan :<br />1. Al-Haruriyyah<br />Ialah pemahaman kaum Khawarij yang mempunyai pemahaman sesat dalam perkara:<br />a. Mengkafirkan Sayyidinna Ali bin Abi Thalib karena mau berdamai dengan Muawiyyah bin Abu Sofyan.<br />b. Mengkafirkan Ustman bin Affan karena dianggap membikin pelanggaran-pelanggaran selama pemerintahannya.<br />c. Mengkafirkan orang-orang yang ikut dalam perang Jamal (unta), yaitu ummul mukminin Aisyah, Tholhah, Zubair bin Al-Awwam, Ali bin Abi Tholib, Abdullah bin Zubair dan segenap tentara yang terlibat dalam pertempuran.<br />d. Mengkafirkan orang-orang yang terlibat dalam upaya perundingan damai antara Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyyah bin Abi Sofyan. Juga mengkafirkan semua pihak yang terlibat dalam perundingan damai antara Al-Hasan bin Ali bin Abu Tholib dengan Muawiyyah bin Abu Sofyan sepeninggal Ali bin Abi Thalib. Mreka mengkafirkan semua orang pula yang ridha dan membenarkan dua upaya perdamaian di atas atau salah satunya.<br />e. Memberontak kepada pemerintahan muslimin yang berbuat dhalim karena pemerintahan tersebut dianggap kafir dengan perbuatan dhalimnya.<br />f. Menfkafirkan orang Islam yang berbuat dosa apapun.<br /><br />2. Al-Qodariyyah<br />Ialah pemahaman sesat yang mengingkari rukun iman yang ke enam, yaitu takdir Allah Ta'ala. Mereka mengatakan bahwa perbutan manusia ini adalah murni semata-mata dari perbuatan manusia sendiri dan tidak ada hubungannya dengan kehendak dan takdir Allah.<br /><br />3. Al-Jahmiyyah<br />Ialah pemahaman sesat yang menginginkan adanya sifat-sifat kemuliaan bagi Allah dan mengingkari nama-nama kemuliaan bagi-Nya.<br /><br />4. Al-Murji'ah<br />Ialah peahaman sesat yang mengingkari hubungan antara iman dengan amal, dalam artian iman itu tidak bertambah dengan amalan shalih dn tidak pula berkurang dengan kemaksiatan sehingga imannya Nabi sama dengan imannya penjahat sekalipun.<br /><br />5. Ar-Rafidhah<br />Ialah gerakan pemahaman sesat yang diwariskan oleh Abdullah bin Saba', seorang Yahudi yang pura-pura masuk Islam dan berupaya menyegarkan pemahamannya yang kafir, yaitu bahwa sayyidina Ali dan anak keturunannya adalah tuhan atau mempunyai sifat-sifat ketuhanan. Rafidhah mengkafirkan Abu Bakar dan Umar bin Khattab dan mengkafirkan pula segenap shahabat Nabi salallahu 'alaihi wa sallam kecuali beberapa orang saja. (Minhajus Sunnah Ibnu Taimiyah)<br /><br />6. Al-Jabariyyah<br />Ialah pemahaman sesat yang meyakini bawa semua apa yang terjadi adalah perbuatan Allah dan tidak ada perbuatan makhluk sama sekali. Manusia tidak mempunyai kehendak sama sekali karena yang ada hanya kehendak Allah. Sehingga semua perbuatan mansuia adalah ketaatan semata kepada kehendak Allah, dan tidak ada perbuatan maksiat. Orang berzina tidaklah dianggap maksiat karena perbuatan zina itu adalah perbuatan Allah dan kehendak-Nya. Semua manusia dianggap sama tidak ada muslim dan kafir, karena semuanya tidak mempunyai usaha (ikhtiar) dan tidak pula mempunyai kehendak apapun. (Talbis Iblis hal.22)<br /><br />7. Al Mu'tazilah<br />Di samping enam aliran sesat yang kemudian bercabang menjadi berpuluh-puluh aliran sesat lainnya, juga ada aliran sesat yang besar pula, yaitu mu'tazilah. Aliran ini mengkeramatkan akal sehingga akal adalah sumber kebenaran yang lebih tinggi kedudukannya dari Al-Qur'an dan Al-Hadits. Dari pengkeramatan akal ini timbullah kesesatan mereka yang meliputi :<br />a. Mengingkari adanya sifat-sifat mulia bagi Allah.<br />b. Orang Islam yang berbuat dosa tidak dinamakan muslim dan tidak dinamakan kafir, tetapi ia adalah fasiq. Akan tetapi bila ia tidak sempat bertaubat dari dosanya dan mati dalam keadaan demikian berarti kekal di neraka sebagaimana orang kafir. Orang yang telah masuk neraka tidak mungkin lagi masuk surga, sebagaimana orang yang masuk surga tidak mungkin lagi masuk neraka.<br />c. Menyerukan pemberontakan kepada pemerintah Islam yang berbuat dhalim dan pemberontakan itu dalam rangka amar ma'ruf nahi munkar.<br />d. Mengingkari adanya takdir Allah pada perbuatan hambanya.<br />e. Al-Qur'an itu adalah makhluk Allah sebagaimana pula sifat-sifat Allah lainnya adalah makhluk.<br />f. Mengingkari berita Al-Qur'an dan Al-hadits yang menyerukan bahwa wajah Allah itu dapat dilihat oleh kaum Mukminin di surga nanti. (Al-Farqu binal Firaq, Abdul Qahir Al-Isfaraini hal 114-115).<br /><br />8. Al Bathiniyyah<br />Disamping mu'tazilah, ada juga aliran lain yang bernama bathiniyyah yang sering disebut orang thariqat sufiyyah. Mereka ini membagi syariat Islam dalam dua bagian, yaitu syariat batin dan syariat dhahir. Orang yang menganut aliran ini mempercayai bahwa para wali keramat itu syariatnya syariat batin sehingga tingkah lakunya tidak bisa diamati dengan patokan syariat dhahir.<br /><br />Karena syariat batin itu sama sekali berbeda dengan syariat dhahir, maka yang haram di syariat dhahir bisa jadi halal dan bahkan suci dalam syariat batin. Orang-orang awam harus terikat dengan syariat dhahir. Jadi kalau orang awam berzina harus dicela dan dinilai telah berbuat maksiat, karena memang demikianlah syariat dhahir itu meilainya. Tapi kalau wali keramat berbuat mesum di diskotik atau di hotel tidak boleh dicela. Mereka para wali itu tidak lagi terikat dengan syariat dhahir, tetapi terikat dengan syariat bathin, yaitu syariat spesial milik para wali, jadi kalau ada orang yang mau mencoba mengkritik wali keramat itu dan mencelanya, maka ia harus setingkat mereka atau lebih tinggi.<br /><br />Syariat dhahir itu diturunkan kepada Nabi Muhammad salallahu 'alaihi wa sallam, sdangkan syariat batin diturunkan kepada para wali kearmat, melalui mimpi atau wangsit (ilham) atau lewat wahyu yang dibawa oleh para malaikat. (Talbis Iblis 162:169).<br /><br />Dari aliran-aliran sempalan di atas terpecahlah sekian banyak aliran sesat yang ujungnya pasti membatalkan syariat Allah dan mengakkan syariat hawa nafsu serta kekafiran. (Al-Farqu bainal Firaq, Abdul Qahir bin Muhammad Al-Baghdadi Al-Isfaraini hal 281-312). Padahal masing-masing aliran yang bersumber dari 8 kelompok sempalan itu tentunya mempunyai pengikut dari umat Islam.<br /><br />Demikianlah iblis dan anak buahnya memecah belah umat Islam melaui bid'ah, sehingga umat Islam terpecah belah menjadi beratus bahkan beribu-ribu aliran sesat yang telah menyempal dari Islam, walaupun mereka tetap meyakini keislamannya.<br /><br />Tanah Subur bagi Islam Sempalan<br />Kalau Islam sempalan itu dimisalkan sebagai tanaman, maka tanah subur tempat ia tumbuh dengan bagus dan cepat ialah kebodohan umat Islam tentang agamanya. Kebodohan yang demikian ini adalah akibat dari semakin rendahnya perhatian umat kepada pentingnya memahami dan mempelajarai hukum agama.<br /><br />Para ulama yang bernar-benar memahami agama dan mengamalkannya semakin langka. Yang banyak ialah para ulama karbitan, makelar ilmu yang mencari dunia dengan agamanya. Rasulullah salallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu dengan mencabutnya sekaligus dari hamba-hamba-Nya, akan tetapi dia mencabut ilmu dengan mematikan para ulama, sehingga tidak tersisa seorang ulama pun, maka manusia pun menunjuk para pimpinan mereka orang-orang yang bodoh (tentang ilmu agama), maka mereka pun bertanya tentang agama kepada para pimpinan bodoh ini dan para pimpinan bodoh itupun memberi fatwa tanpa ilmu, akibatnya para pimpinan itu sesat dan menyesatkan pengikutnya."(HR Bukhari dan Muslim)<br /><br />Oleh karena itu, sebagai upaya untuk mengantisipasi bermunculannya Islam sempalan, umat Islam harus dibangkitkan kembali semangatnya dalam menuntut dan mengamalkan ilmu agama. Disamping itu, segala upaya untuk menyebarkan ilmu agama haruslah dipermudah. Penjelasan dan pemahaman agama harus dikembalikan kepada ahlinya dan jangan sembarang orang merasa berhak berbicara tentangnya.<br /><br />Apalagi kalau ia sama sekali tidak mempunyai latar belakang ilmu agama. Rasulullah salallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Sesungguhnya termasuk tanda-tanda kiamat salah satunya ialah ilmu diambil dari orang-orang kecil."(HR Ibnul Mubarrak dalam Az-Zuhud, lihat Ash-Shohihah no.696).<br /><br />Ketika ditanya kepada Ibnul Mubarrak siapakah orang-orang kecil (Ashaghir) yang dimaksud di sini, beliau menjawab: "Orang-orang kecil itu ialah yang berbicara tentang agama dari pikirannya sendiri, adapun orang kecil yang mengambil ilmu dan menyampaikan dari ulama besar, maka tidaklah dia dimasukkan dalam golongan orang-orang kecil". Oleh karena itu orang-orang yang menuntut ilmu agama dan kemudian menyebarkannya haruslah didkukung dan dibela, bila kita tidak ingin umat ini terus menerus diganggu dan dikacaukan oleh gerakan Islam sempalan.<br /><br />Penutup<br />Mewaspadai gerakan Islam sempalan semestinya dengan ilmu agama yang cukup. Oleh karena itu para ulama ahlus sunnah wal jama'ah haruslah dijadikan patokan untuk menilai sesat atau tidaknya suatu gerakan. Dan jangan pula ulama karbitan dijadikan nara sumber penilaian, akibatnya fitnah yang meresahkan umat Islam terus mencekam dan semakin sulit umat Islam dipersatukan serta dipersaudarakan dengan sesama mereka.<br />Wallahu a'lam bi shawab.</span>MUSLIM KAFFAHhttp://www.blogger.com/profile/12527866730164618004noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6900756058190518083.post-72439912503781914262009-08-29T12:18:00.000-07:002009-08-29T12:20:56.367-07:00Kedudukan Hadits Tujuh Puluh Dua Golongan Umat Islam<div style="text-align: center;">Oleh : <i>Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas<br /></i><div style="text-align: left;"><br /><p class="MsoNormal"><b>TAQDIM</b> <o:p></o:p></p> <p>Akhir-akhir ini, kita sering mendengar ada beberapa khatib dan penulis yang membawakan hadits tentang tujuh puluh dua golongan umat Islam masuk neraka dan satu golongan umat Islam masuk surga adalah hadits lemah, dan yang benar kata mereka adalah tujuh puluh dua golongan masuk surga dan satu golongan saja yang masuk neraka, yaitu golongan zindiq. Mereka melemahkan hadist tersebut karena tiga hal : <o:p></o:p></p> <ol type="1"><li class="MsoNormal" style=""> Karena sanad-sanadnya ada kelemahan. <o:p></o:p> </li><li class="MsoNormal" style=""> Karena jumlah bilangan golongan yang celaka itu berbeda-beda, misalnya : satu hadits mengatakan 72 golongan masuk neraka, di hadits lain disebutkan 71 golongan dan di lain hadits disebutkan 70 golongan lebih tanpa menentukan batasnya. <o:p></o:p> </li><li class="MsoNormal" style=""> Karena makna (isi) hadits tersebut tidak cocok dengan akal, semestinya kata mereka ; umat Islam ini menempati surga atau minimal menjadi separoh penghuni ahli surga. <o:p></o:p></li></ol> <p class="MsoNormal">Dalam tulisan ini Insya Allah saya akan menjelaskan kedudukan sebenarnya hadits ini serta penjelasan dari para Ulama Ahli Hadits, sehingga dengan demikian akan hilang kemusykilan yang ada, baik dari segi sanadnya maupun dari segi maknanya. <o:p></o:p></p> <p><b>JUMLAH HADITS TENTANG TERPECAHNYA UMAT</b> <o:p></o:p></p> <p>Kalau kita kumpulkan hadits-hadits tentang terpecahnya umat menjadi 73 golongan dan satu golongan yang masuk surga, lebih kurang ada lima belas hadits yang diriwayatkan oleh lebih dari sepuluh ahli hadits dari 14 (empat belas) shahabat Rasulullah SAW, yaitu ; Abu Hurairah, Mu'awiyah, Abdullah bin 'Amr bin Al-'Ash, Auf bin Malik, Abu Umamah, Ibnu Mas'ud, Jabir bin Abdillah, Sa'ad bin Abi Waqqash, Abu Darda', Watsilah bin Al-Asqa', Amr bin 'Auf Al-Muzani, Ali bin Abi Thalib, Abu Musa Al-Asy'ariy, dan Anas bin Malik. <o:p></o:p></p> <p>Sebagian dari hadit-hadits tersebut ialah : <o:p></o:p></p> <p dir="rtl"><b>حَدَّثَنَا وَهْبُ بْنُ بَقِيَّةَ عَنْ خَالِدٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ</b></p> <p dir="rtl"><b> افْتَرَقَتِ الْيَهُودُ عَلَى إِحْدَى أَوْ ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً وَتَفَرَّقَتِ النَّصَارَى عَلَى إِحْدَى أَوْ ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً * </b></p> <p>Artinya :<br />"Dari Abu Hurairah ia berkata : "Telah bersabda Rasulullah SAW. Kaum Yahudi telah terpecah menjadi 71 (tujuh puluh satu) golongan atau 72 (tujuh puluh dua) golongan dan Kaum Nashrani telah terpecah menjadi 71 (tujuh puluh satu) golongan atau 72 (tujuh puluh dua) golongan dan ummatku akan terpecah menjadi 73 (tujuh puluh tiga) golongan". <o:p></o:p></p> <p>Keterangan :<br /> Hadits ini diriwayatkan oleh : <o:p></o:p></p> <ol type="1"><li class="MsoNormal" style=""> Abu Dawud : Kitabus Sunnah, 1 bab Syarhus Sunnah 4 : 197-198 nomor hadits 4596. Dan hadits di atas adalah lafadz Abu Dawud. <o:p></o:p> </li><li class="MsoNormal" style=""> Tirmidzi : Kitabul Iman, 18 bab Maa ja'a fi 'Iftiraaqi Hadzihil Ummah, nomor 2778 dan ia berkata : Hadits ini HASAN SHAHIH. (lihat Tuhfatul-Ahwadzi VII : 397-398). <o:p></o:p> </li><li class="MsoNormal" style=""> Ibnu Majah : 36 Kitabul Fitan, 17 bab Iftiraaqil Umam, nomor 3991. <o:p></o:p> </li><li class="MsoNormal" style=""> Imam Ahmad dalam Musnadnya 2 : 332 tanpa menyebutkan kata Nashara. <o:p></o:p> </li><li class="MsoNormal" style=""> Hakim dalam kitabnya : Al-Mustadrak : Kitabul Iman 1 : 6 dan ia berkata : Hadits ini banyak sanadnya dan berbicara masalah pokok-pokok agama. <o:p></o:p> </li><li class="MsoNormal" style=""> Ibnu hibban dalam kitab Mawaariduzh-Zhan'aam: 31 Kitabul Fitan, 4 bab Iftiraaqil Umam, halaman 454 nomor 1834. <o:p></o:p> </li><li class="MsoNormal" style=""> Abu Ya'la Al-Mushiliy dalam kitabnya Al-Musnad : Musnad Abu Hurairah. <o:p></o:p> </li><li class="MsoNormal" style=""> Ibnu Abi 'Ashim dalam kitab "As-Sunnah", bab 19-bab Fima Akhbara Bihin Nabi Anna Ummatahu Sataf Tariqu juz I hal. 33 nomor 66. <o:p></o:p> </li><li class="MsoNormal" style=""> Ibnu Baththah Fil Ibanatil Kubra : bab Dzikri Iftiraaqil Umma Fiidiiniha, Wa'alakam Tartaraqul Ummah ?. juz I hal. 228 nomor 252. <o:p></o:p> </li><li class="MsoNormal" style=""> .Al-Aajurriy dalam kitabnya "Asy-Syari'ah" bab Dzikri Iftiraaqil Umam halaman 15. <o:p></o:p></li></ol> <p class="MsoNormal">Semua ahli hadits tersebut di atas meriwayatkan dari jalan Muhammad bin 'Amr dari Abu Salamah dari Abu Hurarirah dari Nabi SAW. <o:p></o:p></p> <p><b>RAWI HADITS</b> <o:p></o:p></p> <ol type="1"><li class="MsoNormal" style=""> Muhammad bin 'Amr bin Alqamah bin Waqqash Al-Alilitsiy. <o:p></o:p> <ul type="circle"><li class="MsoNormal" style=""> Imam Abu Hatim berkata : Ia baik haditsnya, ditulis haditsnya dan dia adalah seorang Syaikh (guru). <o:p></o:p> </li><li class="MsoNormal" style=""> Imam Nasa'i berkata : Ia tidak apa-apa (yakni boleh dipakai), dan pernah ia berkata bahwa Muhammad bin 'Amr adalah orang yang tsiqah. <o:p></o:p> </li><li class="MsoNormal" style=""> Imam Dzahabi berkata : Ia seorang Syaikh yang terkenal dan haditsnya hasan. <o:p></o:p> </li><li class="MsoNormal" style=""> Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata : Ia orang yang benar, hanya ada beberapa kesalahan. <o:p></o:p></li></ul></li></ol> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in;"> (Lihat : Al-Jarhu wat Ta'dil 8 : 30-31, Mizanul I'tidal III : 367, Tahdzibut Tahdzib IX : 333-334, Taqribut Tahdzib II : 196). <o:p></o:p></p> <ol start="2" type="1"><li class="MsoNormal" style=""> Abu Salamah itu Abdur-Rahman bin Auf. Beliau adalah rawi Tsiqah, Abu Zur'ah berkata : Ia seorang rawi Tsiqah.<br /> (Lihat : Tahdzibut Tahdzib XII : 127. Taqribut Tahdzib II : 430). </li></ol> <p class="MsoNormal"> </p> <p class="MsoNormal"><b>DERAJAT HADITS</b> <o:p></o:p></p> <p>Hadits ini derajatnya : HASAN, karena ada Muhammad bin 'Amr, tetapi hadits ini menjadi SHAHIH karena banyak SYAWAHIDNYA. <o:p></o:p></p> <p>Tirmidzi berkata : Hadits ini HASAN SHAHIH.<br />Hakim berkata : Hadits ini SHAHIH menurut syarat Muslim dan keduanya (yaitu : Bukhari, Muslim) tidak mengeluarkannya, dan Imam Dzahabi menyetujuinya. (Mustadrak Hakim : Kitabul 'Ilmi juz I hal. 128). <o:p></o:p></p> <p>Ibnu Hibban dan Asy-Syathibi dalam Al-'Itisham 2 : 189 menshahihkan hadits ini. Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani menshahihkan hadits ini dalam kitab Silsilah Hadits Shahih No. 203 dan Shahih Tirmidzi No. 2128. <o:p></o:p></p> <p dir="rtl"><b>عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ أَبِي سُفْيَانَ أَنَّهُ قَامَ فِينَا فَقَالَ أَلَا إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَامَ فِينَا فَقَالَ أَلَا إِنَّ مَنْ قَبْلَكُمْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ افْتَرَقُوا عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً وَإِنَّ هَذِهِ الْمِلَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ ثِنْتَانِ وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَهِيَ الْجَمَاعَةُ </b></p> <p>Artinya :<br />"Dari Abu Amir Abdullah bin Luhai, dari Mu'awiyah bin Abi Sufyan, bahwasanya ia (Mu'awiyah) pernah berdiri di hadapan kami, lalu ia berkata : Ketahuilah, sesungguhnya Rasulullah SAW pernah berdiri di hadapan kami, kemudian beliau bersabda : Ketahuilah sesungguhnya orang-orang sebelum kami dari ahli kitab (Yahudi dan Nashrani) terpecah menjadi 72 (tujuh puluh dua) golongan, dan sesungguhnya umat ini akan terpecah menjadi 73 (tujuh puluh tiga) golongan. Adapun yang tujuh puluh dua akan masuk neraka dan satu golongan akan masuk surga, yaitu "Al-Jama'ah". <o:p></o:p></p> <p>Keterangan :<br /> Hadits ini diriwayatkan oleh : <o:p></o:p></p> <ol type="1"><li class="MsoNormal" style=""> Abu Dawud : Kitabus Sunnah, bab Syarhus Sunnah 4 : 198 nomor 4597. Dan hadits di atas adalah lafadz Abu Dawud. <o:p></o:p> </li><li class="MsoNormal" style=""> Darimi 2 : 241 bab Fii Iftiraaqi Hadzihil Ummah. <o:p></o:p> </li><li class="MsoNormal" style=""> Imam Ahmad dalam Musnadnya 4 : 102 <o:p></o:p> </li><li class="MsoNormal" style=""> Hakim dalam kitab Al-Mustadrak 1: 128. <o:p></o:p> </li><li class="MsoNormal" style=""> Al-Aajurriy dalam kitab "Asy-Syari'ah" hal : 18 <o:p></o:p> </li><li class="MsoNormal" style=""> Ibnu Abi'Ashim dalam kitab As-Sunnah 1 : 7 nomor 1 dan 2. <o:p></o:p> </li><li class="MsoNormal" style=""> Ibnu Baththah Fil Ibanati Kubra 1 : 221, 223 nomor 245 dan 247. <o:p></o:p> </li><li class="MsoNormal" style=""> Al-Laalikai dalam kitab 'Syarhu Ushuulil i'tiqad Ahlis Sunnah wal Jama'ah 1 : 101-102 nomor 150 tahqiq Dr Ahmad Sa'ad Hamdan. <o:p></o:p> </li><li class="MsoNormal" style=""> Ashbahaani dalam kitab "Al-Hujjah Fi Bayaanil Mahajjah" fasal Fidzikril Ahwa' al Madzmumah al Qismul Awwal hal 177 nomor 107. <o:p></o:p></li></ol> <p class="MsoNormal">Semua Ahli Hadits tersebut di atas meriwayatkan dari jalan :<br /> Shafwah bin 'Amr, ia berkata : Telah memberitakan kepadaku Azhar bin Abdullah Al-Hauzani dari Abu 'Amr Abdullah bin Luhai dari Mu'awiyah. <o:p></o:p></p> <p><b>RAWI HADITS</b> <o:p></o:p></p> <ol type="1"><li class="MsoNormal" style=""> Shafwah bin 'Amir bin Haram as-Saksakiy : Ia dikatakan Tsiqah oleh Al-'Ijliy, Abu Hatim, Nasa'i, Ibnu Sa'ad, ibnul Mubarak dan lain-lain. <o:p></o:p> <ul type="circle"><li class="MsoNormal" style=""> Dzahabi berkata : Mereka para ahli hadits mengatakan ia orang Tsiqah. <o:p></o:p> </li><li class="MsoNormal" style=""> Ibnu Hajar berkata : Ia orang Tsiqah. <o:p></o:p></li></ul></li></ol> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in;"> (Lihat : Tahdzibut Tahdzib IV : 376. Al-Jarhu wat Ta'dil IV : 422. Taribut Tahdzib I : 368, Al-Kasyif II : 27). <o:p></o:p></p> <ol start="2" type="1"><li class="MsoNormal" style=""> Azhar bin Abdullah Al-Haraazi. Ia dikatakan Tsiqah oleh Al-I'jiliy dan Ibnu Hibban. Imam Dzahabi berkata : Ia seorang tabi'in dan haditsnya hasan. Ibnu Hajar berkata : Ia Shaduq (orang yang benar) dan ia dibicarakan tentang nashb.<br /> (Lihat : Mizanul I'tidal I:173. Taqribut Tahdzib I:52. Ats-Tsiqat oleh Al-'Ijily hal.59 dan ASt-Tsiqat oleh Ibnu hibban IV : 38). <o:p></o:p> </li><li class="MsoNormal" style=""> Abu 'Amir Al-Hauzani ialah Abu Amir Abdullah bin Luhai. <o:p></o:p> <ul type="circle"><li class="MsoNormal" style=""> Abu Zur'ah dan Daraquthni berkata : ia tidak apa-apa yakni boleh dipakai. <o:p></o:p> </li><li class="MsoNormal" style=""> Al'Ijily dan Ibnu Hibban mengatakan dia orang Tsiqah. <o:p></o:p> </li><li class="MsoNormal" style=""> Dzahabi dan Ibnu Hajar berkata : Ia orang Tsiqah. <o:p></o:p></li></ul></li></ol> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in;"> (Lihat : Al-Jarhu wa Ta'dil V : 145. Tahdzibut Tahdzib V : 327. Taqribut-Tahdzib 1 : 444 dan Al-kasyif II : 109). <o:p></o:p></p> <p class="MsoNormal"><b>DERAJAT HADITS</b> <o:p></o:p></p> <p>Derajat hadits ini : HASAN, karena ada rawi Azhar bin Abdullah, tetapi hadits ini menjadi SHAHIH dengan SYAWAHIDNYA. <o:p></o:p></p> <p>Hakim berkata : Sanad-sanad hadits (yang banyak) ini harus dijadikan hujjah untuk menshahihkan hadits ini. Dan Imam Dzahabi menyetujuinya. (lihat : Al-Mustadrak I : 128). <o:p></o:p></p> <p>Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata : Hadits ini Shahih Masyhur (lihat : Silsilah Hadits Shahih I : 359 oleh Syaikh Al-Albani). <o:p></o:p></p> <p>Artinya :<br />"Dari Auf bin Malik ia berkata : Telah bersabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam : Sesungguhnya umatku akan terpecah menjadi 73 (tujuh puluh tiga) golongan, satu golongan masuk surga, dan tujuh puluh dua golongan masuk neraka". Beliau ditanya : "Ya Rasulullah, Siapakah satu golongan itu ?". Beliau menjawab ; "Al-Jama'ah". <o:p></o:p></p> <p>Keterangan.<br /> Hadits ini diriwayatkan oleh : <o:p></o:p></p> <ol type="1"><li class="MsoNormal" style=""> Ibnu Majjah : Kitabul Fitan, bab Iftiraaqil Umam II:1322 nomor 3992. <o:p></o:p> </li><li class="MsoNormal" style=""> Ibnu Abi 'Ashim 1:32 nomor 63 <o:p></o:p> </li><li class="MsoNormal" style=""> Al-Laaikaaiy Syarah Ushul I'tiqaad Ahlis Sunnah Wal Jama'ah 1:101. <o:p></o:p></li></ol> <p class="MsoNormal">Semuanya meriwayatkan dari jalan 'Amr bin 'Utsman, telah menceritakan kepada kami 'Abbad bin Yusuf, telah menceritakan kepadaku Sahfwan bin 'Amr dari Rasyid bin Sa'ad dari 'Auf bin Malik. </p> <p dir="rtl"><b>حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ عُثْمَانَ بْنِ سَعِيدِ بْنِ كَثِيرِ بْنِ دِينَارٍ الْحِمْصِيُّ حَدَّثَنَا عَبَّادُ بْنُ يُوسُفَ حَدَّثَنَا صَفْوَانُ بْنُ عَمْرٍو عَنْ رَاشِدِ بْنِ سَعْدٍ عَنْ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ افْتَرَقَتِ الْيَهُودُ عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِينَ فِرْقَةً فَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ وَافْتَرَقَتِ النَّصَارَى عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً فَإِحْدَى وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَتَفْتَرِقَنَّ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً وَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَثِنْتَانِ وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ هُمْ قَالَ الْجَمَاعَةُ * </b></p> <p><b>RAWI HADITS</b> <o:p></o:p></p> <ol type="1"><li class="MsoNormal" style=""> 'Amr bin 'Utsman bin Sa'id bin Katsir Dinar Al-Himshi. Nasa'i dan Ibnu Hibban mengatakan : Ia orang Tsiqah (lihat : Tahdzibut Tahdzib VIII:66-67). <o:p></o:p> </li><li class="MsoNormal" style=""> 'Abbad bin Yusuf Al-Kindi Al-Himshi. Ibnu 'Adiy berkata : Ia meriwayatkan dari Shafwan dan lainnya hadits-hadits yang ia menyendiri dalam meriwayatkannya. Ibnu Hajar berkata : Ia maqbul (yakni bisa diterima haditsnya bila ada mutabi'nya). (Lihat Mizanul I'tidal II:380. tahdzibut Tahdzib V:96-97. Taqribut Tahdzib I:395). <o:p></o:p> </li><li class="MsoNormal" style=""> Shafwan bin 'Amr : Tsiqah (Taqribut Tahdzib I:368). <o:p></o:p> </li><li class="MsoNormal" style=""> Rasyid bin Sa'ad : Tsiqah (Tahdzib III:225. Taqribut tahdzib I:240). <o:p></o:p></li></ol> <p class="MsoNormal"><b>DERAJAT HADITS</b> <o:p></o:p></p> <p>Derajat hadits ini : HASAN karena ada 'Abbad bin Yusuf, tetapi harus mejadi SHAHIH dengan beberapa SYAWAHIDNYA. <o:p></o:p></p> <p>Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani mengatakan hadits ini SHAHIH dalam Shahih Ibnu Majah II:36 nomor 3226 cetakan Maktabul Tarbiyah Al'Arabiy Liduwalil Khalij cet: III tahun 1408H. <o:p></o:p></p> <p>Hadits tentang terpecahnya umat menjadi 73 golongan diriwayatkan juga oleh Anas bin Malik dengan mempunyai 8 (delapan) jalan (sanad) di antaranya dari jalan Qatadah diriwayatkan oleh Ibnu Majah No. 3993. Imam Bushiriy berkata : Isnadnya Shahih dan rawi-rawinya tsiqah. Hadits ini dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Ibnu Majah No. 3227. (Lihat : 7 sanad yang lain dalam Silsilah Hadits Shahih 1:360-361. <o:p></o:p></p> <p>Imam Tirmidzi meriwayatkan dalam kitabul Iman, bab Maaja' Fiftiraaqi Hadzihi Ummah No. 2779 dari shahabat Abdullah bin 'Amr bin Al-Ash dan Imam Al-Lalikaiy juga meriwayatkan dalam kitabnya Syarah Ushulil I'tiqad Ahlis Sunnah wal Jama'ah I:99 No. 147 dari shahabat dan dari jalan yang sama, dengan ada tambahan pertanyaan, yaitu : </p> <p dir="rtl"><b>قَالُوا وَمَنْ هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ<br /> </b></p> <p dir="ltr">Siapakah golongan yang selamat itu ?. Beliau SAW menjawab :</p> <p dir="rtl"><b>قَالَ مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي</b></p> <p>"Ialah golongan yang mengikuti jejak-Ku dan jejak para shahabat-Ku". <o:p></o:p></p> <p><b>RAWI HADITS</b> <o:p></o:p></p> <p>Dalam sanad hadits ini ada rawi yang lemah yaitu : Abdur Rahman bin Ziyad bin An'um Al-ifriqy. Ia dilemahkan oleh Yahya bin Ma'in, Imam Ahmad, Nasa'i dan selain mereka. Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata : Ia lemah hapalannya.(Tahdzib VI:157-160. Taqribut Tahdzib I:480). <o:p></o:p></p> <p><b>DERAJAT HADITS</b> <o:p></o:p></p> <p>Imam Tirmidzi mengatakan hadist ini HASAN, karena banyak syawahidnya. Bukan beliau menguatkan rawi ini, karena dalam bab Adzan beliau melemahkan rawi ini. (Lihat : Silsilah Al-Hadits Shahihah No. 1348 dan Shahih Tirmidzi No. 2129). <o:p></o:p></p> <p><b>KESIMPULAN</b> <o:p></o:p></p> <p>Kedudukan hadits-hadits di atas setelah diadakan penelitian oleh para Ahli Hadits, maka mereka berkesimpulan bahwa hadits-hadits tentang terpecahnya umat ini menjadi 73 (tujuh puluh tiga) golongan, 72 (tujuh puluh dua) golongan masuk neraka dan satu golongan masuk surga adalah HADITS SHAHIH yang memang datangnya dari Rasulullah SAW, dan tidak boleh seorangpun meragukan tentang keshahihan hadits-hadits tersebut, kecuali kalau dia dapat membuktikan secara ilmu hadits tentang kelemahan hadits-hadits tersebut. <o:p></o:p></p> <p><b>SEBAGIAN YANG MELEMAHKAN</b> <o:p></o:p></p> <p>Ada sebagian orang yang melemahkan hadits-hadits tersebut, karena melihat jumlah yang berbeda-beda, yakni; di suatu hadits tersebut 70, di hadits lain disebut 71, di hadits lain lagi disebutkan 72 terpecahnya dan satu masuk surga. Oleh karena itu saya akan terangkan tahqiqnya, berapa jumlah firqah yang binasa itu ? <o:p></o:p></p> <ol type="1"><li class="MsoNormal" style=""> Di hadits 'Auf bin Malik dari jalan Nu'aim bin Hammad, yang diriwayatkan oleh Bazzar I:98 No. 172 dan Hakim IV:130 disebut 70 lebih dengan tidak menentukan jumlahnya yang pasti. Tetapi sanad hadits ini LEMAH karena ada Nu'aim bin Hammad. Ibnu Hajar berkata : Ia banyak salahnya. Nasa'i berkata :Ia orang yang lemah. (Lihat : Mizanul I'tidal IV:267-270. Taqribut Tahdzib II:305 dan Silsilah Hadits Dha'ifah dan Maudhu'ah oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani). <o:p></o:p> </li><li class="MsoNormal" style=""> Di hadits Sa'ad bin Abi Waqqash dari jalan Musa bin "Ubaidah ar-Rabazi yang diriwayatkan oleh Al-Ajurriy Fisy-"Syari'ah", Bazzar fi "Kasyfil Atsar" No.284 dan Ibnu Baththah Fil "Ibanatil Kubra" No. 42,245,246, disebut 71 golongan sebagaimana Bani Israil. Tetapi sanad hadits ini LEMAH karena Musa bin 'Ubaidah adalah rawi LEMAH. (lihat : Taqribut-Tahdzib II : 286). <o:p></o:p> </li><li class="MsoNormal" style=""> Di hadits 'Amr bin Auf dari jalan Katsir bin Abdillah, dan dari Anas dari jalan Al-Walid bin Muslim yang diriwayatkan oleh Hakim I:129 dan Imam Ahmad, disebut 72 golongan. Tetapi sanad ada dua rawi di atas (Taqribut Tahdzib II:132, Mizanul I'tidal IV:347-348 dan Taqribut Tahdzib II:336). <o:p></o:p> </li><li class="MsoNormal" style=""> Di hadits Abu Hurairah, Mu'awiyah 'Auf bin Malik, Abdullah bin 'Amr bin 'Ash, Ali bin Abi Thalib dan sebagian dari jalan Anas bin Malik yang diriwayatkan oleh para Imam ahli hadits disebut 73 golongan, yaitu ; 72 golongan masuk neraka dan 1 (satu) golongan masuk surga, dan derajat hadits-hadits ini adalah shahih sebagaimana sudah dijelaskan di atas. </li></ol> <p class="MsoNormal"> </p> <p class="MsoNormal"><b>TARJIH</b> <o:p></o:p></p> <p>Hadits-hadist yang menerangkan tentang terpecahnya ummat menjadi 73 (tujuh puluh tiga) golongan adalah lebih banyak sanadnya dan lebih kuat dibanding hadits-hadits yang menyebut 70, 71 atau 72. <o:p></o:p></p> <p><b>MAKNA HADITS</b> <o:p></o:p></p> <p>Sebagian orang menolak hadits-hadits yang shahih karena mereka lebih mendahulukan akal ketimbang wahyu, padahal yang benar adalah wahyu yang berupa nash Al-Qur'an dan Sunnah yang shahih lebih tinggi dan lebih utama dibanding dengan akal manusia, karena manusia ini adalah lemah, jahil (bodoh), zhalim, sedikit ilmunya, sering berkeluh kesah, sedangkan wahyu tidak ada kebathilan di dalamnya (41:42). <o:p></o:p></p> <p>Adapun soal makna hadits masih musykil (sulit dipahami) maka janganlah cepat-cepat kita menolak hadits-hadits shahih, karena betapa banyaknya hadits-hadits shahih yang belum kita pahami makna dan maksudnya .!! <o:p></o:p></p> <p>Yang harus digarisbawahi adalah bahwa Allah dan Rasul-Nya lebih tahu daripada kita. Rasulullah SAW menerangkan bahwa umatnya akan mengalami perpecahan dan perselisihan dan akan menjadi 73 (tujuh puluh tiga) firqah,semuanya ini telah terbukti. Yang terpenting bagi kita sekarang ini ialah berusaha mengetahui tentang kelompok-kelompok yang binasa dan golongan yang selamat serta ciri-ciri mereka berdasarkan Al-Qur'an, As-Sunnah As-Shahihah dan penjelasan para shahabat dan para Ulama Salaf, agar kita menjadi golongan yang selamat dan menjauhkan diri dari kelompok-kelompok sesat yang kian hari kian berkembang. <o:p></o:p></p> <p>Wallahu 'alam. <o:p></o:p></p> <p class="MsoNormal"><o:p> </o:p></p> <p class="MsoNormal style1">------------------------------------</p> <p class="MsoNormal style1"><b>Tambahan: </b></p> <p class="MsoNormal style1"> </p> <p class="style2 style4" align="left">Dari Muawiyah bin Abu Sufyan berkata,</p> <p class="style3 style4" align="left">Ketahuilah, bahwasanya Rasulullah pernah berdiri di tengah-tengah kami, lalu bersabda, Ketahuilah, bahwasanya Ahlul Kitab sebelum kalian terpecah menjadi tujuh puluh dua golongan. Dan bahwasanya. umat ini akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan. Tujuh puluh dua di neraka, dan hanya satu yang di surga, yaitu Al Jama'ah.</p> <p class="style2" align="left"><span style="font-size:85%;">Diriwayatkan oleh Ahmad 4/102; Abu Dawud no. 4597; Darimi 2/241; Thabrani 19/367, 88-885; Hakim 1/128; dan yang lainnya. Hadits ini shahih. Juga dikeluarkan oleh Ahmad 2/332; Abu Dawud no. 4596:7 Tirmidzi no. 2642; Ibnu Majah no. 3990; Abu Ya'la no. 5910, 5978, 6117; Ibnu Hibban 14/6247 dan 15/6731; Hakim 1/6, 128, dan lainnya dari hadits Abu Hurairah, dan Hakim mempunyai beberapa riwayat lain dalam jumlah banyak dari hadits Anas bin Malik, Abdullah bin Amr bin Al Ash, dari yang selainnya.</span></p> <p class="style2" align="left"><span style="font-size:85%;">Hadits ini dishahihkan oleh Tirmidzi; Hakim; Adz Dzahabi, dan Al Jazajani dalam kitab Al Bathil 1/302; Al Baghawi dalam Syarh Sunnah 1/213; Asy Syathibi dalam Al I'tisham 2/698, Tahqiq Salim Al Hilali; Ibnu Taimiyah dalam Majmu' Fatawa 3/345; lbnu Hibban dalam Shahih-nya 4/48; lbnu Katsir dalam tafsirnya 1/390; lbnu Hajr dalam Tarikh Al Kasysyaf halaman 63; Al Iraqi dalam Al Mughni 'An Hamlil Asfar, no. 3240; Al Bushairi dalam Mishbahuz Zujajah, halamnan 4/180; Al Albani dalam Silsilah Shahihah, no. 203, dan yang lainnya.</span></p> <p class="style2" align="left"><span style="font-size:85%;">Sangat banyak. Sengaja saya sebutkan ini semua, untuk membuat ahli bid'ah yang berupaya melemahkan hadits yang agung ini, menjadi sia-sia -aku ingin menjadikan mereka bisu. </span></p> <p class="style2" align="left"><span style="font-size:85%;">Al Hakim berkata tentang hadits ini,</span></p> <p class="style2" align="left"><span style="font-size:85%;">"Hadits yang agung atau banyak, sebagaimana sebagian ulama telah menempatkannya dalam hadits-hadits yang pokok."</span></p><br /></div></div>MUSLIM KAFFAHhttp://www.blogger.com/profile/12527866730164618004noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6900756058190518083.post-81523041070966242962009-08-29T12:14:00.000-07:002009-08-29T12:17:42.273-07:00Sikap Ahlussunnah dalam tahdzir dan ghibah atas ahli bid'ah (II)<div style="text-align: center;"><span class="tiny">Penulis: Syaikh Dr. Ibrahim Bin Amir ar Ruhaili<br /><br /></span><div style="text-align: left;"><span class="content">Masalah kedua : Menggunjing ahli bid’ah atau semua bentuk tahdzir (peringatan), sejajar dengan menghujat.<br /><br />Dalam menjelaskan masalah ini ada dua poin :<br />Poin pertama : Sudah menjadi ketetapan ulama salaf, bahwa menggunjing sejajar dengan menghujat.<br />Poin kedua : Penggunaan lafadz ghibah sejajar dengan menghujat, tidak bertentangan dengan dalil haramnya ghibah.<br /><br />Adapun point pertama, bahwa para ulama menggunakan lafadz ghibah sejajar dengan menghujat ahli bid’ah sebagai berikut :<br />- Hasan al Bahsri berkata, “Tidak dianggap ghibah dalam membicarakan ahli bid’ah”. Belai menambahkan,”Tiga orang yang menggunjing tidak diharamkan diantara mereka, karena ahli bid’ah yang berlebihan dalam kebid’ahannya.” Dalam riwayat lain, “Tidak ada ghibah bagi ahli bid’ah dan orang fasik yang menampakkan kesesatan mereka.” (Syarh Ushul I’tiqad Ahli Sunnah 1/140).<br />- Hani bin Ayyub bertanya kepada Muharib bin Datsaar tentang hukum menggunjing Rafidhah ? Beliau menjawab,”Kalau begitu apakah mereka suatu kaum yang jujur ?” Husain bin Ali salah seorang perawi atsar ini berkata, ”Beliau membolehkan menggunjing ahli bid’ah.” (As Sunnah, Al Khallal 5/49).<br />- Ibrahim An Nakhai berkata,”Tidak ada ghibah (tidak disebut ghibah yang terlarang, red) bagi ahli bid’ah”. (Syarh Ushul I’tiqad Ahlu Sunnah, 1/140, Sunan Ad Darimi 1/120).<br />- Sufyan bin ‘Uyainah berkata,”Membicarakan ahli bid’ah bukan termasuk perbuatan ghibah.” (Mukhtasar Al Hujjah, Nashr Al Maqdisi hal 538).<br /><br />Beberapa atsar diatas membolehkan penggunaan lafadz ghibah sejajar dengan menghujat dan mentahdzir ahli bid’ah. Oleh karena itu, pernyataan mereka bahwa tidak ada ghibah dalam membicarakan ahli bid’ah, sebagai bentuk penyamaan menggunjing dengan menghujat dan semua itu dalam rangka mentahdzir ahli bid’ah.<br />Diantara pernyataan Ulama yang menyamakan antara ghibah dengan menghujat ahli bid’ah dan menyebutkan aib mereka adalah : Imam Bukhari, ketika memaparkan sebuah hadits tentang laki-laki yang datang ingin menemui Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam. Beliau bersabda, ”Izinkanlah, dia adalah seburuk-buruk teman bergaul.” Al Bukhari membuat bab (Boleh Menggunjing Ahli Maksiat dan Kesesatan). Sebab pencelaan Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam kepada orang tersebut bermaksud untuk mentahdzir, sehingga termasuk ghibah yang diperbolehkan.<br /><br />Abu Hamid menjelaskan tentang alasan diperbolehkan ghibah, ”Ketahuilah bahwa alasan yang membolehkan menyebutkan keburukan orang lain hanya sebatas untuk mewujudkan tujuan syar’i yang tidak mungkin tercapai kecuali dengan jalan ghibah, sehingga bisa menggugurkan dosa ghibah, yang demikian itu ada enam perkara : Dan yang keempat adalah, memperingatkan ummat Islam dari keburukan ketika ada seorang fakih (pandai, red) sering mendatangi ahli bid’ah atau fasik dan anda khawatir orang tersebut terjangkiti kefasikan atau kebid’ahan. Boleh bagi anda membongkar kebid’ahan dan kefasikan mereka, selagi tujuan utama untuk menghambat penularan kebid’ahan dan kefasikan. Dalam kitab Al Furuq karya Syihabuddin Al Qarafi terdapat bab Al Farqu Baina Qaidah Muharram dengan Qaidah Ghibah Allati la Tuharram, beliau menyebut enam perkara seperti Abu Hamid dan yang keempat,”Ahli bid’ah dan tulisan yang menyesatkan harus ditampakkan aibnya dan diekspos kesesatan mereka kepada semua orang, agar orang awam dan lemah tidak terjerat dengan kesesatan tersebut dan sebisa mungkin menjauhkan ummat dari mereka. Tapi dengan syarat, tidak dengan cara melampaui batas dan tidak mengada-ada suatu tuduhan dan kebohongan berupa kefasikan dan kekejian, tetapi hanya menyebutkan yang ada. (Al Furuq 4/205 dan 4/207-208)<br /><br />Imam An-Nawawi berkata, “Ghibah diperbolehkan dengan tujuan syar’i yang tidak mungkin dicapai kecuali dengan cara ghibah dan ada enam faktor. Faktor kelima yaitu seorang yang menampakkan secara terang-terangan kefasikan atau kebid’ahan seperti orang yang terang-terangan minum khamr, memusuhi orang, mengambil pajak, mengambil harta orang secara zhalim dan mengurusi perkara batil untuk mereka, boleh menyebutkan keburukan yang mereka lakukan secara terang-terangan dan diharamkan menyebutkan selain itu kecuali ada sebab syar’i lain. (Riyadh Ash Sholihin 529)<br /><br />Imam An-Nawawi menyebutkan enam faktor tersebut dalam Kitab Syarh Shahih Muslim, Riyadh Ash-Shalihin dan Al-Adzkar. Sedang Imam Asy-Syaukani membahasnya dalam Kitab Raf’u Ar-Ribah Amma Yajuzu Wama la Yajuzu min Al-Ghibah, dan beliau menerima sebagian dan menolak yang lainnya. (Syarh Shahih Muslim, 16/143 dan Al-Adzkar /304)<br /><br />Diantara ulama menganggap ghibah ahli bid’ah sama dengan menghujat dalam rangka mentahdzir adalah, Ibnu Shalah. Beliau berkata, ”Boleh menggunjing ahli bid’ah bahkan menyebutkan kesesatan mereka, baik di hadapan atau di belakang mereka, dengan syarat maksud utama adalah untuk menjelaskan kepada khalayak kebid’ahan mereka. Itulah yang telah dilakukan ulama salaf, baik ghibah tersebut untuk menjawab pertanyaan atau tidak”.<br /><br />Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Dua perkara dimana ghibah dibolehkan, pertama: Orang yang terang-terangan menampakkan kejahatannya seperti kezhaliman, zina dan kedua adalah kebid’ahan. Bila mereka menampakkan kemungkaran wajib dibasmi sebatas kemampuan yang ada. Barangsiapa yang bermaksiat secara sembunyi-sembunyi berarti dia menutupi harga diri dan masih mempunyai rasa malu, sehingga wajib menasihati secara sembunyi-sembunyi atau didiamkan hingga bertaubat.” (Ad-Durar As-Sunniyah 4/501-504)<br /><br />Di tempat lain beliau berkata, “Apabila seseorang menampakkan kemungkaran wajib dinasihati secara terang-terangan, dan bukan merupakan suatu ghibah, sebab orang yang melakukan kemungkaran secara terang-terangan wajib dibasmi secara terang-terangan agar berhenti darinya.” (Tanbih Ulil Abshar, 198-210)<br /><br />Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam menjelaskan hadits, “Dia seburuk-buruk teman bergaul”, beliau berkata, “Bisa diambil kesimpulan hukum bahwa bukan merupakan suatu ghibah membicarakan orang yang menampakkan kefasikan dan keburukan, maka para ulama menyatakan dibolehkan menggunjing untuk tujuan syar’i, yang tidak bisa dicapai kecuali dengan cara tersebut.”<br /><br />Diantara ulama yang menganggap ghibah terhadap ahli bid’ah sama dengan menghujat adalah Syaikh Abdullah Babathin, Syaikh Said bin Hija dalam Kitab Ad-Durar As-Sunniyah dan Shalih bin Sa’ad As-Suhaimi dalam Kitab Tanbih Ulil Abshar.<br /><br />Jadi hukum menggunjing ahli bid’ah sama dengan menghujat dan menyebarkan aib mereka menurut para ulama salaf dan ulama sunnah, semua itu boleh.<br /><br />Adapun poin kedua: Penjelasan bahwa ghibah terhadap ahli bid’ah tidak bertentangan dengan dalil yang mengharamkan ghibah. <br /><br />Jika ghibah terhadap ahli bid’ah berfungsi sebagai bentuk tahdzir, maka ghibah berhukum mubah. Namun untuk menepis anggapan bahwa pembolehan ghibah terhadap ahli bid’ah kontradiksi dengan hadits yang mengharamkan ghibah, bisa dijelaskan dengan dua alasan :<br /><br />Pertama : Ghibah terhadap ahli bid’ah dalam rangka tahdzir hanya sebatas makna bahasa bukan makna syar’i, seperti yang dimaksud dalil-dalil yang mengharamkan ghibah.<br /><br />Hal itu seperti penjelasan Ibnu Hajar tentang hadits, Sebaik-baik kampung adalah kampung Banu Najjar.” Imam Al-Bukhari memasukkan hadis ini dalam penjelasan ghibah di bawah Bab (Qoulun Nabi Khairud Dar Al-Anshar), Ibnu Hajar berkata, “Bila itu bukan termasuk ghibah. Kecuali bila kelompok yang tersisih dari keutamaan tidak terima, sehingga perlu dikecualikan. Dan hadits Nabi Shalallahu Alaihi wa Sallam, “Menyebut sesuatu yang dibenci saudaramu“, hal itu dilarang bila tidak ada tujuan syar’i. Namun bila ada tujuan syar’i maka tidak termasuk ghibah meskipun orang yang dibicarakan tidak senang. (Fath Al-Bari 10/471-472)<br /><br />Beliau menjelaskan hadits Aisyah, “Dia seburuk-buruk teman bergaul, “ yang dibuat bab oleh Al-Bukhari (bab Ma Yajuzu min Ightiyabi Ahli Ar-Raib Wa Al-Fasad) , masih diperselisihkan sebagai bentuk ghibah. Bahkan hanya sebagai bentuk nasihat agar para pendengar berhati-hati, hanya ucapan itu tidak dilontarkan di hadapan orang tersebut karena kebaikan akhlak beliau Shalallahu ‘alaihi wassalam. Jika langsung disampaikan juga baik, namun tujuan utama sudah tercapai tanpa disampaikan secara berhadapan.<br /><br />Jawab : Maksud ghibah di atas hanya menurut makna bahasa. Sebab ghibah ada dua macam, ghibah menurut arti bahasa yaitu menyebut sesuatu yang dibenci oleh orang lain, baik karena faktor syar`i atau bukan, termasuk ghibah yang mubah karena ada maksud syar`i. Dan bila tidak, maka ghibah berhukum haram sehingga ulama salaf menjadikan sikap menghujat ahli bid`ah sama halnya dengan ghibah. Atau ghibah menurut pengertian syar`i yaitu membicarakan seorang muslim dengan sesuatu yang dibenci tanpa ada alasan syar`i, dan inilah ghibah yang dihaaramkan oleh nash. (Fath Al Bari 10/471)<br /><br />Dengan demikian, ghibah dalam masalah ini tidak ubahnya seperti lafazh bid`ah. Bisa digunakan dalam arti bahasa, yang berkonotasi terpuji atau tercela, tergantung ada tidaknya landasan syar’i, seperti ucapan Umar bin Khattahab dalam masalah shalat tarawih, ”Ini adalah sebaik-baik bid’ah,” dan ucapan Imam Asy-Syafi’i bahwa bid’ah ada dua macam, bid’ah terpuji dan bid’ah tercela. Akan tetapi bila yang dimaksud bid’ah menurut istlah syar’i, maka artinya adalah mengada-ada suatu ajaran dalam agama yang tidak ada petunjuk dari syariat, maka semuanya tercela. Begitu juga ghibah, bila yang dimaksud makna bahasa, bisa mubah dan bisa diharamkan. Dan termasuk ghibah yang mubah adalah ghibah terhadap ahli bid’ah untuk tujuan tahdzir. Namun bila yang dimaksud ghibah dalam isstilah syar’i, jelas diharamkan secara mutlak.<br /><br />Kedua : Ghibah terhadap ahli bid’ah untuk mentahdzir orang, menghujat dan menjelaskan beragai mereka bila bila dilihat dari istilah syar’i yang diharamkan. Namun keharaman itu hilang karena ada maslahat yang lebih besar, yaitu menjelaskan kesesatan ahli bid’ah dan dosa tersebut gugur karena maslahat tersebut. Oleh sebab itu, ulama tetap membolehkan, dengan tetap meletakkan istilah syar’i tersebut pada tempatnya semula. Suatu contoh, agama memberi kemudahan untuk menggunakan hal-hal yang haram, seperti khamer, bangkai, darah dan daging babi dalam keadaan darurat, sehingga boleh meminum khamer sekedar pembasah tenggorokan atau makan daging bangkai untuk mancegah lapar, namun seteguk khamer atau secuil daging bangkai tidak berubah menjadi halal karena darurat tersebut.<br /><br />Begitu juga ghibah diperbolehkan untuk suatu maslahat, seperti menggunjing ahli bid’ah dalam rangka untuk tahdzir. Tidak tertutup kemungkinan istilah syar’i ghibah masih tetap ada.<br /><br />Dengan demikian syubhat di atas bisa terjawab secara tuntas. Dan sudah menjadi ketetapan ulama salaf dan ulama sunnah, bahwa menggunjing bisa berfungsi sebagai pengganti menghujat dan mencela ahli ahli bid’ah dalam rangka mentahdzir mereka, agar fitnah bid’ah tidak menjalar kepada orang lain. Bila demikian, tidak kontradiksi dengan larangan ghibah.<br /><br />Namun kita harus tetap waspada terhadap ungkapan “Tidak ada ghibah bagi ahli bid’ah atau semakna dengan itu, agar tidak dipahami secara keliru oleh sebagian orang awam. Untuk itu perlu dijelaskan makna sebenarnya agar orang yang mendengarkan tidak tidak mengira boleh berghibah, meskipun hanya karena hawa nafsu atau permusuhan tidak syar’i terhadap ahli bid’ah.Terlebih zaman sekarang ini, sangat sedikit pemahaman dalam mencerna sikap ulama salaf terhadap ahli bid’ah. Sebagian orang mengira bahwa pernyataan dan atsar ulama Salaf tersebut masih bias dan terkesan kontradiksi dengan nash-nash Al-Quran dan As-Sunnah. Bahkan diantara mereka mencela ulama Salaf dan aqidah Salafiyah, karena mendengar pernyataan sebagian penceramah baik lewat mimbar jum’at, kuliah umum atau majelis ta’lim yang menukil sebagian ungkapan ulama salaf yang dipahami secara keliru, seperti ungkapan, “Allah Ta’ala tidak menerima amalan ahli bid’ah “dan ungkapan, “Allah Ta’ala menolak menerima taubat ahli bid’ah,“ dan lainnya.<br /><br />Seharusnya seorang ahli ilmu menjelaskan secara shahih kepada manusia ungkapan seperti itu, dan mendudukkan pada makna dan maksud yang benar sesuai dengan kaidah agama. Jika dianggap ada ungkapan yang menimbulkan salah paham bagi pendengar, hendaknya mengganti dengan ungkapan yang lebih jelas dan tidak menimbulkan penafsiran lain. Sebab ulama Salaf menggunakan ungkapan singkat padat tersebut, untuk para penuntut ilmu yang mampu memahami secara baik. Sehingga tidak logis dan kurang bijak, bila pernyataan ulama salaf tersebut disampaikan kepada orang awam zaman sekarang dengan ungkapan apa adanya, tanpa penjelasan dan rincian yang gamblang tentang maksud ungkapan ulama salaf tersebut.<br /><br />Setelah kita mengetahui bolehnya menggunjing ahli bid’ah, bahkan bisa berhukum wajib bila tidak munghkin membasmi kemungkaran kecuali dengan cara itu, namun bolehnya menggunjing ahli bid’ah harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :<br />Pertama : Ikhlas dalam menggunjing semata-mata untuk membongkar kesesatan ahli bid’ah, dan untuk menasihati kaum muslimin agar menjauhi mereka, bukan untuk maslahat tidak syar’i seperti permusuhan pribadi, cemburu, hasad dan semisalnya. Maka dalam kondisi seperti itu, ghibah tidak boleh meskipun ahli bid’ah sangat rusak. Karena motivasi ghibah untuk kepentingan pribadi, bukan ikhlas kepada Allah Ta’ala dan menasihati kaum muslimin.<br /><br />Syaikul Islam Ibnu Taimiyah setelah menjelaskan hukum menggunjing ahli bid’ah Beliau berkata, “Orang yang membicarakan ahli bid‘ah hendaknya berniat ikhlas karena Allah Ta’ala, namun bila untuk popularitas atau merusak, maka hanya sekedar berjuang untuk membela diri atau riya’. Sebab bila ikhlas karena Allah Ta’ala, dia termasuk berjihad di jalan Allah Ta’ala dan penegak amanat para Nabi dan Khalifah para Rasul, serta bertentangan dengan hadits, “Ghibah adalah bila kamu menyebut saudaramu dengan sesuatu yang dibenci ” (Majmu’ Fatawa, 28/35).<br /><br />Kedua: Hendaknya ahli bid’ah yang dighibah secara terang-terangan menampakkan kebid’ahan mereka. Bila mereka melakukan bid’ah secara sembunyi-sembunyi, tidak boleh digunjing dan dicemarkan nama baiknya. Menggunjing ahli bid’ah dalam rangka membasmi kemungkaran mereka. Dan tidak mungkin hal itu diterapkan, kecuali pada ahli bid’ah yang terang-terangan menampakkan kebid’ahan.<br /><br />Imam Al- Auza’i berkata, “Pendahulu kalian sangat keras terhadap lisan meraka dalam membicarakan ahli bid’ah, sangat takut hati mereka dalam rangka menjelaskan kebid’ahan mereka. Apabila mereka melakukan bid’ah secara sembunyi-sembunyi, tidak satupun di antar ulama Salaf merobek kehormatan mereka yang telah tertutup rapi, karena Allah Ta’ala telah melindungi mereka dengan taubat. Namun jika mereka secara terang-terangan menampakkan kebid’ahan, mempropagandakan kebid’ahannya sehingga bid’ah semakin merajalela, maka menebar ilmu sebagai sumber kehidupan dan menyampaikan pesan Rasul sebagai bentuk rahmat agar menjadi pegangan bagi orang yang terus berbuat jahat dan ilhad (menyimpang, red) di hari kelak” (Al-Bida’, Ibnu Wadhdhah, hal. 45).<br /><br />Ketiga: hendaknya ahli bid’ah yang dibicarakan masih hidup, dan bila telah meninggal dunia tidak boleh digunjing dan tidak boleh diungkit-ungkit perbuatan bid’ah yang telah dilakukan. Juga dilarang mencelanya setelah meninggal dunia sebab Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda (yang artinya), “Janganlah kamu menghujat orang yang sudah meninggal dunia, karena dia sudah menerima balasan atas yang diperbuat “(HR. Al-Bukhari).<br /><br />Poin ketiga dikarenakan, hikmah diperbolehkan ghibah sudah tidak ada setelah orangnya meninggal dunia. Karena kekhawatirann penularan bid’ah sudah tidak ada lagi, kecuali bila ahli bid’ah tersebut meninggalkan karya berupa tulisan yang membela kebid’ahan atau kesesatan dan para pengikutnya sanagt fanatik menyebarkan kebid’ahan sepeninggalnya. Bila demikian, boleh membicarakan atau menggunjing ahli bid’ah tersebut dalam rangka menjauhkan manusia dari pengaruh kesesatan kitab dan pemikirannya karena faktor yang membolehkan ghibah masih ada, yaitu adanya kekhawatiran buku dan para pengikutnya mempengaruhi orang lain.<br /><br />Imam Al-Qarafi berkata, ”Jika ahli bid’ah mati tidak meninggalkan pengikut yang mengkultuskan, atau karya tulis yang membahayakan, atau tidak ada faktor yang bisa merusak orang lain, sebaiknya setelah mati harus tetap dilindungi kehormatannya, dijaga aibnya serta urusannya diserahkan kepada Allah Ta’ala” (Al-Furuq, vol. 4, hal. 208).<br /><br />Keempat Bersikap adil dan obyektif ketika menilai dan membicarakan ihwal ahli bid’ah. Tidak menyebutkan kecuali perilaku yang hakiki dan tidak menghujat kecuali keburukan yang nyata-nyata dikhawatirkan akan menular kepada orang lain. Sebab Allah Ta’ala berfirman,<br />يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُونُواْ قَوَّامِينَ لِلّهِ شُهَدَاء بِالْقِسْطِ وَلاَ يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلاَّ تَعْدِلُواْ اعْدِلُواْ هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُواْ اللّهَ إِنَّ اللّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ<br />artinya : “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang akamu kerjakan. ” (Al-Maidah : 8)<br /><br />Jika melempar tuduhan yang tidak berdasar dan membuat suatu kebohongan keji, maka bukan termasuk ghibah yang mubah, bahkan termasuk tuduhan palsu yang haram dan sebagaimana sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, “Jika dia tidak sesuai dengan apa yang kamu bicarakan, maka kamu telah membuat suatu tuduhan.” (HR. Muslim)<br /><br />Membuat tuduhan bohong dilarang oleh Allah Ta’ala, Rasul-Nya dan para ulama salaf, karena termasuk tindak kezhaliman yang diharamkan oleh Allah Ta’ala. Sementara membicarakan ahli bid’ah dalam rangka mencari ridha Allah Ta’ala. Dan ridha Allah Ta’ala tidak bisa didapat dengan murka Allah Ta’ala, kebohongan, dhalim dan kepalsuan. Hendaknya pembicaraan sekadar untuk tahdzir, dan membuat orang lain jauh dari kebid’ahan dan kesesatan mereka, tidak lebih dari itu.<br /><br />(Dinukil dari Kitab Mauqif Ahlussunnah wal Jama’ah min Ahlil Ahwa’ wal Bida’, Maktabah Al Ghura’a Al Atsriyah 1415 H, Penulis Syaikh Dr. Ibrahim Bin Amir ar Ruhaili, doktoral jurusan Aqidah dari Jami’ah Islamiyyah Madinah yang lulus dengan predikat Summa Cum Laude, edisi Indonesia Manhaj Ahli Sunnah Menghadapi Ahli Bid’ah, Bab Sikap Ahli Sunah Tentang Menggunjing Ahli Bid'ah Agar Umat Selamat Dari Pengaruh Mereka)</span></div></div>MUSLIM KAFFAHhttp://www.blogger.com/profile/12527866730164618004noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6900756058190518083.post-22314561852221020162009-08-29T12:13:00.000-07:002009-08-29T12:14:39.094-07:00Syaikh Said Abu Saad al-Buryati yang Menjadi "Pengantin" di NazranBeberapa hari lalu diberitakan sebuah operasi besar Istisyahadah di wilayah Nazran, operasi tersebut dilaksanakan tanggal 17 Agustus 2009. Ternyata yang menjadi "martir" pada operasi tersebut adalah salah satu ulama yang menjadi rujukan mujahidin, terutama para mujahidin Checnya.<br /><br />Syaikh Said Abu Saad al-Buryati (alias Said Buryatskiy) akhirnya syahid insya Allah. Ia yang membawakan operasi syahid di Nazran, ibukota propinsi Ghalghaycho (Ingushetia). Dalam operasi tersebut beliau menabrakkan mobilnya yang berisi penuh bom ke sebuah markas polisi di kota Nazran tersebut. Puluhan polisi kafir tewas dan banyak lainnya terluka.<br /><br /><img src="http://www.muslimdaily.net/berita/buryati_operasi1.jpg" alt="" align="left" width="265" height="210" />Operasi ini dilakukan dalam wilayah konflik (perang), jadi tidak ada perdebatan lagi mengenai boleh tidaknya operasi seperti itu. Dan beliau adalah orang yang berilmu tinggi dalam masalah Din. Banyak khotbah-khotbah beliau dalam bentuk video yang tersebar luas di internet, kebanyakan menggunakan bahasa Rusia. Beliau juga kerap memimpin langsung operasi-operasi mujahidin di hutan-hutan dan gunung di Rusia, beberapa pekan lalu bahkan video mengenai beliau dan sekelompok kecil mujahidin Rusia saat sedang berburu helikopter-helikopter Rusia yang sedang terbang diatas hutan dan gunung di Rusia masih beredar luas di dunia Internet.<br /><br />Semoga dengan syahidnya beliau segera ada penggantinya dan jihad di bumi Checnya terus berlanjut hingga Imarah Islam Kaukasus benar-benar tegak dan pasukan penjajah Rusia <img src="http://www.muslimdaily.net/berita/buryati_operasi2.jpg" alt="" align="left" width="265" height="233" />hengkang dari wilayah Imarah Kaukasus.<br /><br />Berikut adalah link video khotbah terakhir beliau sekaligus video mengenai operasi Istyshad beliauMUSLIM KAFFAHhttp://www.blogger.com/profile/12527866730164618004noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6900756058190518083.post-32048706743254568452009-08-29T12:11:00.000-07:002009-08-29T12:12:57.379-07:00Sikap Ahlussunnah dalam tahdzir dan ghibah atas ahli bid'ah (I)<div style="text-align: center;"><span class="tiny">Penulis: Syaikh Dr. Ibrahim Bin Amir ar Ruhaili<br /><br /></span><div style="text-align: justify;"><span class="content">Banyak ditemukan dalam beberapa karya para ulama dan pernyataan mereka baik dahulu baik sekarang ungkapan yang berbunyi, tidak ada ghibah buat ahli bid’ah. Namun setelah dirinci, maksudnya adalah landasan dalam menghujat ahli bid’ah dan menyebarkan keburukan ahli bid’ah, agar umat tidak terpengaruhi keburukannya.<br /><br />Dalam mendudukan sikap ahli sunnah terhadap ahli bid’ah, hendaknya berangkat dari dalil-dalil yang shahih dan pernyatan ulama salaf, juga sikap itu bisa dibenarkan oleh kaidah dasar syariat. Apalagi sikap di atas termasuk lanjutan dari sikap kebencian terhadap ahli bid’ah yang tampak secara lahiriyah<br /><br />Masalah ini akan di bahas dalam dua bahasan di bawah ini:<br />Masalah pertama : Maksud dari ungkapan di atas adalah penjelasan tentang hukum menghujat ahli bid’ah dan menyebarkan keburukan ahli bid’ah, agar umat tidak terpengaruhi keburukannya. Setelah merujuk kepada Al-Qur’an dan As-sunnah serta pernyataan para ulama, ditemukan keputusan secara jelas bahwa, ”Bahwa boleh menghujat dan menyebutkan keburukan ahli bid’ah dengan tujuan untuk menasihati umat, agar mereka tidak terpengaruhi mereka“. Dalil-dalil yang mendukung ketetapan itu banyak sekali, namun saya batasi menjadi dua bagian :<br />Pertama : Dalil secara umum tentang kewajiban amar ma’ruf nahi mungkar, seperti dalam firman Allah Ta’ala,<br />وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ<br />artinya : Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; mereka adalah orang-orang yang beruntung. (Al Quran Surat Ali Imran 104).<br />Ibnu Katsir Rahimahullah menafsirkan, ”Allah Ta’ala menghendaki agar dari segolongan umat ada yang peduli masalah amar ma’ruf dan nahi mungkar. Meskipun demikian, setiap umat tetap memiliki tanggung jawab masalah tersebut, sesuai kadar kemampuan masing-masing, berdasarkan hadist dari Abu Hurairah bahwa Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda: “Barangsiapa yang melihat kemungkaran, hendaklah mengubah dengan tangannya (Tafsir Ibnu Katsir 1/290).<br /><br />Allah Ta’ala juga mengabarkan, bahwa baik tidaknya umat tergantung pada penegakan amar ma’ruf nahi mungkar sebagaimana firman Allah Ta’ala berikut :<br />كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَلَوْ آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَّهُم مِّنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ<br />artinya : Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. <br />(Al Quran Surat Ali Imran 110). Menurut Mujahid, ”Umat Islam akan tetap bisa menyabet predikat umat terbaik asal memenuhi syarat di atas.”<br /><br />Sedangkan menurut Imam Asy-Syaukani, “Ayat di atas berstatus hal yang berarti predikat umat terbaik sangat terkait dengan kemauan dalam beramar ma’ruf dan nahi mungkar. “(Tafsir Fath Al Qadir, Asy Syaukani 1/371).<br /><br />Abu Said Al-Khudri Radiyallahu ‘anhu meriwayatkan, saya mendengar Rasalullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda: ”Barangsiapa yang melihat kemungkaran hendaklah mengubah dengan tangannya, bila tidak mampu maka dengan lisannya, dan bila tidak mampu, maka dengan hatinya. Demikian itu selemah-lemah iman.”(HR Muslim).<br /><br />Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam menyuruh beramar ma’ruf dan nahi mungkar dengan tiga tingkatan sesuai kadar kemampuan masing-masing.<br /><br />Dari Abdullah bin Mas’ud Radiyallahu ‘anhu, nabi bersabda : “Tiada seorang nabi yang diutus Allah kepada umatnya sebelumku, melainkan ada diantara umatnya yang menjadi hawari (pembela baginya) dan sahabat yang mengambil sunnahnya, mengikuti perintahnya. Kemudian datang setelah mereka generasi yang mengucapkan sesuatu yang tidak mereka kerjakan dan mengerjakan sesuatu yang tidak diperintahkan. Maka siapa yang memerangi mereka dengan tangannya, ia seorang mukmin, siapa yang memerangi mereka dengan lisannya, ia seorang mukmin dan barang siapa memerangi mereka dengan hatinya, ia seorang mukmin. Dan selain itu tidak memiliki keimanan sebiji sawipun. (HR Muslim).<br /><br />Ijma’ juga menyatakan wajibnya amar ma’ruf dan nahi mungkar, seperti yang dikatakan Imam an Nawawi, “Antara Al Quran, As Sunnah dan Ijma telah selaras dalam membuat pernyataan wajibnya amar ma’ruf dan anhi munkar. Sebab hal itu, bagian dari nasihat dalam agama dan tidak ada yang menyangkal manhaj tersebut, kecuali sebagian Rafidhah. (Syarh Shahih Muslim, 1/22)<br /><br />Jika kewajiban amar ma’ruf dan nahi mungkar telah menjadi ketetapan baku, sementara bagian dari amar ma’ruf nahi mungkar adalah mengajak orang kembali kepada As-Sunnah, memperingatkan mereka dari bahaya bid’ah, membongkar keburukan ahli bid’ah menghujat mereka karena penyelewengan dari manhaj yang benar dan mengikuti hawa nafsu sehingga terjerumus dalam kerusakan, kebid’ahan, kesesatan dan penyelewengan dalam agama, agar semua manusia tahu dan menjauhi mereka.<br /><br />Syaikhul Islam menjelaskan bahwa tahdzir merupakan bagian amar ma’ruf dan nahi mungkar terhadap ahli bid’ah. Ia berkata, “Orang yang mengajak kepada bid’ah, berhak mendapat sanksi berdasarkan kesepakatan kaum muslimin. Sanksi tersebut bisa berupa hukuman mati seperti hukuman mati yang telah diterapkan pada Jahm bin Shafwan, Ja’d bin Dirham, Ghailan Al-Qadari dan yang lainnya. Andaikata (pelakunya, red) tidak mungkin dijatuhi sanksi, namun kebid’ahan harus tetap dijelaskan kepada umat. Sebab hal itu, bagian dari dari amar ma’ruf dan nahi mungkar yang diperintahkan oleh Allah Ta’ala dan Rasul-Nya (Majmu’ Fatawa, 35/414).<br /><br />Dengan demikian, mengungkap kebid’ahan dan menyebarkan bahaya ahli bid’ah kepada semua orang, merupakan bagian amar ma’ruf dan nahi mungkar berdasarkan ketetapan dalil yang shahih.<br /><br />Kedua : Dalil secara khusus yang menganjurkan untuk membongkar dan memjelaskan bahaya ahli bid’ah kepada semua umat, antara lain:<br />Allah Ta’ala Subhanahu wa Ta’ala berfirman :<br />لاَّ يُحِبُّ اللّهُ الْجَهْرَ بِالسُّوَءِ مِنَ الْقَوْلِ إِلاَّ مَن ظُلِمَ وَكَانَ اللّهُ سَمِيعًا عَلِيمًا<br />(yang artinya) : “Allah tidak menyukai ucapan buruk, (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya. Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.“ (An Nisa’:148)<br /><br />Ibnu Katsir meriwayatkan penafsiran Mujahid, “Ada salah seseorang bertamu lalu tidak mendapat hak tamu secara layak. Setelah keluar dari rumah orang tersebut, dia berkata kepada orang-orang, ‘Saya bertamu ke rumah si Fulan, tapi bsaya tidak mendapat hak tamu secara layak.’Beliau berkata, “Ini adalah ucapan buruk yang disampaikan dengan terus terang kecuali oleh orang yang teraniaya hingga yang lain memberikan hak tamu kepadanya (Tafsir Ibnu Katsir, vol.1, hal. 571)”. Bahkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyatakan secara tegas, bahwa peristiwa itu menjadi sebab turunnya ayat di atas (Majmu’ Fatawa, vol. 28, hal 230). Apabila terus terang mengucapkan ucapan buruk untuk membela diri diperbolehkan, maka untuk membela agama Allah Ta’ala dari perusak dan pengacau agama, lebih utama dan sangat dianjurkan, agar mereka tidak menebar fitnah bid’ah di kalangan umat.<br /><br />Dalil dari Sunnah antara lain hadits dari Aisyah Radhiyallahu ‘Anha, “Ada orang yang meminta izin untuk menemui Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam dan beliau bersabda, “Izinkanlah dia, sungguh dia adalah seburuk–buruk saudara atau teman bergaul. Ketika orang tersebut masuk, beliau bertutur kata manis. Lalu saya bertanya, ‘Wahai Rasulullah, engkau telah mengatakan ucapan seperti itu, kemudian tiba-tiba engkau bertutur kata manis di depannya, ‘Beliau menjawab, ‘Hai Aisyah, sejelek-jelek orang adalah orang yang dijauhi karena takut kejahatannya (HR. AL-Bukhari dalam kitab Al-Adab dan Muslim dalam kitab Al-Birr).<br /><br />Imam An-Nawawi menukil pendapat Al-Qadhi, “Orang yang dimaksud adalah Uyainah bin Hishn bin Hudzaifah Al-Fazari atau Abu Malik. Ketika itu, ia belum masuk Islam, walaupun telah menampakkan keislaman. Nabi ingin menjelaskan perangainya agar semua orang mengerti dan tidak terkecoh, juga sebagai bukti perangai buruk pada masa Nabi masih hidup. Setelah beliau wafat, dia murtad bersama kelompok orang-orang murtad, yang kemudian diserahkan kepada Abu Bakar, sehingga pernyataan beliau di atas sebagai tanda kenabian. Adapun Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersikap bersikap lemah lembut dan bertutur kata manis, dalam rangka membujuk hatinya agar tertarik dengan Islam. Hadits di atas menjadi dalil diperbolehkan basi-basi untuk menghindar dari kejahatannya dan menggunjing orang fasik yang menampakkan kefasikannya (Syarh Shahih Muslim, vol.16 hal. 144).<br /><br />Aisyah berkata bahwa Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda, “Saya tidak menyangka kalau dua orang itu mengerti sedikit pun tentang agama itu ?” Laits salah seorang perawi hadits berkata, “Dua orang tersebut termasuk orang munafik” (HR. Al-Bukhari).<br /><br />Sikap Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam tersebut sebagai bentuk tahdzir. Dan hukum itu bisa berlaku kepada siapa saja yang semisal dengan orang tersebut.<br /><br />Menurut Ibnu Hajar, prasangka seperti itu bukan suatu yang dilarang, karena dalam rangka memberi tahdzir kepada kedua orang tersebut dan yang semisal dengan mereka (Fath Al-Bari, vol. 10, hal. 486).<br /><br />Begitu juga kisah Fatimah bin Qais ketika Muawiyah bin Abu Sufyan dan Abu Jahm melamarnya, ia minta saran pada Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam, dengan siapa harus menikah? Rasululllah Shalallahu ‘alaihi wassalam menjawab, “Adapun Abu Jahm tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya dan Muawiyah bin Abu Sufyan miskin tidak punya harta” (HR. Muslim, kitab Ath-Thalaq).<br /><br />Jika diperbolehkan mengungkap aib dua sahabat untuk maslahat dunia, maka membongkar aib ahli bid’ah lebih utama karena berkaitan dengan kepentingan agama umat secara umum.<br /><br />Syaikhul Islam berkomentar tentang makna hadits di atas, “Demikian bagian dari nasihat buat wanita tersebut, meskipun harus menyebutkan aib pelamarnya. Hal ini bagian dari nasihat seseorang kepada temannya, wakilnya dan orang yang menerima wasiat. Bila untuk kepentingan pribadi saja boleh, maka untuk kepentingan umat secara umum lebih utama. Apabila bagi pemimpin, hakim, saksi dan pekerja, jelas lebih lebih utama untuk diperbolehkan (Majmu’ Fatawa, vol. 28, hal. 230).<br /><br />Menurut hemat saya, lebih utama lagi ketika berkaitan dengan kepentingan keagamaan umat seperti memperingatkan bahaya ahli bid’ah, bahkan lebih utama darui semua perkara di atas.<br /><br />Membuka aib ahli bid’ah dikuatkan ulama salaf, al-Lalika’i meriwayatkan dari Ashim Al Ahwal, “Saya duduk di sampung Qatadah. Dalam obrolan dia menyebut-nyebut Amr bin Ubaid dalam majlisnya maka saya berkata, “Wahai Abu Khaththab, saya tidak ingin melihat ulama satu sama lain saling berselisih.“ Ia berkata, “Wahai Ahwal, bukanlah kamu tidak tahu bila seseorang membuat suatu bid’ah harus disebut-sebut agar diketahui orang” (Syarh Ushul I’tiqad Ahli Sunnah, vol.2, hal.738).<br /><br />Dalam kitab As-Sunnah karya Al-Khalaal, Zaidah mengisahkan, aku berkata kepada Manshur,”Wahai Abu Ithab ketika diantara kita berpuasa, boleh tidak mencela orang-orang yang mencela Abu Bakar dan Umar?” Beliau berkata, “Jelaskan pemikirannya kepada semua orang dan mintalah sehat wal afiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (lihat As Sunnah, Al- Khallal, vol.1, hal.495, Al-Ibanah Ash-Shughra, hal. 163 dan Talbis Al- Iblis, hal.17).<br /><br />Dalam surat Asad bin Musa yang ditujukan kepada Asad bin Furaat berbunyi,”Wahai saudaraku, yang menjadi pendorong aku menulis surat kepadamu tidak lain hanyalah karena banyaknya orang yang memujimu tentang ketegasanmu dan sikap obyektifmu dalam menghidupkan sunnah, dan menampakan aib ahli bid’ah. Engkau seringkali menyebut-nyebut dan menghujat mereka, semoga Allah Ta’ala menghancurkan mereka lantaran kamu,dan menguatkan pengikut kebenaran. Semoga Allah Ta’ala memberi kekuatan kepadamu dalam memerangi dan menghujat ahli bid’ah. Dan semoga Allah Ta’ala menghinakan mereka, sehingga tidak melakukan bid’ah kecuali dengan sembunyi-sembunyi. Bergembiralah wahai saudaraku dengan balasan baik, dan semoga masuk dalam amal kebaikan paling utama dari shalat, puasa, haji dan jihad manakah yang lebih baik daripada menegakkan Kitabullah dan Sunnah Rasul .(Lihat Al-Bida’ wa An-Nahyu Anha, Ibnu Wadhdhah,hal 6)<br /><br />Imam Al-Qahthani dalam Nuniyah menghujat Asy’ari :<br /><br />”Aku akan potong-potong kehormatan kalian, selagi nyawaku masih di kandung badan.<br /><br />Aku akan menyerang hizbi kalian dengan syairku, hingga badanku di bungkus kain kafan.<br /><br />Aku akan robek penutup aibmu, hingga sampai titik darah penghabisan.<br /><br />Aku akan menulis kepada penduduk negri ini yang berisi hujatan kepada kalian, hingga kalian berjalan terseok-seok laksana onta keletihan.<br /><br />Aku akan bongkar seluruh syubhat kalian dengan hujjah –hujjahku, hingga kebodohan kalian tertutupi dengan pengetahuanku “<br />(lihat Nuniyah Al-Qathani, hal. 52).<br /><br />Demikian itu pernyataan salaf yang terkenal taat beragam, bertaqwa zuhud dan wara. Mereka secara terang-terangan membolehkan menghujat dan menyebarkan aib ahli bid’ah. Bahkan termasuk kewajiban yang berpahala besar. Begitu juga para ulama’ setelah mereka, mengeluarkan pernyataan yang sama.<br /><br />Imam al Qarafi berkata, “Aib ahli bid’ah dan kesesatan buku-buku mereka harus dijelaskan kepada semua orang, agar orang-orang yang lemah iman dan ilmu tidak terjerat oleh kesesatan mereka. Tetapi harus dipisahkan kejujuran obyektif dan tidak gampang melempar tuduhan fasik dan kekejian tanpa bukti. Oleh karena itu, kita tidak boleh menuduh ahli bid’ah berzina atau minum khamer tanpa bukti yang nyata. (Al Faruq 4/207-208).<br /><br />Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkomentar tentang bolehnya menyebutkan keburukan ahli bid’ah, beliau berkata, ”Seperti tokoh-tokoh ahli bid’ah yang mempunyai pemikiran yang bertentangan dengan Al Quran dan As Sunnah atau ibadah yang bertentangan dengan Al Quran dan As Sunnah, memperingatkan umat dari bahaya mereka berhukum wajib menurut kesepakatan kaum muslimin, hingga pernah Imam Ahmad ditanya : “Manakah orang yang lebih engkau cintai orang yang berpuasa, sholat dan i’tikaf ataukah orang yang berbicara tentang keburukan ahli bid’ah ?” Beliau menjawab, “Jika seorang sholat dan i’tikaf hanya untuk dirinya sendiri, tetapi orang yang berbicara keburukan ahli bid’ah ?” Beliau menjawab, ”Jika seorang sholat dan i’tikaf hanya untuk dirinya sendiri, tetapi orang yang berbicara keburukan ahli bid’ah untuk seluruh kaum muslimin dan ini yang lebih utama. Berari berbicara keburukan ahli bid’ah lebih utama dan bagian dari jihad fardlu kifayah menurut kesepakatan kaum muslimin. Kalau tidak ada orang melakukan hal itu, maka agama lambat laun akan rusak. Bahkan lebih berbahaya dari penjajah, karena penjajah hanya merusak fasilitas fisik, sementara ahli bid’ah merusak hati lebih dahulu. (Majmu’ Fatawa 28/231-232).<br /><br />Beliau menambahkan, ”Bila ahli bid’ah memiliki keyakinan atau cara ibadah yang bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah, serta dikhawatirkan mereka menyesatkan orang. Maka boleh dijelaskan kesesatan mereka dan semua itu dilakukan penuh dengan keikhlasan dan mencari ridha Allah Ta’ala, bukan karena unsur permusuhan pribadi yang berkaitan dengan dunia seperti dengki, hasad atau berebut popularitas. Atau berbicara tentang keburukan mereka seakan-akan ikhlas, ternyata di dalam hati tersimpan kebencian pribadi, jelas ini adalah perbuatan setan. (Majmu’ Fatawa 28/221)<br /><br />Imam Ibnul Qoyyim dalam Zaad Al Ma’ad menyebutkan beberapa faidah perang Tabuk antara lain : Seorang muslim boleh menilai buruk kepada ahli bid’ah, bila dalam rangka membela Allah Ta’ala dan RasulNya. Seperti ahli hadits menilai buruk kepada para perawi hadits yang lemah atau ahli sunnah menilai buruk kepada ahli bid’ah, namun bukan untuk sekedar melampiaskan kepuasan pribadi. (Zaad Al Ma’ad 3/18).<br /><br />Imam Asy-Syatibi menjelaskan masalah hukum membicarakan keburukan ahli bid’ah - Boleh menyebut-nyebut keburkan ahli bid’ah dan menjelaskan kebid’ahan mereka agar semua orang terhindar fitnah ucapan bid’ah dan bahayanya, sebagaimana yang dilakukan ulama salaf. (Al I’tisham 1/176).<br /><br />Beliau menambahkan, ”Tidak boleh membicarakan ahli bid’ah secara khusus kecuali dalam dua keadaan, dan saya cukup menyebutkan kedua saja yaitu : Jika firqah tersebut mengajak kepada kesesatan dan membuat orang awam dan orang yang tidak berilmu menjadi tergiur dan terpedaya dengan kebid’ahan mereka. Bahaya mereka terhadap umat seperti bahayanya iblis, mereka termasuk setan dari kalangan manusia. Oleh karena itu, harus disampaikan secara tegas, bahwa mereka ahli bid’ah, penebar kesesatan. Dan boleh menisbatkan mereka kepada ahli bid’ah, penebar kesesatan. Dan boleh menisbatkan mereka kepada firqah bid’ah, asal didukung bukti kuat. Sebagaimana kisah ‘Ashim Ahwal dengan Qatadah di atas. Mereka perlu secara khusus menjelaskan bahaya mereka kepada masyarakat luas, mengingat bahaya mendiamkan mereka (tidak mencelanya, red) lebih besar, daripada membicarakan mereka. Kendatipun dikhawatirkan menciptakan permusuhan dan perpecahan. (Al I’tisham 2/228-229).<br /><br />Dengan dalil-dalil dan pernyataan ulama salaf di atas, menjadi jelas bolehnya menghujat dan menjelaskan perangai ahli bid’ah secara khusus, agar semua orang selamat dari fitnah mereka. Bahkan suatu kewajiban yang paling wajib dan termasuk bagian dari jihad di jalan Allah yang lebih utama dari berjihad melawan musuh dengan pedang dan tombak. Ini ditinjau dari beberapa sisi :<br />Pertama : Sebagaimana penuturan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah bahwa bahaya bid’ah langsung meracuni dan merusak hati umat Islam, sementara bahaya musuh perang hanya merusak perkampungan kaum muslimin. Maka berjihad melawan ahli bid’ah, lebih utama daripada berjihad melawan musuh dengan pedang dan tombak, meskipun keduanya tetap harus menjadi kewajiban setiap umat sepanjang zaman.<br /><br />Kedua : Umat memahami akan bahaya perang fisik, sehingga mereka secara serentak bergerak bersama untuk melawan musuh. Berbeda dengan ahli bid’ah, tidak semua orang bisa memahami bahaya dan kerusakan yang ditimbulkan. Oleh karena itu, jihad melawan ahli bid’ah lebih utama daripada jihad melawan musuh fisik, mengingat sedikit sekali yang mau berjihad melawan ahli bid’ah. Bahkan sebagian umat secara sadar atau tidak, ikut serta membantu ahli bid’ah dalam menebar kesesatan. Orang yang berjihad dalam keadaan seperti ini bagaikan memerangi musuh, (seperti keadaan) setelah pasukan banyak melarikan diri dari medan perang. Manakah pahala orang yang berperang bersama tentara yang kuat dengan tentara yang ditinggalkan lari oleh pasukan ?<br /><br />Ketiga : Berjihad melawan musuh fisik banyak orang yang siap, berbeda dengan jihad melawan ahli bid’ah, tidak mungkin dilakukan kecuali oleh para ulama yang istiqamah di atas As Sunnah. Lebih dari itu harus ada keberanian, hujjah yang kuat serta penguasaan manhaj dan pernyataan ulama’ salaf seputar masalah bid’ah, agar mampu merontokkan syubhat ahli bid’ah. Bagi pembaca buku sejarah bisa mengetahui kisah “Fitnah Al Qur’an Makhluk” pada zaman pemerintahan Abbasiyah di masa khalifah Makmun. Bagaimana kegigihan dan ketegaran ulama Sunnah dalam menghadapi cobaan dan penyiksaan dahsyat, bahkan tidak ada yang mampu menghadapi cobaan itu melainkan Imam Ahmad, Imam Ahli Sunnah wal jama’ah dan sekelompok kecil dari ulama. Mereka secara tegas menyatakan bahwa Al Quran Kalamullah bukan makhluk, membantah propaganda dengan dalil dan alasan-alasan yang lugas di bawah tekanan penyiksaan dan kebengisan pemimpin, serta ancaman cambuk dan pembunuhan.<br /><br />Tidak banyak yang mampu menghadapi cobaan sebesar itu. Bahkan tidak sedikit yang terpaksa menyatakan Al Quran adalah makhluk. Ketika Imam Ahmad menghadapi siksaan cambuk, Bisyr bin Harits ditanya,”Wajib bagi kamu untuk berbicara.” Ia menjawab, ”Kalian ingin aku meraih kedudukan para Nabi ? Itu tidak saya miliki, semoga Allah Ta’ala menjaga Ahmad bin Hambal dari arah depan dan belakangnya.” Hal senada diungkapkan Yahya bin Main, ”Manusia menginginkan aku seperti Imam Ahmad. Demi Allah Ta’ala aku tidak bisa seperti Imam Ahmad, dan tidak bisa menempuh jalan Ahmad.” (Syarh Ushul I’tiqad Ahli Sunnah 1/140).<br /><br />Dengan demikian memerangi ahli bid’ah dengan hujjah dan dalil kebenaran lebih mulia daripada perang fisik, karena sangat sedikit orang yang sanggup.<br /><br />Oleh karena itu, wajib bagi orang yang mampu untuk berjihad melawan ahli bid’ah terutama ulama, agar semua orang memahami kesesatan mereka.<br /><br />Bersambung ke Sikap Ahlussunnah dalam tahdzir dan ghibah atas ahli bid'ah (II)<br /><br />(Dinukil dari Kitab Mauqif Ahlussunnah wal Jama’ah min Ahlil Ahwa’ wal Bida’, Maktabah Al Ghura’a Al Atsriyah 1415 H, Penulis Syaikh Dr. Ibrahim Bin Amir ar Ruhaili, doktoral jurusan Aqidah dari Jami’ah Islamiyyah Madinah yang lulus dengan predikat Summa Cum Laude, edisi Indonesia Manhaj Ahli Sunnah Menghadapi Ahli Bid’ah, Bab Sikap Ahli Sunnah Tentang Menggunjing Ahli Bid'ah Agar Umat Selamat Dari Pengaruh Mereka)</span></div></div>MUSLIM KAFFAHhttp://www.blogger.com/profile/12527866730164618004noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6900756058190518083.post-20467170378907468462009-08-29T12:07:00.000-07:002009-08-29T12:10:42.567-07:00Perbedaan Antara Memberi Nasehat Dengan Menjelekkan Orang Lain<span class="widget widget_text">إن الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره، ونعوذ بالله من شرور أنفسنا، ومن سيئآت أعمالنا، من يهده الله فلا مضل له، ومن يضلل فلا هادي له، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له وأشهد أن محمداً عبده ورسوله، صلى الله عليه وعلى آله وصحبه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين.<br /><br /></span><p><span class="snap_preview"><strong>Perbedaan Antara Memberi Nasehat Dengan Menjelekkan Orang Lain</strong><br /> Oleh Ustadz Fariq bin Gasim Anuz</span></p> <p><span class="snap_preview">Tak ada gading yang tak retak, tak ada manusia yang sempurna, selalu ada kelemahan dan kekurangannya. Setiap manusia mesti mempunyai kesalahan dan sebaik-baik mereka adalah yang bertaubat kepada Allah, menyadari akan kesalahannya, lalu menyesal dan bertekad untuk tidak mengulanginya lagi.</span></p> <p><span class="snap_preview">Oleh karena itu nasehat menasehati menuju kebenaran harus digalakkan, bagi yang dinasehati seharusnya ia berterima kasih kepada orang yang telah menunjukkan kekurangan dan kesalahannya, hanya saja hal ini jarang terjadi, pada umumnya manusia tidak suka disalahkan apalagi kalau teguran itu disampaikan kepadanya dengan cara yang tidak baik.<br /> <br />Maka seorang pemberi nasehat haruslah mengetahui metode yang baik agar nasehatnya dapat diterima oleh orang lain. Diantara metode nasehat yang baik adalah memberi nasehat kepada orang lain secara rahasia tanpa diketahui oleh orang lain. Dalam kesempatan ini akan kami nukilkan penjelasan para ulama tentang adab yang satu ini.</span></p> <p><span class="snap_preview">Nasehat para ulama tentang menasehati secara rahasia</span></p> <p><span class="snap_preview">Imam Ibnu Hibban (wafat tahun 534 H) berkata yang artinya, “Nasehat itu merupakan kewajiban manusia semuanya, sebagaimana telah kami sebutkan sebelum ini, tetapi dalam teknik penyampaiannya haruslah dengan cara rahasia, tidak boleh tidak, karena barangsiapa yang menasehati saudaranya dihadapan orang lain maka berarti dia telah mencelanya, dan barangsiapa yang menasehatinya secara rahasia maka dia telah memperbaikinya. Sesungguhnya menyampaikan dengan penuh perhatian kepada saudaranya sesama muslim adalah kritik yang membangun, lebih besar kemungkinannya untuk diterima dibandingkan menyampaikan dengan maksud mencelanya.”</span></p> <p><span class="snap_preview">Kemudian Imam Ibnu Hibban menyebutkan dengan sanadnya sampai kepada Sufyan, ia berkata yang artinya, “Saya berkata kepada Mis’ar, ‘Apakah engkau suka apabila ada orang lain memberitahumu tentang kekurangan-kekuranganmu?’ Maka ia berkata, ‘Apabila yang datang adalah orang yang memberitahukan kekurangan-kekuranganku dengan cara menjelek-jelekkanku maka saya tidak senang, tapi apabila yang datang kepadaku adalah seorang pemberi nasehat maka saya senang’.”</span></p> <p><span class="snap_preview">Kemudian Imam Ibnu Hibban berkata bahwa Muhammad bin Said al Qazzaz telah memberitahukan kepada kami, Muhammad bin Mansur telah menceritakan kepada kami, Ali ibnul Madini telah menceritakan kepadaku, dari Sufyan ia berkata yang artinya, “Talhah datang menemui Abdul Jabbar bin Wail, dan di situ banyak terdapat orang, maka ia berbicara dengan Abdul Jabbar menyampaikan sesuatu dengan rahasia, kemudian setelah itu beliau pergi. Maka Abdul Jabbar bin Wail berkata, ‘Apakah kalian tahu apa yang ia katakan tadi kepadaku?’ Ia berkata, ‘Saya melihatmu ketika engkau sendang shalat kemarin sempat melirik ke arah lain’.”</span></p> <p><span class="snap_preview">Imam Ibnu Hibban berkata yang artinya, “Nasehat apabila dilaksanakan seperti apa yang telah kami sebutkan akan melanggengkan kasih sayang, dan menyebabkan terealisasinya ukhuwah.”</span></p> <p><span class="snap_preview">Imam Ibnu Hazm (wafat tahun 456H) berkata yang artinya, “Maka wajib atas seseorang untuk selalu memberi nasehat, baik yang diberi nasehat itu suka ataupun benci, tersinggung atau tidak tersinggung. Apabila engkau memberi nasehat maka nasehatilah secara rahasia, jangan dihadapan orang lain, dan cukup dengan memberi isyarat tanpa terus terang secara langsung, kecuali apabila orang yang dinasehati tidak memahami isyaratmu maka harus secara terus terang. Janganlah engkau menasehati orang lain dengan syarat nasehatmu harus diterima. Apabila engkau melampaui adab-adab tadi maka engkau yang dzalim bukan pemberi nasehat, dan gila ketaatan serta gila kekuasaan bukan pemberi amanat dan pelaksana hak ukuwah. Ini (-yakni memberi nasehat dengan syarat harus diterima-) bukanlah termasuk hukum akal dan hukum persahabatan melainkan hukum rimba, bagaikan seorang penguasa dengan rakyatnya dan tuan dengan hamba sahayanya.”</span></p> <p><span class="snap_preview">Imam Ibnu Rajab (wafat tahun 795H) berkata yang artinya, “Al Fudhail (wafat tahun 187H) berkata, ‘Seorang mukmin menutup (aib saudaranya) dan menasehatinya sedangkan seorang fajir (pelaku maksiat) membocorkan (aib saudaranya) dan memburuk-burukkannya’.”</span></p> <p><span class="snap_preview">Apa yang disebutkan oleh al Fudhail ini merupakan ciri antara nasehat dan memburuk-burukkan, yaitu bahwa nasehat itu dengan cara rahasia sedangkan menjelek-jelekkan itu ditandai dengan penyiaran. Sebagaimana dikatakan, ‘Barangsiapa mengingatkan saudaranya ditengah-tengah orang banyak maka ia telah menjelek-jelekkannya.</span></p> <p><span class="snap_preview">Dan orang-orang salaf membenci amar ma’ruf nahi mungkar secara terang-terangan, mereka suka kalau dilakukan secara rahasia antara yang menasehati dengan yang dinasehati, ini merupakan ciri nasehat yang murni dan ikhlash, karena si penasehat tidak mempunyai tujuan untuk menyebarkan aib-aib orang yang dinasehatinya, ia hanya mempunyai tujuan menghilangkan kesalahan yang dilakukannya.</span></p> <p><span class="snap_preview">Sedangkan menyebarluaskan dan menampakkan aib-aib orang lain maka hal tersebut yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Allah Ta’ala berfirman yang artinya:<br />“Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang keji itu tersiar dikalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka adzab yang pedih di dunia dan akhirat. Dan Alleh mengetahui sedangkan kalian tidak mengetahui” (An Nur : 19).</span></p> <p><span class="snap_preview">Dan hadits-hadits yang menjelaskan tentang keutamaan menutup aib seorang muslim tidak terhitung banyaknya.</span></p> <p><span class="snap_preview">Imam Syafi’i (wafat tahun 204H) berkata dalam syairnya yang artinya:</span></p> <p><em>Hendaklah engkau sengaja mendatangiku untuk memberi nasehat ketika aku sendirian<br /> Hindarilah memberi nasehat kepadaku ditengah khalayak ramai<br />Karena sesungguhnya memberi nasehat dihadapan banyak orang sama saja dengan memburuk-burukkan, saya tidak suka mendengarnya</em></p> <p>Jika engkau menyalahi saya dan tidak mengikuti ucapanku maka janganlah engkau kaget apabila nasehatmu tidak ditaati. Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin berkata yang artinya, <em>“Perlu diketahui bahwa nasehat itu adalah pembicaraan yang dilakukan secara rahasia antaramu dengannya, karena apabila engkau menasehatinya secara rahasia dengan empat mata maka sangat membekas pada dirinya, dan dia tahu bahwa engkau pemberi nasehat, tetapi apabila engkau bicarakan dia dihadapan orang banyak maka besar kemungkinan bangkit kesombongannya yang menyebabkan ia berbuat dosa dengan tidak menerima nasehat, dan mungkin pula ia menyangka bahwa engkau hanya ingin balas dendam dan mendeskreditkannya serta untuk menjatuhkan kedudukannya di mata manusia, sehingga ia tidak menerima isi nasehat tersebut, tetapi apabila dilakukan secara rahasia antara kamu dan dia berdua maka nasehatmu itu amat berarti bagi dia, dan dia akan menerimanya darimu."</em></p> <p><span class="snap_preview"><strong>Kapan dibolehkan memberi nasehat dihadapan orang lain?</strong></span></p> <p><span class="snap_preview">Walaupun demikian ada beberapa perkecualian yang membolehkan atau mengharuskan seseorang untuk menasehati orang lain di depan banyak orang.</span></p> <p><span class="snap_preview">Salah seorang Imam Masjid di kota Khobar Saudi Arabia dalam salah satu khutbah Jum’ahnya mengatakan, <em>“Umat Islam, mereka itu memiliki kehormatan dan harga diri, oleh karena itu haruslah kita menjaga hak-hak dan kehormatan mereka, haruslah kita memelihara perasaan mereka, tetapi kadang-kadang sesuatu nasehat yang akan engkau sampaikan kepada orang lain apabila engkau tunda, maka akan terlambat, maka harus sekarang juga engkau menasehatinya sebelum terlambat. Contohnya sebagaimana terdapat dalam Shahih Muslim. Dari Jabir bahwasanya ia berkata, ‘Sulaik al Ghathafani datang (ke masjid) hari Jum’ah dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sedang duduk di atas mimbar, maka Sulaik langsung duduk tanpa shalat terlebih dahulu, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepadanya, ‘Apakah engaku telah melaksanakan sholat dua rakaat?’ Ia berkata, ‘Belum’ Maka beliau shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kepadanya, ‘Bangunlah dan shalatlah dua rakaat’.'”</em></span></p> <p><span class="snap_preview">Ini bukannya sedang memburuk-burukkan atau menyiarkan kesalahan orang tersebut, karena saat itu adalah waktu yang tepat untuk menasehatinya, apabila dibiarkan maka akan terlewatkan, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan setiap muslim yang masuk ke dalam masjid agar shalat dua rakaat terlebih dahulu sebelum ia duduk, perintah tersebut mengharuskan untuk dilaksanakan padaa saat itu juga tidak bisa ditunda sampai selesai shalat Jum’ah.</span></p> <p><span class="snap_preview">Akan tetapi apabila memungkinkan bagimu untuk menunda nasehat sampai selesainya majelis lalu engkau menasiehati sesreorang dihadapan orang lain di majelis tersebut maka hal ini tidak benar.</span></p> <p><span class="snap_preview"><strong>Penutup</strong></span></p> <p><span class="snap_preview">Sebagai penutup marilah kita simak ucapan Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin dalam salah satu ceramahnya yang artinya, <em>“Sangat disayangkan sekali ketika saya mendengar tentang orang-orang yang termasuk memiliki kesungguhan dalam mencari dan menerima kebenaran, akan tetapi mereka berpecah belah, masing-masing di antara mereka memiliki nama dan sifat tertentu. Fenomena seperti ini sesungguhnya tidak benar, dan sesungguhnya dien Allah itu satu dan ummat Islam adalah ummat yang satu, Allah berfirman yang artinya:<br />Sesunggunya (agama tauhid) ini adalah agama kalian semua, agama yang satu dan Aku adalah Rab kalian maka bertakwalah kepada-Ku (Al Mu-minun: 52)</em></span></p> <p><em><span class="snap_preview">Dan Allah Ta’ala berfirman kepada nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam yang artinya:<br />“Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah (terserah) kepada Allah, kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat” (Al An’am : 159)</span></em></p> <p><em><span class="snap_preview">Dan Allah Ta’ala berfirman yang artinya,<br />“Dia telah mensyaratkan bagi kalian tentang dien yang telah diwasiatkan kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa, yaitu tegakkanlah dien dan janganlah kalian berpecah belah tentangnya” (Asy Syra: 13).</span></em></p> <p><em><span class="snap_preview">Apabila hal ini merupakan bimbingan Allah kepada kita maka seharusnya kita praktekkan bimbingan ini, kita berkumpul untuk mengadakan suatu pembahasan, saling berdiskusi dalam rangka ishlah (perbaikan) bukan untuk mendeskreditkan atau membalas dendam, karena sesungguhnya siapa saja yang membantah orang lain atau adu argumentasi dengan maksud mempertahankan pendapatnya atau untuk menghinakan pendapat orang lain dan bermaksud untuk mencela bukan untuk ishlah maka hasilnya tidak di ridhai oleh Allah dan rasul-Nya, pada umumnya demikian.</span></em></p> <p><em><span class="snap_preview">Kewajiban kita adalah untuk menjadi umat yang satu, saya tidak mengatakan bahwa setiap manusia tidak memiliki kesalahan, bahkan manusia itu memiliki kesalahan disamping memiliki kebenaran. Hanya saja pembicaraan kita sekarang ini mengenai cara memperbaiki kesalahan, maka bukan cara yang benar untuk memperbaiki kesalahan apabila saya menyebutkannya dibelakang orang tersebut sambil menjelek-jelekkannya, akan tetapi cara yang benar untuk memperbaikinya adalah berkumpul dengannya dan mendiskusikannnya, apabila terbukti setelah itu bahwa orang tersebut tetap mempertahankan kebatilannya maka saat itu saya memiliki alasan bahkan wajib atas saya untuk menjelaskan kesalahannya, dan memperingatkan manusia dari kesalahan orang tersebut, dengan demikian urusan-urusan menjadi baik.</span></em></p> <p><span class="snap_preview"><em>Sedangkan perpecahan dan bergolong-golongan maka sesungguhnya yang demikian tidak disukai oleh siapapun, kecuali oleh musuh-musuh Islam dan musuh kaum muslimin.”</em></span></p> <span class="snap_preview">Dinukil dari Tulisan Ustadz Fariq bin Gasim Anuz</span>MUSLIM KAFFAHhttp://www.blogger.com/profile/12527866730164618004noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6900756058190518083.post-47152326210487302002009-08-29T12:06:00.000-07:002009-08-29T12:07:07.987-07:00Perbedaan Antara Nasehat Dan GhibahPERBEDAAN ANTARA NASEHAT DAN GHIBAH<br /><br /><br />Oleh<br />Al-Ustadz Fariq Bin Gasim Anuz<br /><br /><br /><br />Telah banyak buku-buku yang menjelaskan tentang ghibah dan keharamannya dilengkapi dengan dalil-dalil dari Al-Qur'an dan As-Sunah yang shahih, maka sekarang penyusun hanya akan menukilkan apa-apa yang diperbolehkan dari ghibah, khususnya point yang keempat, yaitu dalam rangka memberi nasehat, dan penjelasan ulama mengenai perbedaan antara nasehat dan ghibah.<br /><br />Imam Nawawi rahimahullah berkata.<br />"Ketahuilah bahwasanya ghibah diperbolehkan untuk tujuan yang benar dan syar'i, di mana tidak mungkin sampai kepada tujuan tersebut, kecuali dengan cara berghibah, yang demikian itu disebabkan enam perkara :<br /><br />Yang keempat, dalam rangka memberi peringatan kepada kaum muslimin dari keburukan dan dalam rangka memberi nasehat kepada mereka, dan yang demikian itu dalam kondisi-kondisi berikut ini.<br /><br />Di antaranya, dalam rangka menjarh (meyebutkan cacat) para majruhin (orang-orang yang disebutkan cacatnya) dari para rawi hadits dan saksi, dan yang demikian itu diperbolehkan berdasarkan ijma' kaum muslimin, bahkan bisa menjadi wajib hukumnya.<br /><br />Dan di antaranya pula dalam rangka musyawarah yang berhubungan dengan ikatan tali perkawinan dengan seseorang, atau dalam hal kerjasama, atau dalam hal titipan kepada seseorang, atau bergaul, atau dalam hal bertetangga dengannya, atau dalam hal lainnya, dan wajib atas orang yang diajak untuk bermusyawarah untuk terus terang menyebutkan keadaan orang tersebut dan tidak boleh ia menyembunyikannya, bahkan ia harus menyebutkan kekurangan yang ada padanya dengan niat untuk memberi nasehat.<br /><br />Dan di antaranya, apabila ia melihat seorang penuntut ilmu mondar-mandir mendatangi majelis ahli bid'ah, atau seorang yang fasik, dan menimba ilmu darinya, maka dia takut kalau-kalau si penuntut ilmu tersebut terpengaruh dan berakibat negatif kepadanya, maka ia harus menasehatinya dengan menjelaskan keadaan ahli bid'ah atau orang fasik tersebut, dengan syarat semata-mata maksudnya adalah nasehat, dan ini termasuk dari apa-apa yang disalahgunakan padanya. Karena terkadang yang mendorong si pembicara tadi untuk berbicara adalah faktor hasad, dan ini adalah perangkap iblis kepada orang tersebut, dikhayalkan kepadanya bahwa yang ia sampaikan adalah nasehat, hendaklah hal ini diperhatikan dengan baik.<br /><br />Dan di antaranya, apabila seorang yang memiliki kedudukan dalam pemerintahan, sedang ia tidak menjalankan tugas sebagaimana mestinya, bisa disebabkan karena memang ia tidak pantas menduduki jabatan tersebut, atau karena ia itu adalah orang yang fasik atau ia orang yang lalai, dan yang semacamnya, maka wajib untuk memberitahukan hal ini kepada atasan orang tadi agar atasan tersebut memecatnya dan menggantikannya dengan orang yang pantas, atau atasan yang mengetahui ketidakberesan bawahannya ia dapat membuat kebijaksanaan yang adil sesuai dengan kondisi bawahannya, serta ia berusaha untuk memberi motivasi kepadanya agar tetap istiqamah, selalu berjalan di atas relnya atau kalau memang tidak bisa, ia menggantikannya dengan orang lain."[1]<br /><br />Setelah beliau menyebutkan enam point dari hal-hal yang diperbolehkan untuk berbuat ghibah, lalu beliau mengemukakan dalil-dalilnya yang masyhur dari hadits-hadits yang shahih, di antaranya adalah:<br /><br />Dari Aisyah radhiyallahu 'anha, bahwa seseorang meminta izin untuk masuk menemui Nabi shalallahu 'alaihi wasallam, maka beliau berkata, "Izinkanlah dia untuk masuk, ia sejahat-jahat orang di tengah kaumnya." [Muttafaq 'Alaih] [2]<br /><br />Dan dari Fathimah binti Qais radhiyallahu 'anha, ia berkata: Saya mendatangi Nabi shalallahu 'alaihi wasallam, maka aku berkata, "Sesungguhnya Abul Jahm dan Mu'awiyah, keduanya telah meminangku?" Maka Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam menjawab, "Adapun Mu'awiyah dia seorang faqir tidak memiliki harta, sedangkan Abul Jahm, tongkatnya tidak pernah lepas dari bahunya."<br /><br />Dan dalam riwayat Muslim (lainnya), "Sedangkan Abul Jahm sering memukul wanita."<br /><br />Kalimat tersebut merupakan penjelasan dari riwayat "Ia tidak melepaskan tongkat dari bahunya." Dan dikatakan bahwa maknanya: sering mengadakan bepergian (safar)." [3]<br /><br />Syaikh Salim Al-Hilali menyatakan dalam kitabnya Bahjatun Naazhirin Syarah Riyadhus Shalihin.<br /><br />"Hadits ini dikeluarkan oleh Muslim (1480).<br /><br />Perhatian: Hadits ini tidak dikeluarkan oleh Al-Bukhari, sebagaimana telah ditulis dan diingatkan oleh para huffazh."[4]<br /><br />Syaikh Salim Al-Hilali menyebutkan juga dalam kitab yang sama:<br />"Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah telah mengulas ucapan Imam Nawawi tentang enam point dari hal-hal yang diperbolehkan untuk berghibah, pent) dalam suatu risalah yang beliau beri nama Raf'ur Raibah 'ammaa yajuzu wa maa laa yajuzu minal ghibah, dan sekarang ini saya menyebutkan apa-apa yang nampak olehku sisi kebenaran dalamnya.<br /><br />Asy Syaukani berkata.<br />"Dan saya berkata dengan memohon pertolongan Allah dan bertawakal kepadanya sebelum berbicara mengenai bentuk-bentuk yang ada ini. Ketahuilah, bahwa kami telah mengemukakan bahwa pengharaman ghibah terdapat dengan jelas dalam Al-Qur'an, As-Sunnah dan Ijma', dan konteks yang terdapat dalam Al Qur'an dan As-Sunnah secara umum dan menyeluruh mempunyai konsekuensi pengharaman ghibah dari setiap individu dari pribadi-pribadi kaum muslimin kepada setiap individu dari mereka pula, maka tidak boleh ada pendapat yang menghalalkan ghibah dalam tempat tertentu bagi pribadi atau masyarakat, kecuali dengan membawa dalil yang mengkhususkan keumuman pengharaman ini, apabila dalil tersebut telah tegak atas yang demikian maka itulah yang diharapkan, dan apabila tidak didapati dalil maka itu berarti berdusta atas nama Allah, dan termasuk menghalalkan apa-apa yang<br />Allah haramkan tanpa keterangan dari Allah" [5]<br /><br />Saya (Syaikh Salim) berkata pula:<br />"Apa yang disebutkan oleh Asy-Syaukani merupakan kriteria yang penting di mana ia memberikan rambu-rambu yang agung, di antaranya<br /><br />[a]. Bahwa kebolehan dari berbuat ghibah merupakan perkecualian disebabkan keadaan tertentu, apabila sebab tersebut telah hilang maka hukum tadi kembali kepada asalnya, yaitu pengharaman ghibah.<br /><br />[b]. Bahwa kebolehan ini sebagai suatu keterpaksaan, sehingga harus dibatasi sesuai dengan batasannya, maka tidak boleh dengan seenaknya secara leluasa dalam hal perkecualian ini, tetapi bagi yang terpaksa dalam rangka memberikan nasehat, maka hendaklah ia bertaqwa kepada Allah Rabbnya dan janganlah sekali-kali ia menjadi orang yang melampaui batas..<br /><br />Dan apa yang disebutkan oleh An-Nawawi merupakan praktek dari kaidah "mengutamakan maslahat yang jelas adanya atas mafsadah yang belum tentu muncul", dan ini merupakan kaidah yang besar dari maksud-maksud syari'at."[6]<br /><br />Syaikh Salim Al-Hilali mengatakan pula:<br />"Saya berkata: Apabila nasehat itu dilontarkan secara global sudah mencapai sasaran dan terang maksudnya maka cukup dengan global dan hal itu merupakan suatu kenikmatan, tetapi kalau tidak cukup dengan global maka tidak ada jalan lain bagi dia kecuali harus dengan menyebutkan orangnya, tetapi harus ada batasannya tidak boleh seenaknya dengan leluasa sehingga keluar batas dalam berbicara karena berlebih-lebihan dalam berbicara itu merupakan batu sandungan yang membuat ia terjatuh."[7]<br /><br />FAEDAH<br />Syaikh Husein Al-Awaisyah dalam sebuah bukunya menuliskan sebuah bab yang artinya, "Perkara-perkara yang disangka bukan ghibah, tetapi sebenarnya termasuk ghibah", di antaranya beliau menyebutkan dalam point yang kedelapan,<br /><br />"Dan barangkali Allah memberi keutamaan kepada seseorang dalam hal amar ma'ruf nahi munkar, di mana tidak sembarang orang dapat menasehati orang lain lebih-lebih kalau orang yang dinasehati tersebut sulit untuk menerima nasehat, kemudian orang tersebut menerima nasehatnya dengan jujur dan ikhlas, dan nampak dari dia keinginan yang kuat untuk bertaubat, akan tetapi si penasehat tersebut nampaknya lemah dalam menghadapi syetan, tiba-tiba ia menceritakan aib orang tersebut di hadapan manusia, "Si fulan melakukan ini dan itu, si fulan berbuat demikian, kemudian saya menasehatinya."<br /><br />Faktor apalagi kalau bukan mengikuti hawa nafsu dan cinta berbuat ghibah yang mendorong orang tersebut menyampaikan cerita tadi di hadapan manusia?!<br /><br />Bukankah tujuan amar ma'ruf nahi munkar agar yang ma'ruf tersebar diantara manusia, dan yang mungkar menjadi mati tak berkutik ?! Kalau begitu mengapa disertai dengan pembicaraan dan komentar, padahal tujuan telah tercapai?! Ataukah sudah berbalik, sehingga orang yang mengajak kepada yang ma'ruf telah diperintah oleh syetan, dan orang yang melarang kemungkaran, ia sendiri terjerumus kedalam kemungkaran."[8]<br /><br />Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah berkata:<br />"Dan perbedaan antara nasehat dan ghibah adalah bahwa nasehat itu bermaksud dalam rangka memberi peringatan kepada seorang muslim dari bahayanya ahli bid'ah, penyebar fitnah, penipu, atau perusak..."<br /><br />Sampai beliau berkata:<br />"Maka apabila menceritakan kejelekan orang lain dalam rangka nasehat yang diwajibkan oleh Allah dan RasulNya kepada hamba-hambanya kaum muslimin maka hal yang demikian adalah taqarub kepada Allah, termasuk amal kebaikan , tetapi apabila menceritakan kejelekan orang lain bermaksud mencela saudaramu dan menodai kehormatan dan memakan dagingnya agar engkau menyia-nyiakan kedudukan dia di hati-hati manusia maka maksiat tersebut merupakan penyakit yang kronis dan api yang melalap kebaikan sebagaimana api yang membakar kayu bakar."[9]<br /><br />Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:<br />"Menyebutkan kejelekan manusia dengan apa-apa yang tidak disukai oleh mereka pada asalnya ada dua macam.<br /><br />Pertama : Menyebutkan perbuatannya.<br />Kedua : Menyebutkan orangnya yang tertentu, baik ia masih hidup ataupun telah meninggal dunia.<br /><br />Yang pertama, setiap macam perbuatan yang dicela oleh Allah dan RasulNya, maka seorang muslim wajib mencelanya pula, dan hal yang demikian bukanlah termasuk perbuatan ghibah, sebagaimana setiap macam perbuatan yang dipuji oleh Allah dan RasulNya, maka wajib ia memujinya pula ..." [10]<br /><br />Sampai beliau berkata:<br />"Apabila tujuannya adalah mengajak kepada kebaikan dan menganjurkannya, serta melarang keburukan dan memperingatkan darinya, maka harus menyebutkan keburukan perbuatan tersebut. Oleh karena itu, Nabi shalallahu 'alaihi wasallam. Apabila mendengar seseorang melakukan pelanggaran, beliau shalallahu 'alaihi wasallam bersabda.<br /><br />"Mengapakah orang-orang memberikan syarat-syarat yang tidak ada pada kitab Allah ? Barangsiapa memberikan syarat yang tidak ada pada kitab Allah, maka dia itu batil, meskipun seratus syarat."[11]<br /><br />"Mengapakah orang-orang meninggalkan hal-hal yang aku perbolehkan? Demi Allah, sesungguhnya aku orang yang paling bertaqwa kepada Allah dan yang paling tahu akan batasan-batasannya di antara kalian." [12]<br /><br />"Mengapakah orang-orang ada satu di antaranya mengatakan, "Adapun saya akan selalu berpuasa tidak akan berbuka," dan ada lainnya mengatakan, "Adapun saya akan selalu bangun malam tidak akan tidur," dan orang lainnya berkata, "Saya tidak akan menikahi wanita," dan yang lainnya mengatakan, "Saya tidak akan makan daging." Tetapi saya sendiri berpuasa dan berbuka, bangun malam dan tidur, menikahi wanita, makan daging, maka barangsiapa yang benci terhadap sunnahku, maka bukanlah ia termasuk golonganku."[13]<br /><br />Sampai beliau berkata:<br />"(Yang kedua), sedangkan menyebutkan keburukan orang lain, sekaligus menyebutkan orangnya dapat dilakukan dalam beberapa kejadian tertentu.<br /><br />Di antaranya orang yang dizalimi, maka ia berhak menyebutkan orang yang menzaliminya, baik dalam rangka menolak kezalimannya ataupun untuk mendapatkan haknya, sebagaimana Hindun berkata, "Wahai Rasulullah! Sesungguhnya Abu Sufyan seorang yang pelit, ia tidak memberikan kecukupan nafkah kepadaku dan anakku, (kecuali saya mengambil harta darinya tanpa sepengetahuan dia, maka baru mencukupi kami)," maka beliau menjawab, "Ambillah apa-apa yang mencukupimu dan anakmu secukupnya."[14] [Muttafaq alaih]<br /><br />Sampai beliau berkata:<br />"Dan di antaranya dalam rangka memberi nasehat kepada kaum Muslimin dalam urusan dien dan dunia mereka sebagaimana dalam Hadits yang shahih dari Fatimah binti Qais ketika dia bermusyawarah dengan Nabi shalallahu 'alaihi wasallam tentang siapa yang akan dinikahinya ia berkata, "Abu Jahm dan Muawiyah telah meminang saya." Maka beliau memberikan nasehat, "Adapun Muawiyah dia orang yang faqir tidak memiliki harta, sedangkan Abu Jahm ia seorang yang suka memukuli wanita" dan diriwayatkan "ia tidak pernah meletakkan tongkat dari bahunya", maka beliau menjelaskan kepadanya bahwa yang satu fakir, mungkin tidak mampu memenuhi hakmu, dan yang satu lagi menyakitimu dengan pukulan. Dan yang seperti ini adalah nasehat kepadanya - meskipun mencakup penyebutan aib si peminang -.<br /><br />Dan termasuk juga di dalamnya, nasehat kepada seseorang mengenai orang yang akan diajak kerjasama, yang akan ia beri wasiat kepadanya, dan yang akan menjadi saksi bagi dia, bahkan orang yang akan menjadi penengah urusan dia, dan yang semisalnya.<br /><br />[Disalin dari buku Fikih Nasehat, Penyusun Fariq Bin Gasim Anuz, Cetakan Pertama, Sya'ban 1420H/November 1999. Penerbit Pustaka Azzam Jakarta. PO BOX 7819 CC JKTM]<br />__________<br />Foote Note<br />[1]. Riyadhus Shalihin, hal. 525-526<br />[2]. Ibid, no. 1539<br />[3]. Ibid, no. 1541<br />[4]. Bahjatun Naazhirin, Juz 3, hal.51<br />[5]. Ibid, Juz 3, hal. 35-36<br />[6]. Ibid, Juz 3, hal.35-36<br />[7]. Ibid, Juz 3, hal.46<br />[8] "Al-Ghibah wa Atsaruha As-Sayyi fil Mujtama'Al-Islami" hal.58<br />[9]. Ar-Ruuh, hal 357-358<br />[10]. Majmu'Fatawa juz 28 hal.225<br />[11]. Pentakhrij Majmu'atul Fatawa berkata, "H.R. Bukhari dalam Al-Mukatab (2563) dari Aisyah."<br />[12]. Pentakhrij Majmu'atul Fatawa berkata, "H.R. Bukhari dalam kitab Al-I'tisham (7301) dari Aisyah dengan lafadz yang mendekati."<br />[13]. Pentakhrij Majmu'atul Fatawa berkata, "H.R. Bukhari dalam kitab An-Nikah (5062) dan H.R.Muslim dalam kitab An-Nikah (1401/5)."<br />[14]. Majmu Fatawa, juz 28, hal 229<br /><br /><br />Apabila hal ini berkenaan dengan maslahat khusus, maka bagaimana dengan nasehat yang berhubungan dengan hak-hak kaum muslimin pada umumnya, berupa para penguasa, para saksi, para karyawan, pegawai dan selain dari mereka ? maka tidak ragu lagi bahwa nasehat dalam hal tersebut lebih agung lagi, sebagaimana Nabi shalallahu 'alaihi wasallam bersabda :<br /><br />"Dien itu nasehat, dien itu nasehat." Mereka berkata, "Kepada siapa wahai Rasulullah?" Beliau bersabda, "Kepada Allah, kepada Kitab- Nya, kepada Rasul-Nya, dan kepada para penguasa kaum muslimin serta kepada kaum muslimin pada umumnya."[15]<br /><br />Dan mereka berkata kepada Umar Ibnu Khaththab mengenai ahli syura, "Jadikanlah si fulan dan si fulan sebagai amir," lalu Umar menyebutkan kekurangan mereka berenam satu persatu, padahal mereka seutama-utama umat, beliau menjadikan kekurangan yang ada pada mereka sebagai penghalang bagi dia untuk memilih mereka.<br /><br />Apabila demikian, maka nasehat yang berkenaan dengan maslahat-maslahat dien, baik khusus maupun umum hukumnya wajib, seperti perawi hadits yang salah atau yang berdusta sebagaimana Yahya bin Said berkata, "Saya bertanya kepada Malik dan Ats-Tsaury dan Al-Laits bin Sa'ad, saya kira dia, dan Al-Auzai mengenai seseorang yang tertuduh dalam hadits atau tidak hafal. Mereka semuanya berkata, 'Jelaskan keadaannya'." Dan sebagian orang berkata kepada Imam Ahmad bin Hambal, "Sesungguhnya berat bagi saya untuk mengatakan si fulan begini dan si fulan begitu." Maka beliau berkata, "Apabila engkau diam dan saya diam, maka kapan orang yang jahil mengetahui dan dapat membedakan yang shahih dan bercacat?!"<br /><br />Begitu pula misalnya, dalam rangka menjelaskan para imam ahli bid'ah, baik tokoh mereka dalam hal aqidah ataupun tokoh mereka dalam hal ibadah yang bertentangan dengan Al-Qur'an dan As Sunnah, maka penjelasan keadaan mereka dan peringatan umat dari bahaya mereka hukumnya wajib berdasarkan kesepakatan kaum muslimin sampai-sampai dikatakan kepada Ahmad bin Hambal, "Mana yang lebih engkau cintai, seseorang yang puasa dan shalat serta ber'itikaf ataukah orang yang membantah ahli bid'ah?" Maka beliau menjawab, "Apabila dia shalat, puasa dan i'tikaf maka hanya untuk dirinya sendiri, dan apabila ia membantah ahli bid,ah maka hal itu untuk kepentingan kaum muslimin dan ini yang lebih utama." Maka ia menjelaskan bahwa manfaat hal ini untuk kepentingan kaum muslimin pada umumnya dalam dien mereka. Maka membantah ahli bid'ah termasuk jihad di jalan Allah, di mana memurnikan dien Allah, jalan, manhaj, dan syari'atNya serta menolak kejahatan dan permusuhan mereka merupakan wajib kifayah berdasarkan kesepakatan kaum muslimin, kalau tidak ada orang yang Allah tampilkan untuk menolak bahaya mereka tentu dien ini akan rusak, dan rusaknya itu lebih parah dari sekedar musuh yang menjajah kaum muslimin, karena apabila mereka menguasai, mereka hanya menguasai fisik pada mulanya dan belum menguasai hati dan dien meskipun nantinya mereka pun berusaha menjajahnya pula, sedangkan ahli bid'ah mereka sejak awal sudah merusak hati-hati manusia.<br /><br />Dan Nabi shalallahu 'alaihi wasallam telah bersabda.<br /><br />"Sesunggguhnya Allah tidak melihat kepada bentuk rupa kalian dan harta kalian tetapi Ia melihat kepada hati-hati kalian dan amal-amal kalian"[16]<br /><br />Dan Allah berfirman dalam kitabNya.<br /><br />"Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-Rasul Kami dengan membawa<br />bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuataan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia, (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)-Nya dan Rasul-RasulNya padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa." [Al-Hadid : 25]<br /><br />Maka Allah memberitahukan bahwa Dia telah menurunkan Al-Kitab dan neraca (keadilan) agar manusia melaksanakan keadilan, dan Dia telah menurunkan besi, sebagaimana disebutkan dalam ayat di atas. Maka tonggak bagi dien itu adalah Al-Kitab yang memberi petunjuk dan pedang yang memberi pertolongan.<br /><br />"Dan cukuplah Rabbmu menjadi Pemberi petunjuk dan Penolong." [Al-Furqan: 31]<br /><br />Dan Al-Kitab dialah sebagai pokok, oleh karena itu pertama kali Allah mengutus RasulNya, Ia menurunkan kepada beliau Al-Kitab, selama beliau tinggal di Makkah, Allah belum memerintahkan beliau mengangkat pedang sampai beliau hijrah dan mempunyai pendukung-pendukung yang siap untuk berjihad.<br /><br />Dan musuh-musuh dien itu ada dua macam: Orang-orang kafir dan orang-orang munafik. Dan Allah telah memerintahkan NabiNya untuk berjihad melawan dua kelompok tersebut sebagaimana dalam firmanNya.<br /><br />"Berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah kepada mereka." [At-Taubah :73]<br /><br />Apabila orang-orang munafik berbuat bid'ah yang bertentangan dengan Al-Kitab,dan menipu manusia, lalu tidak dijelaskan kebid'ahan ini kepada manusia, maka rusaklah Al-Kitab, dan berubahlah dien ini, sebagaimana dien ahli kitab sebelum kita telah rusak pula disebabkan terjadinya perubahan dalam dien tersebut, sedangkan pelakunya tidak diingkari.<br /><br />Dan apabila mereka itu bukan orang-orang munafik, akan tetapi mereka itu pendengar setia terhadap ucapan orang-orang munafik, tanpa mereka sadar bahwa bid'ah-bid'ah orang-orang munafik tersebut telah meracuni mereka sehingga mereka menyangka bahwa ucapan-ahli bid'ah tersebut benar, padahal sesungguhnya menyalahi Al-Kitab maka jadilah mereka itu juru da'wah yang mengajak kepada bid'ah-bid'ah orang munafik dan menjadi corong mereka. Sebagaimana Allah Subhana wa Ta'ala berfirman.<br /><br />"Jika mereka berangkat bersama-sama kalian niscaya mereka tidak menambah kalian, kecuali kerusakan belaka, dan tentu mereka akan bergegas maju ke muka dicelah-celah barisanmu, untuk mengadakan kekacauan di antaramu, sedang di antara kalian ada orang-orang yang amat suka mendengarkan perkataan mereka."[At Taubah : 47]<br /><br />Maka menjelaskan keadaan mereka harus dilakukan juga, bahkan fitnah dari apa yang mereka lakukan itu lebih besar, karena pada diri mereka ada keimanan yang mewajibkan kita untuk loyal kepada mereka, dan mereka telah terperosok kepada bid'ah-bid'ahnya orang-orang munafik yang merusak dien ini, maka harus adanya peringatan dari bid'ah-bid'ah tersebut, meskipun harus dengan meyebutkan mereka dan menunjukkan orang-orangnya, bahkan meskipun bid'ah yang mereka sebarkan bukan didapat dari orang-orang munafik, tetapi mereka mengucapkannya dengan persangkaan bahwasanya bid'ah tersebut adalah petunjuk dan kebaikan serta dari ajaran dien, padahal sesungguhnya bukan demikian, maka wajib pula menjelaskan keadaan mereka.<br /><br />Oleh karena itu, wajib hukumnya menjelaskan keadaan orang yang salah dalam hadits dan riwayat, dan orang yang salah dalam pendapat dan fatwa, dan orang yang salah dalam hal zuhud dan ibadah, meskipun orang yang salah itu seorang mujtahid [17] yang telah diampuni kesalahannya, bahkan mendapat pahala atas ijtihadnya yang salah tersebut, maka penjelasan perkataan dan perbuatan yang sesuai dengan Al-Kitab dan As-Sunnah hukumnya adalah wajib, meskipun harus bertentangan dengan ucapan dan perbuatannya seorang mujtahid.<br /><br />Apabila diketahui bahwa kesalahan mujtahid tersebut berupa ijtihad yang memenuhi kriteria dan persyaratan sebagai ijtihad, yaitu berdasarkan kaidah-kaidah syariah yang benar maka tidak boleh mencela dalam menyebutkan kesalahannya dan tidak boleh mengatakannya sebagai perbuatan dosa, karena sesungguhnya Allah telah mengampuni kesalahannya, bahkan wajib loyal dan cinta kepadanya dikarenakan padanya terdapat iman dan taqwa, dan wajib menunaikan hak-haknya, berupa pujian dan doa serta yang lainnya.<br /><br />Dan apabila diketahui darinya bahwa ia itu sebagai orang-orang munafik sebagaimana diketahui di masa Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam seperti Abdullah bin Ubai dan konco-konconya, sebagaimana kaum muslimin mengetahui akan kemunafikan orang-orang Syiah Rafidhah, seperti Abdullah bin Saba dan yang sebangsanya, seperti Abdul Qudus Ibnul Hajjaj, dan Muhammad bin Sa`id Al-Mashlub, maka tipe seperti ini disebutkan pula kemunafikannya.<br /><br />Dan apabila seseorang menyebarkan kebid`ahan dan belum diketahui apakah dia itu termasuk orang munafik atau seorang mu'min yang berbuat kesalahan disebutkan sesuai dengan apa-apa yang diketahui darinya, maka tidaklah halal bagi seseorang untuk berbicara tanpa ilmu, dan tidak halal baginya untuk berbicara dalam bab ini, kecuali dengan ikhlas semata-mata mencari ridha Allah Subhana wa Ta'ala, dan agar kalimat Allah menjulang tinggi dan agar dien itu semuanya milik Allah.<br /><br />Maka barangsiapa yang berbicara dalam hal yang demikian tanpa ilmu atau terbukti bertentangan dengan fakta, maka ia berdosa.<br /><br />Dan begitu pula halnya seorang hakim, saksi, dan mufti, sebagaimana Nabi shalallahu 'alaihi wasallam bersabda.<br /><br />"Macam-macam hakim itu ada tiga: dua di antaranya di neraka dan satu di surga. Seorang yang mengetahui kebenaran dan memutuskan perkara berdasarkan kebenaran, maka ia di surga, dan seorang yang yang memutuskan perkara kepada manusia atas kebodohan, maka dia di neraka, dan seorang mengetahui kebenaran, maka dia memutuskan perkara dengan menyalahi kebenaran yang ia ketahui, maka dia di Neraka." [18]<br /><br />Dan Allah Subhana wa Ta'ala berfirman.<br /><br />"Wahai orang-orang yang beriman, jadilah orang-orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu, jika ia kaya atau miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kalian mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kalian memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kalian kerjakan." [An-Nisaa :135]<br /><br />Dan "Çááí" artinya adalah dusta, dan "ÇáÅÚÑÇÖ" adalah menyembunyikan kebenaran dan yang semisalnya, sebagaimana terdapat dalam Shahihain Shahih Bukhari dan Shahih Muslim) dari Nabi shalallahu 'alaihi wasallam bahwasanya beliau bersabda.<br /><br />"Penjual dan pembeli itu sebelum keduanya berpisah diperbolehkan untuk memilih (apakah melangsungkan jual belinya atau membatalkannya), apabila keduanya jujur dan menjelaskan (keadaan yang sebenarnya) maka keduanya mendapatkan barakah dalam jual belinya, tetapi apabila keduanya dusta dan menyembunyikan (keadaan yang sebenarnya), maka barakah jual beli keduanya terhapus."<br /><br />Kemudian orang yang berbicara dengan ilmu dalam hal tersebut harus mempunyai niat yang baik, maka apabila ia berbicara dengan benar akan tetapi bermaksud berbuat kesombongan di muka bumi atau kerusakan maka kedudukannya seperti orang yang berperang dengan jahiliyah dan berbuat riya. Adapun jika dia berbicara dengan ikhlas karena Allah Ta'ala semata, maka ia termasuk mujahidin di jalan Allah, termasuk pewaris para nabi, penerus para Rasul. Dan hal ini sama sekali tidak menyalahi sabda beliau, "Ghibah itu menyebutkan kejelekan saudaramu yang membuat ia tidak suka (apabila mendengarnya)," karena "Al-Akh" tersebut sebagai mu'min, dan "Al-Akh" yang mu'min apabila ia benar imannya tidak akan benci atas apa yang telah engkau katakan berupa kebenaran, di mana Allah dan RasulNya mencintai kebenaran tersebut, meskipun dalam pelaksanaan kebenaran tersebut merugikan dirinya atau teman-temannya, tetap harus berbuat adil, dan menjadi saksi karena Allah, meskipun terhadap diri sendiri, atau kedua orang tua, atau karib kerabatnya, apabila ia benci kepada kebenaran, maka imannya berkurang, kalau begitu akan berkurang persaudaraan dia sebanding dengan berkurangnya keimanan dia." (Wallahul Musta'an.)<br /><br /><br />[Disalin dari buku Fikih Nasehat, Penyusun Fariq Bin Gasim Anuz, Cetakan Pertama, Sya'ban 1420H/November 1999. Penerbit Pustaka Azzam Jakarta. PO BOX 7819 CC JKTM]<br />________<br />Foot Note<br />[15]. H.R.Muslim<br />[16]. Pentakhrij Majmu'atul Fatawa berkata, "H.R. Muslim dalam kitab Al-Birru was Shilah (2564/33-34) dan H.R.Ibnu Majah dalam kitab Az-Zuhd (4143)."<br />[17]. Dari ucapan Syaikhul Islam di atas agar menjadi cambuk bagi kita semua selaku penuntut ilmu untuk serius mempelajari ushul fiqh dan dan kaidah-kaidah yang sesuai dengan manhaj salaf agar kita dapat menimbang dan menilai ijtihad-ijtihad para ulama dalam masalah tertentu yang seringkali mereka berbeda pendapat di dalamnya, lalu kita berusaha mentarjihnya berdasarkan ilmu yang benar bukan berdasarkan hawa nafsu. Di antara buku-buku yang dinasehatkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah kepada para penuntut ilmu untuk mempelajarinya berkenaan dengan masalah ushul fiqh dan kaidah-kaidah bagi dien yang mulia ini adalah :<br />1. I'lamul Muwaqi'in oleh Imam Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah rahimahullah<br />2. Irsyadul fuhul oleh Imam As-Syaukani rahimahullah<br />3. Tahshilul ma'mul oleh Syaikh Siddiq Hasan Khan rahimahullah<br />(Nasehat mengenai masalah ini dapat didengar dari kaset beliau yang berjudul "ÚÏã ÇáÊÚÕÈ" /Tidak Berta'ashub)<br />[18]. H.R. Abu Daud pada Al Aqdhiyah (3573) dan Ibnu Majah pada Al Ahkam (2315), kedua-duanya dari Buraidah. (Majmu'atul Fatawa, juz 14 hal. 399)MUSLIM KAFFAHhttp://www.blogger.com/profile/12527866730164618004noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6900756058190518083.post-83131618903549403512009-08-29T12:01:00.000-07:002009-08-29T12:05:49.065-07:00ANTARA BANTAHAN DAN GHIBAH<p class="snap_preview" style="margin-bottom: 0pt;" align="center">Oleh :</p> <p class="snap_preview" style="margin-bottom: 0pt;" align="center">Abu Abdirrahman bin Thayib, Lc.</p> <p class="snap_preview" style="margin-bottom: 0pt; font-style: italic;" align="left"><span style="color:#000000;"><strong> </strong></span></p> <p class="snap_preview" style="margin-bottom: 0pt;" align="justify">Sering kita mendengar <span class="style4">perkataan</span> sebagian orang jika dia menyaksikan seseorang membantah/menyingkap kesesatan kelompok-kelompok/dai-dai yang menyelisihi al-Qur’an dan Sunnah serta manhaj salaf (ahli sunnah wal jama’ah), dia mengatakan (entah dimimbar-mimbar jum’at atau dimajlis-majlisnya) : “Jagalah lisanmu, janganlah engkau mengghibah (ngrasani) saudaramu sendiri sesama muslim, bukankah Allah berfirman : ‘Janganlah sebagian kamu menghibah (menggunjing) sebagian yang lain sukakah salah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati?’”. (QS. Al-Hujurat : 12).</p> <p class="snap_preview" style="margin-bottom: 0.3cm; text-indent: 0.6cm;" align="justify">Apakah benar <span class="style4">perkataan</span> mereka ini??? Mari kita simak bersama sebagian ucapan-ucapan emas <span class="style6">(penjelasan)</span> para ulama ahlus sunnah dalam masalah ini. Selamat menikmati -semoga Allah menampakkan yang benar itu benar dan memberi kita kekuatan untuk mengikutinya dan semoga Allah menampakkan yang batil itu batil serta memberi kita kekuatan untuk menjauhinya- :</p> <p class="snap_preview" style="margin-bottom: 0.2cm; margin-left: 0.6cm; text-indent: -0.6cm;" align="justify"><strong>1. Imam Nawawi v (salah seorang ulama madzhab Syafi’i yang meninggal tahun 676 H) mengatakan dalam kitabnya “Riyadhus Shalihin” bab “penjelasan ghibah yang dibolehkan” : </strong></p> <p class="snap_preview" style="margin-bottom: 0.1cm; text-indent: 0.6cm;" align="justify">“Ketahuilah bahwa ghibah dibolehkan untuk tujuan yang benar dan disyariatkan, yang tidak mungkin tujuan itu tercapai kecuali dengan ghibah tersebut. Hal ini ada dalam enam perkara :</p> <p class="snap_preview" style="margin-bottom: 0.1cm; margin-left: 0.5cm; text-indent: -0.5cm;" align="justify">a. Mengajukan kedzaliman orang lain. Dibolehkan bagi orang yang didzalimi untuk mengajukan yang mendzaliminya kepada penguasa atau hakim dan selain keduanya dari orang-orang yang memiliki kekuasaan atau kemampuan untuk mengadili sidzalim itu. Orang yang didzalimi itu boleh mengatakan si fulan itu telah mendzalimi/menganiaya diriku.</p> <p class="snap_preview" style="margin-bottom: 0.1cm; margin-left: 0.5cm; text-indent: -0.5cm;" align="justify">b. Meminta pertolongan untuk merubah kemungkaran dan mengembalikan orang yang berbuat dosa kepada kebenaran. Seseorang boleh mengatakan kepada yang memiliki kekuatan yang ia harapkan bisa merubah kemungkaran: si fulan itu berbuat kejahatan ini dan itu, maka nasehati dia/dan larang dia berbuat jahat. Maksud ghibah disini adalah merubah kemungkaran/kejahatan, jika tidak bermaksud seperti ini maka ghibah tersebut haram.</p> <p class="snap_preview" style="margin-bottom: 0.1cm; margin-left: 0.5cm; text-indent: -0.5cm;" align="justify">c. Meminta fatwa. Orang itu mengatakan kepada sang pemberi fatwa : ayahku atau saudaraku atau suamiku telah mendzalimi diriku, apakah hal ini boleh? Bagaimana jalan keluarnya? dll. Ghibah seperti ini boleh karena suatu kebutuhan/tujuan (yang syar’i-pent). Tapi yang lebih utama tidak disebutkan (personnya/namanya) semisal: Bagaimana pendapat Syaikh tentang seorang suami atau ayah yang begini dan begitu? Hal ini juga bisa dilakukan dan dapat mencapai tujuan yang diinginkan meskipun tanpa menyebut nama/personnya. Tapi menyebutkan nama/personnya dalam hal ini hukumnya boleh seperti yang akan disebutkan dalam hasits Hindun -insya Allah-</p> <p class="snap_preview" style="margin-bottom: 0pt; margin-left: 0.5cm; text-indent: -0.5cm;" align="justify">d. Memperingatkan kaum Muslimin dari bahaya kesesatan (seseorang/kelompok-pent) dan sekaligus dalam rangka saling menasehati. Yang demikian itu mencakup beberapa hal:</p> <p class="snap_preview" style="margin-bottom: 0pt; margin-left: 1cm; text-indent: -1cm;" align="justify">- Mencela para perawi-perawi (hadits) atau para saksi yang tidak memenuhi syarat. Hal ini dibolehkan secara ijma’ kaum muslimin bahkan bisa jadi hal tersebut wajib hukumnya.</p> <p class="snap_preview" style="margin-bottom: 0pt; margin-left: 1cm; text-indent: -1cm;" align="justify">- Meminta pendapat/musyawarah orang lain dalam hal menikahi seseorang atau bergaul dengannya atau meninggalkannya atau dalam hal bermuamalah dengannya dll. Maka wajib bagi yang diajak bermusyawarah untuk tidak menyembunyikan sesuatupun tentang keadaan orang tersebut bahkan dia harus menyebutkan semua kejelekannya dengan niat saling menasehati.</p> <p class="snap_preview" style="margin-bottom: 0pt; margin-left: 1cm; text-indent: -1cm;" align="justify">- Apabila seseorang melihat penuntut ilmu sering berkunjung kepada ahli bid’ah (dai penyesat-pent) atau fasik untuk mengambil ilmu darinya dan dia khawatir si penuntut ilmu itu akan terkena racun kesesatan orang tersebut maka wajib baginya untuk menasehati si penuntut ilmu dengan menjelaskan hakekat (kesesatan) sang guru/dai penyesat itu dengan syarat tujuannya untuk menasehati. Dalam hal ini ada sebagian orang yang salah mempraktekkannya, dia tujuannya bukan untuk menasehati tapi karena hasad/dengki dengan orang yang ditahdzir (dighibahi itu), yang telah dihiasi oleh syaitan seolah-olah dia menasehati tapi hakekatnya dia hasad dan dengki.</p> <p class="snap_preview" style="margin-bottom: 0.2cm; margin-left: 1cm; text-indent: -1cm;" align="justify">- Seseorang yang memiliki tanggung jawab/tugas tapi dia tidak menjalankannya dengan baik atau dia itu fasik dan lalai dll. Maka boleh bagi yang mengetahuinya untuk menyebutkan keadaan orang tersebut kepada atasannya agar memecatnya dan menggantinya dengan yang lebih baik atau agar hanya diketahui keadaannya saja lalu diambil tindakan hingga atasannya tidak tertipu dengannya atau agar atasannya tersebut menasehatinya kepada kebaikan</p> <p class="snap_preview" style="margin-bottom: 0.2cm; margin-left: 0.5cm; text-indent: -0.5cm;" align="justify">e. Menyebutkan aib orang yang menampakkan kefasikan dan bid’ahnya seperti orang yang bangga meminum khomer, menganiaya orang lain, merampas harta dan melakukan hal-hal yang batil. Boleh bagi orang yang mengetahui keadaan orang diatas untuk menyebutkan aib-aibnya (agar orang lain berhati-hati darinya-pent)</p> <p class="snap_preview" style="margin-bottom: 0.2cm; margin-left: 0.5cm; text-indent: -0.5cm;" align="justify">f. Mengenalkan orang lain dengan menyebut gelar (laqob) nya yang sudah terkenal misalnya Al-A’masy (yang cacat matanya), Al-A’raj (yang pincang), Al-Ashom (yang tuli) dan selainnya. Boleh mengenalkan dengan julukan-julukan diatas tapi tidak untuk mencela/mengejeknya dan seandainya mengenalkan tanpa menyebutkan julukan-julukan tersebut ini lebih baik.</p> <p class="snap_preview" style="margin-bottom: 0.2cm; text-indent: 0.6cm;" align="justify">Inilah keenam perkara yang disebutkan oleh para ulama (dalam membolehkan ghibah-pent) kebanyakannya telah disepakati dan dalil-dalil keenam perkara tersebut ada dalam hadits-hadits shohih yang sudah masyhur/terkenal, diantaranya: </p> <p class="snap_preview" style="margin-bottom: 0pt; margin-left: 0.6cm; text-indent: -0.6cm;" align="justify"> Dari Aisyah x beliau berkata : </p> <p class="snap_preview" style="margin-bottom: 0.2cm; text-indent: 0.6cm;" align="justify">“Bahwa ada seorang yang meminta ijin untuk (menemui) Nabi r, maka beliau mengatakan : Ijinkanlah dia, dia adalah sejelek-jeleknya kerabat”. (HR. Bukhari 6054 dan Muslim 2591).</p> <p class="snap_preview" style="margin-bottom: 0.2cm; text-indent: 0.6cm;" align="justify">Imam Bukhari berdalil dengan hadits ini dalam membolehkan ghibah terhadap para perusak (penyesat)</p> <p class="snap_preview" style="margin-bottom: 0pt; margin-left: 0.6cm; text-indent: -0.6cm;" align="justify"> Dan dari beliau juga x bahwa Rasulullah r pernah bersabda : </p> <p class="snap_preview" style="margin-bottom: 0.2cm; text-indent: 0.6cm;" align="justify">“Aku kira fulan dan fulan itu tidak mengetahui sesuatupun dari agama kita” (HR. Bukhari 6067). Laits bin Sa’ad (salah seorang perawi hadits ini) mengatakan : dua orang tersebut termasuk orang-orang munafik.</p> <p class="snap_preview" style="margin-bottom: 0pt; margin-left: 0.6cm; text-indent: -0.6cm;" align="justify"> Dari Fatimah binti Qois x dia berkata : </p> <p class="snap_preview" style="margin-bottom: 0.2cm; text-indent: 0.6cm;" align="justify">“Aku pernah mendatangi Nabi r lalu aku berkata : Sesungguhnya Abu Jahm dan Mu’awiyah telah melamarku? Maka Rasulullah r mengatakan : “Adapun Mu’awiyah dia itu miskin tidak punya harta dan adapun Abu Jahm maka dia itu tidak pernah menaruh tongkat dari pundaknya.” (HR. Muslim 1480).</p> <p class="snap_preview" style="margin-bottom: 0.2cm; text-indent: 0.6cm;" align="justify">Didalam riwayat Muslim yang lain disebutkan: “Adapun Abu Jahm maka dia sering memukul perempuan” ini adalah penjelasan atas ucapan beliau (dia itu tidak pernah menaruh tongkat dari pundaknya). Ada juga yang menjelaskan bahwa maksudnya adalah sering berpergian jauh/safar.</p> <p class="snap_preview" style="margin-bottom: 0pt; margin-left: 0.6cm; text-indent: -0.6cm;" align="justify"> Dari Aisyah x beliau berkata : </p> <p class="snap_preview" style="margin-bottom: 0.3cm; text-indent: 0.6cm;" align="justify">Hindun (istri Abu Sufyan) berkata kepada Nabi r : Sesungguhnya Abu Sufyan seorang lelaki yang bakhil dia tidak memberiku dan anak-anakku nafkah yang cukup melainkan jika aku mengambil uangnya tanpa sepengetahuannya? Maka beliau bersabda : “Ambillah apa yang mencukupimu dan anak-anakmu dengan cara yang baik” (HR. Bukhari 5359 dan Muslim 1714)</p> <p class="snap_preview" style="margin-bottom: 0.2cm; margin-left: 0.6cm; text-indent: -0.6cm;" align="justify"><strong>2. Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin -Rahimahullah- mengatakan dalam Syarah Riyadhus Shalihin 4/99-101 ketika menjelaskan ucapan Imam Nawawi diatas : </strong></p> <p class="snap_preview" style="margin-bottom: 0.3cm; text-indent: 0.6cm;" align="justify">“Imam Nawawi v menyebutkan dalam bab ini hal-hal yang dibolehkan ghibah didalamnya yaitu ada enam perkara. Ucapan beliau ini sangat baik sekali, semuanya benar dan baik” kemudian beliau menjelaskan hadits pertama yang dibawakan oleh Imam Nawawi v : Sabda Nabi r : (ijinkanlah dia, dia itu sejelek-jeleknya kerabat) orang tersebut memang perusak dan penyesat. Maka hal ini menjelaskan bolehnya mengghibah para penyesat umat agar manusia lari dari kesesatannya dan agar mereka tidak tertipu. Jika anda mengetahui ada seseorang yang sesat (dan menyesatkan) tapi dia memiliki keistimewaan gaya bahasa dan retorika dalam menyampaikan (ceramah) serta menarik manusia hingga mereka tidak sadar sudah terjerumus kedalam jaring-jaring kesesatan maka wajib bagimu untuk menjelaskan hakekat orang yang sesat tersebut dan sebutkan kejelekannya (saja) agar manusia tidak tertipu dengannya. Berapa banyak para dai-dai/penceramah-penceramah yang sangat indah dan fasih bahasanya, jika anda melihatnya anda akan terpesona dan jika dia berbicara anda akan dengan seksama mendengarkannya akan tetapi dia itu hakekatnya (penyesat umat). Maka yang wajib adalah menyingkap hakekat dan kedoknya.”</p> <p class="snap_preview" style="margin-bottom: 0.2cm; margin-left: 0.6cm; text-indent: -0.6cm;" align="justify"><strong>3. Imam Abu Abdillah Muhammad bin Abdillah yang terkenal dengan sebutan Ibnu Abi Zamanain v (meninggal tahun 399 H) berkata : </strong></p> <p class="snap_preview" style="margin-bottom: 0.2cm; text-indent: 0.6cm;" align="justify">“Senantiasa ahlus sunnah mencela ahlul ahwa/bid’ah yang menyesatkan (umat), mereka melarang bermajlis dengan ahli bid’ah, mengkhawatirkan fitnah mereka serta menjelaskan balasan mereka. Ahlussunnah tidak menganggap hal tersebut sebagai suatu ghibah.” (Ushulus Sunnah oleh Ibnu Abi Zamanain hal. 293)</p> <p class="snap_preview" style="margin-bottom: 0.2cm; text-indent: 0.6cm;" align="justify">Sungguh ahlus sunnah telah sepakat dari dahulu maupun sekarang dalam menyikapi ahli bid’ah (para penyesat umat-pent). Yang demikian itu dengan mencela dan memperingatkan umat akan bahaya mereka serta memboikot dan melarang bermajlis dengan mereka dalam rangka membendung bahaya dan fitnah para ahli bid’ah tersebut.</p> <p class="snap_preview" style="margin-bottom: 0.2cm; text-indent: 0.6cm;" align="justify">Ahlu sunnah menganggap bahwa menyingkap kedok mereka bukanlah ghibah yang haram. Para ulama telah mengecualikan 6 perkara dari ghibah yang diharamkan, seperti yang dikatakan dalam bait-bait ini:</p> <p class="snap_preview" style="margin-bottom: 0.2cm;" align="justify">Mencela bukan termasuk ghibah dalam 6 perkara</p> <p class="snap_preview" style="margin-bottom: 0.2cm; margin-left: 0.6cm; text-indent: -0.6cm;" align="justify">Orang yang terdholimi, yang memperkenalkan, yang memperingatkan</p> <p class="snap_preview" style="margin-bottom: 0.2cm;" align="justify">Orang yang terang-terangan berbuat kefasikan, orang yang meminta fatwa </p> <p class="snap_preview" style="margin-bottom: 0.2cm; margin-left: 0.6cm; text-indent: -0.6cm;" align="justify">Dan orang yang meminta bantuan untuk memberantas kemungkaran <span style="color:#000000;">(Keenam hal ini sama dengan apa yang dijelaskan oleh Imam Nawawi diatas. “Ijma ulama ‘ala hajr wat tahdzir min ahlil ahwa’” oleh Kholid bin Dhohawi hal. 121)</span></p> <p class="snap_preview" style="margin-bottom: 0.2cm; margin-left: 0.6cm; text-indent: -0.6cm;" align="justify"><strong>4. Imam Ahmad v (Imam Ahlu sunnah) mengatakan : </strong></p> <p class="snap_preview" style="margin-bottom: 0.3cm; text-indent: 0.6cm;" align="justify">“Tidak ada istilah ghibah untuk (membantah) ahli bid’ah” (Thobaqoh Al-Hanabilah 2/274)</p> <p class="snap_preview" style="margin-bottom: 0.2cm; margin-left: 0.6cm; text-indent: -0.6cm;" align="justify"><strong>5. Imam Ibnu Rajab Al-Hambali v mengatakan dalam kitab “Syarh ‘ilal At-Tirmidzi” 1/43-44 :</strong> </p> <p class="snap_preview" style="margin-bottom: 0.2cm; text-indent: 0.6cm;" align="justify">(Imam Abu Isa (At-Tirmidzi) v berkata: “Sebagian orang yang tidak paham akan (agama ini) mencela para ahli hadits dalam ucapan mereka tentang perawi-perawi hadits.</p> <p class="snap_preview" style="margin-bottom: 0.2cm; text-indent: 0.6cm;" align="justify">Sungguh kita telah mendapati banyak dari para Imam dari kalangan tabi’in membicarakan (menggunjing/mencela) para perowi diantara mereka adalah Hasan Al-Bashri & Thowus mereka berdua mencela Ma’bad al-Juhani, Sa’id bin Jubeir membicarakan Tholq bin Habib, Ibrahim an-Nakho’i dan Amir asy-Sya’bi membicarakan a l-Harits al-A’war. Demikian pula yang diriwayatkan dari Ayyub as-Sakhtiyani, Abdullah bin ‘Aun, Sulaiman at-Taimi, Syu’bah bin Hajjaj, Sufyan ats-Tsauri, Malik bin Anas, al-’Auza’i, Abdullah bin Mubarak, Yahya bin Sa’id al-Qoththon, Waki’ bin Jarrah, Abdurrohman bin Mahdi dan selain mereka dari para ahli ilmu, mereka semua pernah membicarakan para perawi-perawi dan mendhoifkannya.</p> <p class="snap_preview" style="margin-bottom: 0.3cm; text-indent: 0.6cm;" align="justify">Tidaklah yang mendorong mereka dalam hal ini (membicarakan/menghibah para perawi) melainkan untuk menasehati kaum muslimin, tidak mungkin mereka hanya ingin mencela dan menghibah saja, akan tetapi mereka ingin menjelaskan kelemahan para perawi tersebut agar diketahui kaum muslimin, karena sebagian perawi yang lemah tersebut adalah ahli bid’ah, sebagian lagi tertuduh memalsukan hadits dan sebagian lagi ada yang banyak kesalahannya. Maka para imam-imam tersebut ingin menjelaskan hakekat mereka (para perawi) dengan sebenarnya, dalam rangka menjaga agama ini dan menjelaskan hakekat sebenarnya. Karena persaksian dalam agama (tentang hadits-pent) lebih utama untuk diteliti dari pada persaksian dalam masalah hak pribadi dan harta”. Ibnu Rajab berkata: “Disini Imam Tirmidzi ingin menjelaskan bahwa membicarakan/mengunjing para perowi (Jarh wa Ta’dil) itu boleh. Hal ini telah disepakati oleh para salaf/pendahulu umat ini dan para imam-imam mereka. Demikian itu untuk membedakan mana perowi/hadits yang bisa diterima dan mana yang tidak. Sebagian orang yang tidak memiliki ilmu mengira itu adalah ghibah (yang diharamkan), padahal tidak demikian, sebab membicarakan aib seseorang jika ada maslahatnya -meskipun pribadi- dibolehkan (dalam agama) tanpa ada perselisihan lagi seperti mencela para saksi yang dusta, maka kalau maslahatnya umum untuk muslimin ini lebih dibolehkan lagi”</p> <p class="snap_preview" style="margin-bottom: 0.2cm; margin-left: 0.6cm; text-indent: -0.6cm;" align="justify"><strong>6. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah v berkata dalam “majmu’ fatawa” 28/225-232 :</strong></p> <p class="snap_preview" style="margin-bottom: 0.2cm; text-indent: 0.6cm;" align="justify">Menyebut manusia dengan apa-apa yang mereka benci ada dua macam : </p> <p class="snap_preview" style="margin-bottom: 0.2cm; margin-left: 0.5cm; text-indent: -0.5cm;" align="justify">1. Menyebut jenis (golongan), setiap golongan yang dicela Allah dan Rasul-Nya maka wajib untuk mencela mereka, hal ini bukan termasuk ghibah.</p> <p class="snap_preview" style="margin-bottom: 0.2cm; margin-left: 0.5cm; text-indent: -0.5cm;" align="justify">2. Menyebut perorangan baik yang masih hidup atau yang telah meninggal dunia. Boleh menyebutkan kejelekan orang tersebut dalam beberapa keadaan, diantaranya: dalam rangka menasehati kaum muslimin tentang agama dan dunia mereka. Menasehati umat dalam kemaslahatan agama yang khusus dan umum adalah suatu kewajiban. Seperti menjelaskan perowi hadits yang salah atau berdusta sebagaimana yang dikatakan oleh Yahya bin Said serta Al-Auza’I tentang seseorang yang tertuduh (memalsukan) hadits dan dia tidak hafal, maka mereka mengatakan: “jelaskan hakekat dan jati dirinya!”. Pernah seseorang berkata kepada Imam Ahmad v : “Aku merasa berat jika mengatakan si fulan itu demikian dan demikian (dari kesesatannya-pent). Maka Imam Ahmad mengatakan: “jika engkau diam dan akupun juga diam maka kapan orang bodoh/awam tahu mana yang benar dan mana yang salah!!! </p> <p class="snap_preview" style="margin-bottom: 0.2cm; text-indent: 0.6cm;" align="justify">Seperti imam-imam ahli bid’ah yang memiliki pendapat-pendapat yang menyelisihi al-Qur’an dan Sunnah atau beribadah tapi menyelisihi al-Qur’an dan Sunnah maka mereka ini wajib (menurut ijma kaum muslimin) dijelaskan kesesatannya dan diperingatkan umat dari bahayanya. Sampai-sampai pernah ditanyakan kepada Imam Ahmad v : “Ada seseorang yang puasa, sholat, I’tikaf dan ada orang lain yang membantah ahli bid’ah, manakah yang lebih anda sukai? Beliau menjawab : apabila orang itu sholat, i’tikaf maka hal itu manfaatnya untuk dia sendiri tapi apabila dia membantah ahli bid’ah maka manfaatnya bagi kaum muslimin dan inilah yang lebih afdhol/lebih utama.</p> <p class="snap_preview" style="margin-bottom: 0.2cm; text-indent: 0.6cm;" align="justify">Beliau menjelaskan bahwa manfaatnya lebih luas bagi kaum muslimin di dalam agama mereka, yang hal tersebut termasuk jihad fi sabilillah. Menjernihkan jalan Allah, agama, manhaj serta syari’at-Nya dari kesesatan dan permusuhan mereka (ahli bid’ah) merupakan suatu kewajiban yang kifayah menurut kesepakatan kaum muslimin </p> <p class="snap_preview" style="margin-bottom: 0.3cm; text-indent: 0.6cm;" align="justify">Seandainya tidak ada yang menolak/membantah bahaya (bid’ah) nya mereka maka akan rusaklah agama ini. Dan kerusakan yang ditumbuhkan nya (bid’ah) lebih dahsyat daripada penjajahan. Karena mereka (para penjajah) jika merusak tidaklah merusak hati pertama kali tapi mereka (ahli bid’ah) pertama kali yang dilakukan adalah merusak hati</p> <p class="snap_preview" style="margin-bottom: 0.2cm; margin-left: 0.6cm; text-indent: -0.6cm;" align="justify"><strong>7. Imam Hasan Al-Bashri v mengatakan : </strong></p> <p class="snap_preview" style="margin-bottom: 0.2cm; text-indent: 0.6cm;" align="justify">“Tidak ada istilah ghibah dalam membantah ahli bid’ah”. Beliau mengatakan : “Tiga golongan manusia yang tidak ada larangan dalam mengghibah mereka, salah satunya adalah ahli bid’ah yang extrim dalam bid’ahnya”. Beliau juga pernah berkata: “tidak ada istilah ghibah dalam mencela pelaku bid’ah dan orang fasik yang menampakkan kefasikannya”. (ucapan-ucapan ini diriwayatkan oleh Al-Lalika’I dalam “Syarh Ushul I’tiqod Ahlis Sunnah” 1/140)</p> <p class="snap_preview" style="margin-bottom: 0.2cm; margin-left: 0.6cm; text-indent: -0.6cm;" align="justify"><strong>8. Ibrahim An-Nakho’i v mengatakan : </strong></p> <p class="snap_preview" style="margin-bottom: 0.2cm; text-indent: 0.6cm;" align="justify">“Tidak ada ghibah dalam membantah ahli bid’ah” (lihat Sunan Darimi 1/120)</p> <p class="snap_preview" style="margin-bottom: 0.2cm; margin-left: 0.6cm; text-indent: -0.6cm;" align="justify"><strong>9. Sufyan bin Uyainah v berkata :</strong> </p> <p class="snap_preview" style="margin-bottom: 0.2cm; text-indent: 0.6cm;" align="justify">“Pengekor hawa nafsu dalam agama ini tidak ada larangan dalam mengghibahnya” (lihat “Mukhtashor Hujjah” oleh Nashr Al-Maqdisy hal.538)</p> <p class="snap_preview" style="margin-bottom: 0.2cm; margin-left: 0.6cm; text-indent: -0.6cm;" align="justify"><strong>10. Abu Hamid Al-Ghozali setelah membahas masalah ghibah dalam kitabnya “Ihya’ Ulumuddin” beliau berkata : </strong></p> <p class="snap_preview" style="margin-bottom: 0.2cm; text-indent: 0.6cm;" align="justify">“Ketahuilah bahwa ghibah itu dibolehkan selama untuk tujuan yang disyari’atkan yang tidak mungkin sampai kepadanya kecuali dengan ghibah tersebut, maka tidak ada dosa didalamnya. Hal tersebut ada pada 6 keadaan”. (Ihya’ Ulumuddin 3/152)</p> <p class="snap_preview" style="margin-bottom: 0.2cm; text-indent: 0.6cm;" align="justify">Dari ucapan para ulama salaf ahli sunnah diatas telah jelas bagi kita akan bolehnya mengghibah para penyesat umat dengan tujuan menjelaskan/menyikap hakekat kesesatan mereka kepada umat ini. Bahkan bisa jadi hal tersebut wajib, tapi perlu diketahui bahwa mengghibah ahli bid’ah itu dibolehkan dengan syarat-syarat berikut ini :</p> <p class="snap_preview" style="margin-bottom: 0.2cm; margin-left: 0.5cm; text-indent: -0.5cm;" align="justify">1. Ikhlas karena Allah dan tujuan dari mencela/membantah ahli bid’ah adalah menasehati kaum muslimin dan memperingatkan mereka akan bahaya bid’ah mereka. Selain untuk tujuan ini maka ghibah itu diharamkan, seperti karena permusuhan pribadi, hasad terhadap ahli bid’ah dll</p> <p class="snap_preview" style="margin-bottom: 0.2cm; margin-left: 0.5cm; text-indent: -0.5cm;" align="justify">2. Pelaku bid’ah tersebut menyebarkan bid’ahnya. Jika pelaku bid’ah tersebut menyembunyikan/tidak menyebarkan bid’ahnya maka tidak boleh mengghibahnya. Karena mengghibah pelaku bid’ah (penyesat umat) tujuannya untuk amar ma’ruf nahi mungkar dan hal ini tidak bisa dilakukan kecuali kalau bid’ahnya itu ditampakkan/disebarkan ditengah masyarakat</p> <p class="snap_preview" style="margin-bottom: 0.2cm; margin-left: 0.5cm; text-indent: -0.5cm;" align="justify">3. Ahli bid’ah tersebut masih hidup dan belum meninggal. Jika orang tersebut (penyesat umat) sudah meninggal dunia maka tidak boleh mengghibahnya, kecuali jika dia memiliki buku-buku (tulisan-tulisan) dan pengikut yang memuat dan menyebarkan bid’ahnya maka wajib untuk memperingatkan umat darinya.</p> <p class="snap_preview" style="margin-bottom: 0.2cm; margin-left: 0.5cm; text-indent: -0.5cm;" align="justify">4. Bersikap adil dalam membantah ahli bid’ah, menjelaskan kesesatan/kebid’ahannya tanpa berdusta/tanpa mengada-ada. (Lihat “Mauqif ahlis sunnah wal jama’ah min ahlil ahwa’ wal bid’ah” oleh DR. Ibrahim Ar-Ruhaily 2/506-509)</p>MUSLIM KAFFAHhttp://www.blogger.com/profile/12527866730164618004noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6900756058190518083.post-77815581893294393232009-08-29T11:57:00.000-07:002009-08-29T11:59:00.041-07:00Manfaat dan Keutamaan Mengikuti Manhaj (Metode Pemahaman) Salaf<p class="arab" align="center">بسم الله الرحمن الرحيم</p> <p>الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله وآله وصحبه أجمعين، أما بعد</p> <p><strong>Prolog</strong></p> <p>Manhaj salaf adalah satu-satunya manhaj yang diakui kebenarannya oleh Allah <em>ta’ala</em> dan Rasul-Nya <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em>, karena manhaj ini mengajarkan pemahaman dan pengamalan islam secara lengkap dan menyeluruh, dengan tetap menitikberatkan kepada masalah tauhid dan pokok-pokok keimanan sesuai dengan perintah Allah <em>ta’ala</em> dan Rasul-Nya <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em>, Allah berfirman:</p> <p class="arab" align="right">{وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَداً ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ}</p> <p><em>“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari (kalangan) orang-orang muhajirin dan anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada-Nya, dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.”</em> (Qs. At Taubah: 100)</p> <p><span id="more-572"></span></p> <p>Dalam ayat lain, Allah <em>ta’ala</em> memuji keimanan para sahabat <em>radhiyallahu ‘anhum</em> dan orang-orang yang mengikuti mereka dalam firman-Nya:</p> <p class="arab" align="right">فَإِنْ آمَنُوا بِمِثْلِ مَا آمَنْتُمْ بِهِ فَقَدِ اهْتَدَوْا</p> <p><em>“Dan jika mereka beriman seperti keimanan kalian, maka sungguh mereka telah mendapatkan petunjuk (ke jalan yang benar).”</em> (Qs. Al Baqarah: 137)</p> <p>Dalam hadits yang shahih tentang perpecahan umat ini menjadi 73 golongan, Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> bersabda: <em>“Semua golongan tersebut akan masuk neraka, kecuali satu golongan, yaitu <strong>Al Jama’ah</strong>“</em>. Dalam riwayat lain: <em>“Mereka (yang selamat) adalah orang-orang yang mengikuti petunjukku dan petunjuk para sahabatku.”</em> (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ad Darimy dan imam-imam lainnya, dishahihkan oleh Ibnu Taimiyyah, Asy Syathiby dan Syaikh Al Albany. Lihat <em>“Silsilatul Ahaaditsish Shahihah”</em> no. 204)</p> <p>Maka mengikuti manhaj salaf adalah satu-satunya cara untuk bisa meraih keselamatan di dunia dan akhirat, sebagaimana hanya dengan mengikuti manhaj inilah kita akan bisa meraih semua keutamaan dan kebaikan yang Allah <em>ta’ala</em> janjikan dalam agama-Nya, sebagaimana sabda Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em>: “Sebaik-baik umatku adalah generasi yang aku diutus di masa mereka (para sahabat <em>radhiyallahu ‘anhum</em>), kemudian generasi yang datang setelah mereka, kemudian generasi yang datang setelah mereka.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)</p> <p>Berkata Imam Ibnul Qayyim dalam menjelaskan hadits di atas: “Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> memberitakan (dalam hadits ini) bahwa generasi yang terbaik secara mutlak adalah generasi di masa Beliau <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> (para sahabat <em>radhiyallahu ‘anhum</em>), dan ini mengandung pengertian keterdepanan mereka dalam seluruh aspek kebaikan (dalam agama ini), karena kalau kebaikan mereka (hanya) dalam beberapa aspek (tidak sempurna dan menyeluruh) maka mereka tidak akan dinamakan (oleh Nabi <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> sebagai) generasi yang terbaik secara mutlak”. Maksud terbaik secara mutlak yaitu kebaikan yang ada pada mereka adalah kebaikan yang sempurna dan menyeluruh pada semua aspek kebaikan dalam agama. (Lihat Kitab <em>I’laamul muwaqqi’iin,</em> 4/136- cet. <em>Daarul Jiil</em>, Beirut, 1973)</p> <p>Untuk lebih jelasnya pembahasan masalah ini, berikut ini kami akan menyebutkan dan menjelaskan beberapa contoh/poin penting yang menunjukkan besarnya manfaat dan keutamaan yang bisa kita capai dengan berusaha memahami dan mengamalkan manhaj salaf dengan baik dan benar, serta mustahilnya mencapai semua itu dengan mengikuti selain manhaj yang benar ini:</p> <p><strong>1- Keteguhan iman dan keistiqamahan dalam agama di dunia dan akhirat</strong></p> <p>Allah <em>ta’ala</em> berfirman:</p> <p class="arab" align="right">{يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ وَيُضِلُّ اللَّهُ الظَّالِمِينَ وَيَفْعَلُ اللَّهُ مَا يَشَاءُ}</p> <p><em>“Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ‘ucapan yang teguh’ dalam kehidupan di dunia dan di akhirat, dan Allah menyesatkan orang-orang yang zalim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki.”</em> (Qs. Ibrahim: 27)</p> <p>Makna ‘ucapan yang teguh’ dalam ayat di atas ditafsirkan sendiri oleh Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh seorang sahabat yang mulia Al Bara’ bin ‘Aazib <em>radhiyallahu ‘anhu</em>, bahwa Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> bersabda: <em>“Seorang muslim ketika ditanya di dalam kubur (oleh Malaikat Munkar dan Nakir) maka dia akan bersaksi bahwa tidak ada sembahan yang benar kecuali Allah (Laa Ilaaha Illallah) dan bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah utusan Allah (Muhammadur Rasulullah), itulah (makna) firman-Nya: {Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ‘ucapan yang teguh’ dalam kehidupan di dunia dan di akhirat}.”</em>. (HR. Al Bukhari dalam <em>Shahih Al Bukhari</em>, no. 4422- cet. Daar Ibni Katsir, Beirut, 1407 H. Hadits yang semakna juga diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam <em>Shahih Muslim,</em> no. 2871- cet. <em>Daar Ihya-it turats al ‘araby</em>, Beirut)</p> <p>Ayat dan hadits di atas menunjukkan bahwa keteguhan iman dan keistiqamahan dalam agama hanyalah Allah <em>ta’ala</em> anugerahkan kepada orang beriman yang memiliki ‘ucapan yang teguh’, yaitu dua kalimat syahadat yang dipahami dan diamalkan dengan baik dan benar.</p> <p>Maka berdasarkan keterangan di atas, jelaslah bagi kita salah satu keutamaan dan manfaat besar mengikuti manhaj salaf, karena tidak diragukan lagi hanya manhaj salaf-lah satu-satunya manhaj yang benar-benar memberikan perhatian besar kepada pemahaman dan pengamalan dua kalimat syahadat dengan baik dan benar, dengan selalu mengutamakan pembahasan tentang kalimat Tauhid (<em>Laa Ilaaha Illallah</em>), keutamaannya, kandungannya, syarat-syaratnya, rukun-rukunnya, hal-hal yang membatalkan dan mengurangi kesempurnaannya, disertai peringatan keras untuk menjauhi perbuatan syirik dan semua perbuatan yang bertentangan dengan tauhid.</p> <p>Demikian pula perhatian besar manhaj salaf terhadap kalimat syahadat (<em>Muhammadur Rasulullah</em>), dengan selalu mengutamakan pembahasan tentang keindahan dan kesempurnaan Sunnah Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em>, disertai peringatan keras untuk menjauhi perbuatan <em>bid’ah</em> dan semua perbuatan yang bertentangan dengan Sunnah.</p> <p>Berkata Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu: “Al Firqatun Naajiyah (golongan yang selamat dari ancaman azab Allah <em>ta’ala</em> / orang-orang yang mengikuti manhaj salaf) adalah orang-orang yang (sangat) mengutamakan Tauhid, yaitu mengesakan Allah dalam beribadah, seperti berdoa, meminta pertolongan, memohon keselamatan dalam keadaan susah maupun senang, berkurban, bernazar, dan ibadah-ibadah lainnya, serta keharusan menjauhi syirik dan fenomena-fenomenanya yang terlihat nyata di kebanyakan negara Islam… Dan mereka adalah orang-orang yang selalu menghidupkan sunnah-sunnah Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> dalam ibadah, tingkah laku dan (semua sisi) kehidupan mereka, sehingga jadilah mereka sebagai orang-orang yang asing di tengah masyarakat, sebagaimana sabda Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> yang menggambarkan keadaan mereka: <em>“Sesungguhnya islam awalnya datang dalam keadaan asing, dan nantinya pun (di akhir jaman) akan kembali asing, maka beruntunglah (akan mendapatkan surga) orang-orang yang asing (karena berpegang teguh dengan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam)”</em> (HR. Muslim). Dalam riwayat lain: <em>“… Mereka adalah orang-orang yang berbuat kebaikan ketika manusia dalam keadaan rusak”</em>. Berkata Syaikh Al Albani: Hadits ini diriwayatkan oleh Abu ‘Amr Ad Daani dengan sanad yang shahih.” (<em>Minhaajul Firqatin Naajiyah</em>, hal. 7-8 – cet. Daarush Shami’i, Riyadh)</p> <p><strong>2- Meraih Kenikmatan tertinggi di Surga, yaitu Melihat Wajah Allah <em>ta’ala</em> yang Maha Mulia dan Maha Tinggi</strong></p> <p>Dalam hadits shahih dari seorang sahabat yang mulia Shuhaib bin Sinan <em>radhiyallahu ‘anhu</em> bahwa Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> bersabda: <em>“Jika penghuni surga telah masuk surga, Allah ta’ala Berfirman: “Apakah kalian (wahai penghuni surga) menginginkan sesuatu sebagai tambahan (dari kenikmatan surga)? Maka mereka menjawab: Bukankah Engkau telah memutihkan wajah-wajah kami? Bukankah Engkau telah memasukkan kami ke dalam surga dan menyelamatkan kami dari (azab) neraka? Maka (pada waktu itu) Allah Membuka hijab (yang menutupi wajah-Nya Yang Maha Mulia), dan penghuni surga tidak pernah mendapatkan suatu (kenikmatan) yang lebih mereka sukai dari pada melihat (wajah) Allah ta’ala”</em>, kemudian Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> membaca ayat berikut:</p> <p class="arab" align="right">للذين أحسنوا الحسنى وزيادة</p> <p><em> “Bagi orang-orang yang berbuat kebaikan, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya (melihat wajah Allah ta’ala)”</em> (QS Yunus: 26). (HR. Muslim dalam <em>Shahih Muslim,</em> no. 181)</p> <p>Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyyah dalam kitab beliau <em>“Ighaatsatul lahafaan”</em> (Hal. 70-71, <em>Mawaaridul amaan</em>, cet. Daar Ibnil Jauzi, Ad Dammaam, 1415 H) menjelaskan bahwa kenikmatan tertinggi di akhirat ini (melihat wajah Allah <em>ta’ala</em>) adalah balasan yang Allah <em>ta’ala</em> berikan kepada orang yang merasakan kenikmatan tertinggi di dunia, yaitu kesempurnaan dan kemanisan iman, kecintaan yang sempurna dan kerinduan untuk bertemu dengan-Nya, serta perasaan tenang dan bahagia ketika mendekatkan diri dan berzikir kepada-Nya. Untuk lebih jelas pembahasan masalah ini, silakan baca tulisan kami yang berjudul “Indahnya Islam Manisnya Iman”. Dalam sebuah ucapannya yang tersohor Ibnu Taimiyyah berkata: “Sesungguhnya di dunia ini ada jannnah (surga), barangsiapa yang belum masuk ke dalam surga di dunia ini maka dia tidak akan masuk ke dalam surga di akhirat nanti.” (<em>Al Waabilush Shayyib</em>, 1/69)</p> <p>Beliau menjelaskan hal ini berdasarkan lafazh doa Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> dalam sebuah hadits yang shahih: “Aku meminta kepada-Mu (ya Allah) kenikmatan memandang wajah-Mu (di akhirat nanti) dan aku meminta kepada-Mu kerinduan untuk bertemu dengan-Mu (sewaktu di dunia)…” (HR. An Nasa-i dalam <em>“As Sunan”</em> (3/54 dan 3/55), Imam Ahmad dalam <em>“Al Musnad”</em> (4/264), Ibnu Hibban dalam “Shahihnya” (no. 1971) dan Al Hakim dalam <em>“Al Mustadrak”</em> (no. 1900), dishahihkan oleh Ibnu Hibban, Al Hakim, disepakati oleh Adz Dzahabi dan Sykh Al Albani dalam <em>“Zhilaalul Jannah Fii Takhriijis Sunnah”</em> (no. 424))</p> <p>Dari keterangan di atas juga terlihat jelas besarnya keutamaan dan manfaat mengikuti manhaj salaf. Karena kemanisan iman, kecintaan yang sempurna dan kerinduan untuk bertemu dengan Allah <em>ta’ala</em> merupakan buah yang paling utama dari <strong><em>ma’rifatullah</em> </strong>(pengenalan/pengetahuan yang benar dan sempurna tentang Allah <em>ta’ala</em> dan sifat-sifat-Nya), yang mana <em>ma’rifatullah</em> yang benar dan sempurna tidak akan mungkin dicapai kecuali dengan mempelajari dan memahami nama-nama dan sifat-sifat Allah <em>ta’ala</em> dalam Al Qur-an dan Hadits Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> dengan metode pemahaman yang benar, yang ini semua hanya didapatkan dalam manhaj Ahlus Sunnah Wal Jama’ah/<a title="Manhaj Salaf" href="http://muslim.or.id/manhaj-salaf/manfaat-dan-keutamaan-mengikuti-manhaj-metode-pemahaman-salaf.html">manhaj Salaf</a>.</p> <p>Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Ini adalah ideologi golongan yang selamat dan selalu mendapatkan pertolongan dari Allah <em>ta’ala</em> sampai hari kiamat, (yang mereka adalah) Ahlus Sunnah wal jama’ah (orang-orang yang mengikuti manhaj salaf), yaitu beriman kepada Allah, Malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, (hari) kebangkitan setelah kematian, dan beriman kepada takdir Allah yang baik maupun yang buruk.</p> <p>Termasuk iman kepada Allah (yang diyakini Ahlus Sunnah wal jama’ah) adalah mengimani sifat-sifat Allah <em>ta’ala</em> yang Dia tetapkan bagi diri-Nya dalam Al Qur-an dan yang ditetapkan oleh Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> (dalam hadits-hadits yang shahih), tanpa <em>tahriif</em> (menyelewengkan maknanya), tanpa <em>ta’thiil</em> (menolaknya), tanpa <em>takyiif</em> (membagaimanakan/menanyakan bentuknya), dan tanpa <em>tamtsiil</em> (menyerupakannya dengan sifat-sifat makhluk). Ahlus Sunnah wal jama’ah mengimani bahwa Allah <em>ta’ala</em>:</p> <p class="arab" align="right">{لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ}</p> <p><em> “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”</em> (Qs. Asy Syuura:11)</p> <p>Maka Ahlus Sunnah wal jama’ah tidak menolak sifat-sifat yang Allah tetapkan bagi diri-Nya, tidak menyelewengkan makna firman Allah dari arti yang sebenarnya, tidak menyimpang (dari kebenaran) dalam (menetapkan) nama-nama Allah (yang maha indah) dan dalam (memahami) ayat-ayat-Nya. Mereka tidak membagaimanakan /menanyakan bentuk sifat Allah dan tidak menyerupakan sifat-Nya dengan sifat makhluk. Karena Allah <em>ta’ala</em> tiada yang serupa, setara dan sebanding dengan-Nya, Dia <em>ta’ala</em> tidak boleh dianalogikan dengan makhluk-Nya, dan Dia-lah yang paling mengetahui tentang diri-Nya dan tentang makhluk-Nya, serta Dia-lah yang paling benar dan baik perkataan-Nya dibanding (semua) makhluk-Nya. Kemudian (setelah itu) para Rasul-Nya <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> orang-orang yang benar (ucapannya) dan dibenarkan, berbeda dengan orang-orang yang berkata tentang Allah <em>ta’ala</em> tanpa pengetahuan. Oleh karena itulah Allah <em>ta’ala</em> Berfirman:</p> <p class="arab" align="right">{سبحان ربك رب العزة عما يصفون وسلام على المرسلين والحمد لله رب العالمين}</p> <p><em> “Maha Suci Rabbmu Yang mempunyai kemuliaan dari apa yang mereka katakan, Dan keselamatan dilimpahkan kepada para Rasul, Dan segala puji bagi Allah Rabb seru sekalian alam.”</em> (Qs. Ash Shaaffaat: 180-182)</p> <p>Maka (dalam ayat ini) Allah menyucikan diri-Nya dari apa yang disifatkan orang-orang yang menyelisihi (petunjuk) para Rasul <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em>, kemudian Allah menyampaikan salam (keselamatan) kepada para Rasul <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> karena selamat (suci)nya ucapan yang mereka sampaikan dari kekurangan dan celaan. Allah <em>ta’ala</em> telah menghimpun antara <em>an nafyu</em> (meniadakan sifat-sifat buruk) dan <em>al itsbat </em>(menetapkan sifat-sifat yang maha baik dan sempurna) dalam semua nama dan sifat yang Dia tetapkan bagi diri-Nya, maka Ahlus Sunnah wal jama’ah sama sekali tidak menyimpang dari petunjuk yang dibawa oleh para Rasul <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em>, karena itulah jalan yang lurus; jalannya orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah <em>ta’ala</em>, yaitu para Nabi <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em>, para shiddiqiin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang yang shaleh.” (Kitab <em>“Al ‘Aqiidatul Waasithiyyah”</em> (hal. 6-8))</p> <p><strong>3- Menggapai taufik dari Allah <em>ta’ala</em> yang merupakan kunci pokok segala kebaikan</strong></p> <p>Berkata Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyyah: “Kunci pokok segala kebaikan adalah dengan kita mengetahui (meyakini) bahwa apa yang Allah kehendaki (pasti) akan terjadi dan apa yang Dia tidak kehendaki maka tidak akan terjadi. Karena pada saat itulah kita yakin bahwa semua kebaikan (amal shaleh yang kita lakukan) adalah termasuk nikmat Allah (karena Dia-lah yang memberi kemudahan kepada kita untuk bisa melakukannya), sehingga kita akan selalu mensyukuri nikmat tersebut dan bersungguh-sungguh merendahkan diri serta memohon kepada Allah agar Dia tidak memutuskan nikmat tersebut dari diri kita. Sebagaimana (kita yakin) bahwa semua keburukan (amal jelek yang kita lakukan) adalah karena hukuman dan berpalingnya Allah dari kita, sehingga kita akan memohon dengan sungguh-sungguh kepada Allah agar menghindarkan diri kita dari semua perbuatan buruk tersebut, dan agar Dia tidak menyandarkan (urusan) kita dalam melakukan kebaikan dan meninggalkan keburukan kepada diri kita sendiri.</p> <p>Telah bersepakat <em>al ‘Aarifun</em> (orang-orang yang memiliki pengetahuan yang dalam tentang Allah dan sifat-sifat-Nya) bahwa asal semua kebaikan adalah taufik dari Allah <em>ta’ala</em> kepada hamba-Nya, sebagaimana asal semua keburukan adalah <em>khidzlaan</em> (berpalingnya) Allah <em>ta’ala</em> dari hamba-Nya. Mereka juga bersepakat bahwa (arti) taufik itu adalah dengan Allah tidak menyandarkan (urusan) kita kepada diri kita sendiri, dan (sebaliknya arti) <em>al khidzlaan</em> (berpalingnya Allah <em>ta’ala</em> dari hamba) adalah dengan Allah membiarkan diri kita (bersandar) kepada diri kita sendiri (tidak bersandar kepada Allah <em>ta’ala</em>)…”</p> <p>Oleh karena itulah Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> berlindung dari hal ini dalam doa beliau yang terkenal dan termasuk doa yang dianjurkan untuk dibaca pada waktu pagi dan petang: <em>“… (Ya Allah!) jadikanlah baik semua urusanku dan janganlah Engkau membiarkan diriku bersandar kepada diriku sendiri (meskipun cuma) sekejap mata.”</em> (HR. An Nasa-i dalam <em>“As Sunan”</em> (6/147) dan Al Hakim dalam <em>“Al Mustadrak”</em> (no. 2000), dishahihkan oleh Al Hakim, disepakati oleh Adz Dzahabi dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam <em>Silsilatul Ahaaditsish Shahihah</em> (1/449, no. 227)) (Kitab <em>Al Fawa-id</em> (hal. 133- cet. Muassasah ummil Qura, Mesir 1424 H))</p> <p>Dari keterangan Imam Ibnul Qayyim di atas jelaslah bagi kita bahwa kunci pokok segala kebaikan adalah memahami dan mengimani bahwa apa yang Allah kehendaki (pasti) akan terjadi dan apa yang Dia tidak kehendaki maka tidak akan terjadi, yang ini merupakan kesimpulan makna iman kepada takdir Allah <em>ta’ala</em> yang baik maupun yang buruk. Dan sekali lagi ini menunjukkan besarnya manfaat dan keutamaan mengikuti manhaj salaf, karena pemahaman yang benar terhadap masalah takdir Allah <em>ta’ala</em> hanya ada pada manhaj salaf. Untuk lebih jelasnya, baca keterangan Ibnu Taimiyyah dalam <em>Al ‘Aqiidatul waasithiyyah </em>(hal. 22) tentang lurusnya pemahaman Ahlus Sunnah wal jama’ah dalam masalah iman kepada takdir Allah dan sesatnya pemahaman-pemahaman lain yang menyimpang dari pemahaman Ahlus Sunnah wal jama’ah.</p> <p><strong>4- Mendapatkan semua kemuliaan yang Allah <em>Ta’ala</em> sediakan di akhirat</strong></p> <p>Imam Ibnu Katsir ketika menjelaskan kewajiban mengimani keberadaan <em>Al Haudh</em> (telaga milik Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> di akhirat nanti) yang merupakan bagian dari iman kepada hari akhir, beliau berkata: “Penjelasan tentang telaga Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> –semoga Allah Memudahkan kita meminum dari telaga tersebut pada hari kiamat– (yang disebutkan) dalam hadits-hadits yang telah dikenal dan (diriwayatkan) dari banyak jalur yang kuat, meskipun ini tidak disukai oleh orang-orang ahlul bid’ah yang bersikeras kepala menolak dan mengingkari keberadaan telaga ini. Mereka inilah yang paling terancam untuk dihalangi (diusir) dari telaga tersebut (pada hari kiamat) (Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits shahih riwayat Imam Al Bukhari (no. 6211) dan Muslim (no. 2304) dari Anas bin Malik <em>radhiyallahu ‘anhu</em>.), sebagaimana ucapan salah seorang ulama salaf: “Barangsiapa yang mendustakan (mengingkari) suatu kemuliaan maka dia tidak akan mendapatkan kemuliaan tersebut…” (Kitab <em>An Nihayah Fiil Fitani Wal Malaahim </em>(hal. 127))</p> <p>Ucapan yang dinukil oleh Imam Ibnu Katsir ini menunjukkan bahwa semua kemuliaan yang Allah <em>ta’ala</em> sediakan di akhirat, seperti kenikmatan di alam kubur, meminum dari telaga Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em>, mendapatkan Syafa’at Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> dan orang-orang yang diizinkan Allah <em>ta’ala</em> untuk memberikan syafaat bahkan termasuk kenikmatan di dalam surga, hanyalah Allah <em>ta’ala</em> anugerahkan kepada orang-orang yang tidak mengingkari dan mengimaninya dengan benar. Ini juga menunjukkan besarnya manfaat dan keutamaan mengikuti manhaj salaf, karena hanya dengan mengikuti manhaj salaflah kita bisa memahami dan mengimani hal-hal tersebut dengan baik dan benar, sehingga orang-orang yang memahami dan mengimani hal-hal tersebut berdasarkan manhaj salaf merekalah yang paling diutamakan untuk meraih semua kemuliaan tersebut dengan sempurna. Adapun orang-orang yang tidak memahami dan mengimani hal-hal tersebut dengan benar karena tidak mengikuti manhaj salaf, maka mereka sangat terancam untuk terhalangi dari mendapatkan kemuliaan-kemuliaan tersebut, minimal akan berkurang kesempurnaannya, tergantung dari jauh dekat pemahaman tersebut dari pemahaman salaf.</p> <p><strong>Penutup</strong></p> <p>Contoh-contoh di atas jelas sekali menunjukkan besarnya manfaat dan keutamaan yang bisa kita raih di dunia dan akhirat dengan mengikuti manhaj salaf, masih banyak contoh lain yang tidak mungkin kami sebutkan semua. Semoga dengan contoh-contoh ini kita semakin termotivasi untuk lebih giat mengkaji dan mengamalkan petunjuk para ulama salaf dalam beragama, agar kita semakin sempurna mendapatkan manfaat dan kebaikan yang Allah <em>ta’ala</em> sediakan bagi hamba-hambanya yang menjalankan agamanya dengan baik dan benar.</p> <p>Sebagai penutup, alangkah indahnya ucapan seorang penyair yang berkata:</p> <p><em>Semua kebaikan (hanya dapat dicapai) dengan mengikuti (manhaj) salaf</em><br /><em>Dan semua keburukan ada pada perbuatan bid’ah orang-orang khalaf</em></p> <p>Khalaf adalah orang-orang yang menyelisihi manhaj salaf.</p> <p class="arab" align="right">وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين</p> <p>Kota Nabi <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em>, 5 Dzulqa’dah 1429 H</p> <p>***</p> Penulis: Abdullah bin Taslim Al ButhoniMUSLIM KAFFAHhttp://www.blogger.com/profile/12527866730164618004noreply@blogger.com0